Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sekilas Pandang
    • Visi & Misi
    • Manajemen dan Peneliti
    • Lokasi
  • Kegiatan
    • Penelitian
      • Pendaftaran Penelitian PSEKP UGM
      • Asisten Penelitian PSEKP UGM
    • Pelatihan & Workshop
    • Konsultasi & Pendampingan
    • Kerjasama antar Perguruan Tinggi
  • Beranda
  • Artikel
  • Artikel
Arsip:

Artikel

Masih Ada Ruang

ArtikelBerita Selasa, 8 Januari 2019

 

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 8 Januari 2019

Tidak satu pun di antara kita yang tidak menyadari, bahwa perekonomian 2019 masih akan tetap sulit. Jalan masih terjal. Ibarat lorong gelap, banyak hal yang tetap belum ketahuan ujungnya. Perekonomian global masih dicekam ketidakpastian. Perang dagang AS-China belum reda; suku bunga AS masih berpotensi naik; harga minyak dunia belum stabil. Namun, apakah semua ini akan berujung pada pesimisme perekonomian Indonesia ? Saya rasa tidak. Masih ada ruang bagi kita untuk bergerak.

Dari sisi global, yang paling esensial adalah mulai berakhirnya “tanjakan” membaiknya perekonomian Amerika Serikat. Tatkala perekonomian AS meroket, maka negara-negara lain pun menderita. Penderitaan itu berupa arus modal balik ke AS, sehingga seluruh dunia mengalami: (1) kekeringan likuiditas; (2) suku bunga terpaksa dinaikkan; dan (3) kurs mata uang hampir seluruh dunia melemah terhadap dollar AS. Rupiah pun mengalami tiga persoalan ini sepanjang 2018. Seluruh dunia praktis berkorban, nelangsa, demi perekonomian AS yang membaik. Ini tidak adil.

Dengan arus modal masuk tersebut, AS berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, di mana pengangguran turun menjadi 3,7 persen, pertumbuhan ekonomi 2,9 persen (pernah 4,2 persen dalam satu triwulan), dan indeks harga saham menembus rekor baru yang sangat tinggi 26.743 (21/9/18). Kelemahan AS praktis cuma dua: (1) inflasinya termasuk tinggi, pernah 2,9 persen; dan (2) defisit perdagangannya justru kian melebar, yang antara lain juga disebabkan menguatnya kurs dollar AS.

Jika diibaratkan tahun 2018 perekonomian global terkena “tsunami”, maka sebenarnya gelombang besar air laut yang masuk daratan, itu justru mulai surut pada 2019. Aliran modal masuk ke New York berkurang jauh, bahkan sudah mulai berbalik (reversal). Pada liburan Natal 2018, indeks Dow Jones pernah cuma 21.712, atau anjlok 5000 poin (18 persen) dibandingkan rekor tertinggi. Bahkan kapitalisasi pasar Apple, perusahaan teknologi AS yang pernah mencapai USD 1 triliun, kini jauh merosot menjadi USD 703 miliar (4/1/19), anjlok 30 persen ! Ini bisa dimaknai bahwa gelembung (bubbles) pada sektor finansial AS pun mulai terkoreksi.

Namun di sisi lain, data penyerapan tenaga kerja di AS, yang sempat melemah menjadi 176.000 orang (November), ternyata kembali meroket ke 312.000 orang pada Desember 2018. Ini bisa memberi semangat The Fed untuk kembali menaikkan suku bunganya pada 2019. Namun kenaikan suku bunga tidak perlu seagresif sebelumnya. Karena inflasi mulai reda ke 2,5 persen, maka suku bunga acuan mestinya cukup 2,75 persen. Karena sekarang sudah 2,5 persen, maka saya perkirakan tahun 2019 The Fed cukup menaikkannya sekali lagi.

Lalu bagaimana respons Bank Indonesia ? Pada akhir 2018, BI cukup percaya diri untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 6 persen. Ternyata kebijakan ini tepat. Meski suku bunga The Fed naik dan BI tidak naik, ternyata rupiah tidak melemah. Rupiah justru menguat menjadi Rp 14.032 per dollar AS (7/1/19). Mengapa ? Karena daya tarik AS mulai mencapai titik jenuhnya. Kemampuan pasar modal New York untuk menyedot dana global tetap ada batasnya. Ketika batas itu terlampaui, maka modal global pun mengalir kembali ke emerging markets, termasuk Indonesia.

Selama 2018, rupiah pernah mengalami depresiasi 9 persen selama 9 bulan pertama, serta menguat 4 persen selama 3 bulan terakhir. Pada 2019, saya perkirakan rupiah masih berpeluang menguat lagi, menuju ke ekuilibriumnya yang benar (tidak undervalued). Karena itu, BI tidak atau belum tentu perlu menaikkan suku bunga acuannya lagi dari level sekarang 6 persen. Ada faktor lain di luar suku bunga yang lebih berpengaruh bagi penguatan rupiah.

Sementara itu, harga minyak dunia pun kini juga kian “bersahabat”. Karena para produsen minyak terlalu agresif menambah produksi dalam rangka memanfaatkan kenaikan harga minyak (sebelumnya USD 84 per barrel), dikombinasikan dengan melemahnya permintaan karena perekonomian lesu, maka harganya pun kini cuma USD 57 per barrel (Brent) dan USD 48 per barrel (WTI).

Tren harga minyak relatif rendah ini masih akan terjadi sepanjang 2019. Para produsen minyak masih sulit untuk bersepakat untuk memangkas produksinya, terutama AS. Presiden Trump memang ingin harga minyak rendah. Pada saat ini, produsen minyak terbesar ada tiga negara, yakni Saudi, Rusia dan AS. Ketiganya mampu berproduksi 10-11 juta barrel per hari. Kepentingan masing-masing sulit disatukan, beda visi.

Modal lain Indonesia menghadapi 2019 adalah kondisi fiskal. Sri Mulyani Indrawati barusan terpilih menjadi Menteri Keuangan Terbaik dunia 2018 versi majalah The Banker. Ini bukanlah kebetulan. Di tengah gelombang besar ketidakpastian, dia berhasil menjaga kredibilitas fiskal dengan baik. Yang paling mengesankan adalah pendapatan negara bisa tercapai 102,5 persen, sedangkan belanja negara mencapai 99,2 persen. Defisit APBN bisa dipangkas dari Rp 325 triliun menjadi Rp 259 triliun. Keseimbangan primer (penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang) hampir nol, tepatnya hanya minus Rp 1,8 triliun. Padahal tahun sebelumnya minus Rp 87 triliun. Ini semua merupakan rekor-rekor baru APBN.

Pertumbuhan pajak 14,3 persen merupakan tertinggi sejak 12,5 persen (2012), sedangkan tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) naik signifikan ke 11,5 persen. Ini terjadi berkat landasan reformasi pajak (termasuk amnesti pajak) yang mulai membuahkan hasil. Namun Menkeu harus waspada, agar agresivitas pajak tetap harus produktif. Karena jika pengenaan pajak terlalu agresif dan tidak tepat sasaran bisa menyurutkan gairah konsumsi.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang kini cuma 5 persen harus didorong di atas 6 persen. Contoh kecil : para dosen di perguruan tinggi mengeluh karena biaya perjalanan dinasnya kini dikenai pajak progresif. Padahal umumnya biaya-biaya tersebut habis dibelanjakan selama perjalanan. Kalau ada sisa, hanya sedikit. Ini perlu dievaluasi.

Berdasarkan (1) perekonomian AS mulai terkoreksi; (2) rupiah menguat; (3) suku bunga BI belum tentu naik; (4) harga minyak dunia terkendali; serta (5) kondisi fiskal kredibel; masih tersisa ruang gerak bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih baik, misalnya 5,3 % pada 2019. Ini bukanlah utopia.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Mengantar Rupiah ke Zona Nyaman

ArtikelBerita Senin, 10 Desember 2018

Media Indonesia, Senin 10 Desember 2018

Kurs rupiah mulai bergerak menuju ekuilibirum yang sesungguhnya. Sempat terpelanting ke level terendah sejak krisis 1998, yakni pada Rp 15.200 per dollar AS (Oktober 2018), diyakini bahwa level tersebut sesungguhnya tidak pada tempatnya. Rupiah mengalami nilai yang terlalu rendah (undervalued), yang tidak menggambarkan kapasitas dan fundamental yang sesungguhnya.

Memang tidak mudah menentukan, berapa level rupiah yang ideal bagi rupiah saat ini. Pedoman kasarnya adalah seperti yang digambarkan Joseph Stiglitz: bahwa suatu mata uang sebaiknya tidak terlalu lemah (undervalued), namun juga tidak boleh terlalu kuat (overvalued).

Jika undervalued akan merusak kredibilitas, yang bisa memicu kepanikan dan hilangnya kepercayaan (lost of confidence) para investor, sehingga terjadi aliran modal ke luar (capital outflows). Hal ini akan membahayakan neraca pembayaran (balance of payments) dan posisi cadangan devisa (foreign reserves).

Sebaliknya jika overvalued juga tidak baik, karena akan menyebabkan harga barang-barang menjadi terlalu tinggi, tidak kompetitif, yang akan memicu melemahnya posisi neraca perdagangan (trade balance) dan neraca transaksi berjalan (current account balance). Selanjutnya, hal ini akan memicu penurunan cadangan devisa. Dengan kata lain, kurs rupiah yang tidak berada pada level yang semestinya, semuanya akan berakibat negatif. Rupiah terlalu lemah berakibat jelek, rupiah terlalu kuat pun juga berdampak buruk. Karena itu, rupiah harus berada pada kisaran (range) yang ideal. Inilah “pekerjaan rumah” Bank Indonesia yang tidak mudah.

Itulah sebabnya, meski rupiah sempat menembus Rp 15.000-an per dollar AS, meski hal ini tidak bisa disamakan dengan level terendah saat krisis 1998, tetap saja hal ini harus dihindari. Operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia menelan biaya yang tidak sedikit. Cadangan devisa yang pernah mencapai hampir USD 130 miliar (Februari 2018) sempat tergerus hingga level terendah USD 114 miliar (September 2018), yang berarti telah berkurang USD 14 miliar dalam tujuh bulan. Beruntung cadangan devisa kini kembali menguat ke USD 117 miliar setelah terjadinya aliran modal masuk (capital inflows).

Tekanan Suku Bunga Acuan

Gejolak depresiasi rupiah dan praktis juga terjadi pada seluruh mata uang dunia, terutama sepanjang 2018, terutama memang terjadi karena faktor Amerika Serikat (AS). Kombinasi antara membaiknya perekonomian AS ditambah dengan kebijakan normalisasi suku bunga (kenaikan suku bunga) oleh The Fed, merupakan faktor utamanya.

Setelah terkena krisis finansial sejak 2008, perekonomian AS menunjukkan gejala sehat kembali pada pertengahan 2013. Sejak saat inilah, The Fed mulai menaikkan suku bunganya serta menghentikan kebijakan mencetak uang beredar, yang disebut periode taper tantrum. Akibatnya, investor global mulai memburu dollar AS, dan banyak yang “menerbangkannya” ke New York. Karena itu, indeks harga saham Dow Jones mencetak rekor baru 26.600 (Februari 2018). Seluruh dunia pun, termasuk Indonesia, tak kuasa mencegah terjadinya depresiasi mata uangnya.

Era suku bunga rendah pun berakhir. Dalam kasus Indonesia, suku bunga acuan mencatat rekor terendahnya pada 4,25 persen. Ini sebenarnya cukup ideal bersanding dengan inflasi tahunan (year on year) saat ini 3,2 persen, karena masih menyisakan margin positif  1 persen. Namun sayangnya, pembentukan suku bunga di Indonesia tak sepenuhnya hanya mengacu pada inflasi. Kalau di AS, formula tersebut berlaku: bahwa suku bunga acuan mestinya harus lebih tinggi daripada inflasi. Yang penting ada jarak, yang tidak perlu lebar, misalnya 0,25 persen saja.

Di Indonesia, jarak antara suku bunga dan inflasi tidak bisa terlalu dekat. Masalahnya, jika terlalu dekat, para pemilik dana akan sensitif untuk memindahkan portofolionya menjadi berdenominasi valas, terutama dollar AS. Suku bunga rupiah yang terlalu rendah hanya akan menjadi pemicu melemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS. Inilah yang kita saksikan sepanjang 2018.

Masih rendahnya suku bunga acuan BI menyebabkan rupiah terus terperosok. Karena itu, mau tidak mau BI harus menyesuaikan diri. Pelan-pelan suku bunga acuan dinaikkan, setapak demi setapak, sehingga kini 6 persen. Apakah suku bunga ini akan dinaikkan lagi? Secara normatif masih akan ada kenaikan lagi, karena suku bunga The Fed juga masih akan naik lagi. Namun, BI tidak selalu harus menaikkan suku bunganya sebesar yang dilakuka The Fed.

Rencana semula, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya (FFR) nya hingga 3,25 persen pada tahun depan. Saat ini FFR 2,25 persen. Berarti masih akan naik empat kali lagi: sekali pada Desember 2018 dan tiga kali lagi pada 2019. Namun, rencana tersebut disusun pada saat inflasi AS mencapai 2,9 persen. Target inflasi di AS adalah 2 persen. Faktanya, dalam dua bulan terakhir inflasi mulai jinak. Inflasi September hanya 2,3 persen, dan Oktober sedikit naik menjadi 2,5 persen.

Jika kondisi ini bisa dipertahankan, maka inflasi AS katakanlah 2,5 persen. Maka, suku bunga acuan The Fed tidak perlu lagi 3,25 persen, namun cukup 2,75 persen saja. Hal ini sejalan dengan keinginan Presiden AS Donald Trump yang resah jika The Fed terus menerus menaikkan suku bunganya, karena hal itu selalu menyebabkan kurs dollar AS terus mengalami apresiasi, yang ujung-ujungnya kian menyulitkan AS untuk menekan defisit perdagangannya, terutama terhadap China.

Berdasarkan perkembangan terbaru tersebut, maka tampaknya The Fed tinggal menaikkan suku bunganya dua kali: sekali pada 19 Desember 2018, dan sekali lagi pada tahun 2019 (belum diketahui bulan apa). Namun dengan catatan, jika ternyata inflasi bisa dikembalikan lagi ke level 2,3 persen, bisa jadi sepanjang 2019 nanti tidak diperlukan lagi kenaikan suku bunga. Siapa tahu ?

Di AS sendiri, menjelang rapat The Fed (Federal Open Market Committee, FOMC) pada 18-19 Desember ini, timbul polemik mengenai perlu-tidaknya suku bunga dinaikkan. Di satu pihak, sebagaimana diisyaratkan oleh Ketua The Fed Jerome Powell pada pertemuan FOMC November yang lalu, pihaknya sudah pasti akan menaikkan suku bunganya pada Desember. Dasarnya kuat: suku bunga acuan masih lebih rendah daripada inflasi. The Fed ingin melindungi para penabung di bank (savers atau depositors) agar tetap mendapatkan suku bunga riil (real interest rate) positif. Selain itu, Powell demikian yakin pihaknya berada di jalur kebijakan yang benar karena dukungan data penyerapan tenaga kerja yang impresif. Pada bulan Oktober, pasar tenaga kerja berhasil menyerap 250.000 orang (non-farm payrolls). Ini hebat untuk mendukung tren penurunan pengangguran yang kini sudah rendah 3,7 persen.

Namun di sisi lain, selain Presiden Trump yang memang menginginkan jeda kenaikan suku bunga agar defisit perdagangannya tidak kian lebar, kondisi pasar modalnya juga sedang memerlukan pertolongan. Indeks harga di New York Stock Exchange kini terus berada di zona merah, akhir pekan lalu 24.338. Ini jauh dari rekor tertinggi yang pernah 26.656. Jika The Fed menaikkan suku bunganya lagi, indeks Dow Jones akan kian tertekan. Karena pemilik dana sebagian akan memindahkan asetnya dari pasar modal ke pasar uang. Apalagi mereka juga mungkin merasa bahwa indeks harga tertinggi sudah berlalu, dan kini saatnya untuk memindahkan asetnya dari pasar modal.

Meski demikian, Jerome Powell dan The Fed tampaknya masih akan menunjukkan independensinya. Mereka tidak akan terpengaruh oleh Presiden Trump (untuk menjaga kinerja ekspor) dan pasar modal yang kini tengah dilanda aksi jual. The Fed akan tetap fokus pada tugasnya, yakni pada stabilitas moneter yang membantu kinerja perekonomian. Sepanjang pertumbuhan ekonomi AS baik (tahun ini 3,1 persen) dan pengangguran rendah (3,7 persen), maka The Fed akan merasa nyaman dan percaya diri untuk menaikkan suku bunganya.

Suku Bunga BI dan Rupiah

Dengan konfigurasi terbaru seperti ini, bagaimana nasib rupiah ? Apakah rupiah akan berhenti mengalami apresiasi ? Bagaimana BI harus bersikap ? Apakah suku bunga acuan BI (7 days reserve repo rate) akan dinaikkan lagi, yang berarti akan menahan rupiah sehingga tidak bisa menguat lagi ke level Rp 13.000-an per dollar AS ?

Sekalipun The Fed hampir pasti menaikkan suku bunganya pada 19 Desember 2018 nanti, dari 2,25 persen menjadi 2,50 persen, tidak berarti suku bunga acuan BI harus naik ke 6,25 persen. Mengapa?

Pada saat ini investor global yang semula menanam investasinya di New York Stock Exchange mulai berpikir bahwa rally dollar AS dan bullish di pasar modal AS bukannya tanpa batas. Suatu saat akan mencapai titik jenuhnya. Sederhananya: jika indeks harga saham New York sudah mencapai 26.656, apakah selanjutnya akan mendaki ke 27.000; 28.000, atau bahkan 30.000? Apakah ini masuk akal? Semuanya ada batasnya. Tidak ada yang tanpa batas (limitless). Sehebat apa pun perekonomian AS, tetap saja ada titik tertinggi yang tidak bisa lagi dinaikkan. Inilah penjelasan sederhana, kenapa indeks Dow Jones mengalami bearish, sekalipun data makro ekonomi AS kini sedang baik.

Karena itu, para investor global mulai berpikir kembali berinvestasi di negara-negara lain, terutama yang masih memiliki masa depan. Indonesia sebagai negara yang sedang getol mengakselerasi pembangunan infrastruktur (dilanjutkan dengan pembangunan kualitas manusianya melalui peningkatan pendidikan), menjadi salah satu destinasi emerging market yang menarik.

Indonesia bukannya tanpa masalah. Neraca transaksi berjalan yang kini defisit hingga 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan pekerjaan rumah terbesar. Namun gesture Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang berupaya keras untuk memangkasnya ke 2,5 persen saja terhadap PDB pada 2019, memberi semacam janji kepada para investor global. Keberhasilan penerimaan pajak yang melampaui pajak tahun ini, juga memperkuat gesture tersebut, bahwa pemerintah Indonesia bakal berhasil menjinakkan masalah utamanya.

Inilah penjelasan yang paling masuk akal terhadap feomena belakangan ini, yakni kembalinya capital inflows ke Indonesia yang menyebabkan cadangan devisa mengalami rebound ke USD 117 miliar. Berdasarkan tesis ini, bisa jadi suku bunga acuan saat ini 6 persen tidak lagi perlu dinaikkan. BI harus terus memantau perkembangan pasar valuta asing sesudah The Fed menyelesaikan rapatnya pada 19 Desember nanti.

Faktor yang berpotensi mengganggu rupiah adalah agenda politik. Jika proses pemilihan presiden dan legislatif berjalan normal dan aman (tanpa chaos), akan memberi keyakinan besar para investor global bahwa Indonesia tengah mendaki jalan kedewasaan berpolitik. Ini akan memberi garansi kuat bagi mereka tentang masa depan investasinya di Indonesia. Jadi, rupiah ke depannya bukan lagi tergantung pada berapa BI memutuskan suku bunga acuannya. Bukan soal suku bunga acuan 6 persen atau 6,25 persen, namun ditentukan oleh berbagai dinamika, terutama dinamika politik.

Karena itu, perlu ditumbuhkan pemahaman dan kesadaran bersama di antara para aktor politik, agar terus memelihara ketentraman pada periode krusial seperti sekarang, saat pemilu 17 April 2019 dan kehidupan sesudahnya. Memelihara ketentraman politik tidak hanya menjaga martabat para politisi dan partai politik, namun juga memelihara kejayaan rupiah, perekonomian Indonesia dan tentu saja bangsa Indonesia.

Mari kita mengantar rupiah agar menemukan levelnya yang tepat, misalnya di kisaran Rp 13.000-an per dollar AS, melalui kebersamaan kita menjaga proses agenda politik yang aman dan bermartabat tinggi. Itu tidak mudah, namun kita tidak punya pilihan lain.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Normalisasi Rupiah

ArtikelBerita Selasa, 4 Desember 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 4 Desember 2018

Akhirnya, rupiah pun menikmati hari-hari terbaiknya belakangan ini. Dalam tiga pekan terakhir, rupiah menguat dari Rp 15.200 per dollar AS menjadi Rp 14.241 per dollar AS (3/12/18). Pertanyaannya, apakah penguatan rupiah ini bersifat permanen hingga tahun depan ataukah fenomena sesaat yang masih rawan terkoreksi ? Pada titik ekuilibrium berapakah rupiah kelak akan permanen dan stabil ?

Faktor eksternal yang paling menonjol di balik menguatnya rupiah adalah bekerjanya tiga faktor. Pertama, berlanjutnya penurunan harga minyak dunia yang berakibat berkurangnya tekanan terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia, dari sisi inflasi dan subsidi. Kedua, kian kuatnya indikasi perekonomian AS sudah mulai normal, yakni inflasi yang sudah “jinak” sehingga kenaikan suku bunga acuan tidak perlu agresif. Ketiga, kesepakatan “gencatan senjata” perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dalam KTT G20 di Buenos Aires, Argentina.

Faktor pertama adalah soal harga minyak dunia yang kini turun ke USD 60 per barrel (Brent) dan USD 50 per barrel (WTI). Mengapa ? Penjelasannya amat sederhana. Ketika harga minyak dunia mencapai titik tertinggi USD 85 per dollar (Oktober 2018), maka dua produsen terbesar dunia, Saudi dan Rusia, tergoda untuk menaikkan produksinya. Masing-masing berproduksi di atas 11 juta barrel per hari, yang merupakan rekor baru. Satu produsen terbesar lainnya, Amerika Serikat, sudah lebih dulu menggenjot produksinya di atas 11 juta barrel per hari. Produksi shale oil di AS memang sedang terus memuncak.

Presiden AS Donald Trump sering menyampaikan, bahwa dia ingin harga minyak yang rendah, USD 60 per barrel, agar dapat menstimulus perekonomian. Di sisi lain, Saudi menginginkan harga minyak tinggi, USD 80 per barrel, agar menolong neraca perdagangan dan cadangan devisanya. Saat ini cadangan devisa Saudi tergerus menjadi USD 500 miliar, dari posisi tertingginya USD 800 miliar.

Dunia kini kelebihan pasokan minyak. Produsen terlalu agresif menggenjot pasokan demi mengejar kinerja perekonomian negaranya, namun di sisi lain permintaan minyak justru tertekan turun karena perekonomian dunia masih lesu. IMF bahkan mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.

Jika harga minyak dunia mau naik, para produsen harus bersedia memotong produksinya, sekitar 2 juta barrel per hari. Tugas ini hanya bisa dilakukan oleh Arab Saudi dan Rusia, karena AS sudah jelas tidak mau. Pertemuan OPEC pada 6 Desember 2018 di Vienna, Austria, kalaupun sepakat memangkas produksi, maksimal hanya 1 juta barrel. Jadi masih perlu 1 juta barrel lagi, yaitu dari Rusia yang bukan anggota OPEC. Maukah Rusia ? Rasanya sulit. Jadi, yang paling realistis adalah menahan harga minyak agar tidak turun lebih jauh, bukannya berharap kembali naik.

Faktor kedua adalah suku bunga AS. Data terbaru inflasi AS adalah 2,5 persen (Oktober) dan 2,3 persen (September). Dengan inflasi yang kian menuju ideal 2 persen ini, maka tugas The Fed untuk menaikkan suku bunganya menunjukkan tanda-tanda bakal segera berakhir. Semula Ketua The Fed Jerome Powell mencanangkan suku bunga normal baru AS adalah 3,25 persen, karena waktu itu inflasi 2,9 persen. Namun dengan inflasi sekarang bisa ditekan menjadi 2,3-2,5 persen, maka suku bunga acuan yang diperlukan hanya maksimal 2,75 persen. Saat ini suku bunga acuan 2,25 persen, sehingga tinggal perlu 1-2 kali lagi menaikkan suku bunga acuan lagi, agar menuju ekuilibirum normal yang baru.

Ini berita bagus bagi rupiah dan Bank Indonesia. Dengan suku bunga acuan saat ini 6 persen, BI paling-paling hanya perlu menaikkan suku bunga sekali lagi ke depannya. Itu pun belum tentu juga, tergantung pada perkembangan terakhir. Investor asing kini tengah melihat Indonesia sebagai lahan investasi yang menarik, sebagaimana tercermin dari IHSG yang mencapai 6.136 (3/12/18). Bila tren ini bisa dipertahankan, ditambah dengan cadangan devisa yang saya perkirakan kini terus naik menjadi USD 116 miliar, maka suku bunga acuan BI tidak perlu naik.

Faktor ketiga adalah tentang meredanya perang dagang AS-China. Dalam 90 hari ke depan, kedua negara akan kembali berunding. Dengan demikian, AS akan menunda menaikkan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen terhadap barang-barang China senilai USD 200 miliar, yang semula akan diberlakukan mulai 1 Januari 2019. AS juga menandatangani perjanjian NAFTA yang baru, bersama Kanada dan Meksiko. Artinya, AS mengakui kembali skema perdagangan bebas tersebut, sesudah menggelorakan proteksionisme yang sesungguhnya kontra-produktif.

Semua dinamika eksternal tersebut bermuara pada menguatnya rupiah secara signifikan, bahkan yang terkuat di Asia. Rupiah agaknya sedang bergerak menuju ke ekuilibrium baru, yang lebih “normal”. Tempo hari, tatkala mencapai Rp 15.200 per dollar AS, level itu diyakini terlalu rendah (undervalued). Lalu, berapa kurs rupiah seharusnya bertengger?

Tidak mudah menentukan kurs rupiah yang ideal, karena tidak hanya ditentukan oleh faktor fundamental yang bersifat kuantitatif (inflasi, neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, aliran modal masuk, cadangan devisa). Masih ada faktor kualitatif yang berperan, yakni sentimen dan psikologi. Jika iklim politik bisa dijaga dengan baik hingga pemilu 17 April 2019 nanti, maka rupiah pun akan kembali ke level normal, dan sangat boleh jadi berada pada level Rp 13.000-an per dollar AS.

Karena itu, sangat penting bagi para aktor politik untuk ikut serta menjaga ketahanan rupiah kita, agar dapat kembali begerak ke level yang semestinya. Jika rupiah menguat dan stabil, barulah kita bisa memulai pekerjaan berikutnya, yakni melakukan redenominasi─suatu ikhtiar memangkas tiga angka nol pada rupiah kita. Inilah mimpi besar kita tentang rupiah yang belum terwujud, karena terusik taper tantrum, suatu periode di mana perekonomian AS membaik atas biaya yang dibebankan kepada negara-negara “sisa dunia”.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Badai Agak Mereda

ArtikelBerita Senin, 12 November 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 6 November 2018

Berita positif bertiup pekan lalu. Dari dalam negeri, pemerintah dan DPR telah menyetujui postur APBN 2019 yang didukung dengan proyeksi dan asumsi yang kredibel, sehingga menumbuhkan keyakinan pasar. Dari sisi moneter, Bank Indonesia memperkenalkan domestic non-deliverable forward (DNDF), yakni fasilitas lindung nilai yang menyebabkan para investor nyaman untuk menempatkan valuta asingnya di Indonesia. Sedangkan dari eksternal, ada kemajuan dalam negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dengan China, sehingga meredakan ketegangan perang dagang.

Sejak perang dagang dikobarkan Presiden Donald Trump, mata uang China yuan justru melemah. Hal ini justru menyebabkan neraca perdagangan AS terhadap China memburuk, yang bertentangan dengan niat untuk mengurangi defisit. Mungkin Presiden Trump mulai menyadari, bahwa perang dagang malah kontraproduktif. Sementara itu, harga minyak dunia pun mulai “jinak”. Harga minyak Brent kini USD 72 per barrel, jenis WTI USD 62 per barrel, atau USD 10 lebih murah daripada posisi sebelumnya, padahal di bumi belahan utara justru sedang bersiap memasuki musim dingin.

Ada satu faktor lagi yang sebenarnya berpotensi meredakan tekanan perekonomian dunia. Inflasi di AS kini mulai landai. Data terakhir inflasi “hanya” 2,3 persen pada September. Jika inflasi bisa terus mendekati 2 persen (level ideal untuk AS), maka sesungguhnya suku bunga acuan The Fed tidak perlu dinaikkan terlalu agresif. Kini suku bunga acuan 2,25 persen. Rencana semula, akan menjadi 2,50 persen pada akhir tahun ini, dan terus naik hingga 3,25 persen pada tahun depan.

Tapi dengan perkembangan terbaru data inflasi, mestinya The Fed bisa mengakhiri suku bunga acuannya di bawah 3 persen saja, misalnya 2,5 persen atau 2,75 persen. Pada level ini, dollar AS tidak perlu mengalami penguatan yang terlalu besar, sebagaimana yang dikehendaki Presiden Trump. Isu ini sekarang berada di tangan Ketua The Fed, Jerome Powell: apakah dia masih ngotot dengan rencana semula, ataukah mengubahnya untuk disesuaikan dengan kondisi paling mutakhir.

Semua faktor ini telah berujung pada sentimen positif berupa menguatnya rupiah hingga Rp 14.953 per dollar AS. Situasi ini tentu memberi harapan besar bagi perekonomian Indonesia, terutama setelah APBN 2019 memroyeksikan kurs Rp 15.000 per dollar AS sebagai level rata-rata tahun depan.

Hal yang paling menonjol dari APBN 2019 adalah kehendak kuat untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah, yang biasanya terealisasi 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi hanya defisit 1,84 persen, atau yang terendah sejak 2013. Berkurangnya defisit juga berimbas positif pada keseimbangan primer, yang akan ditekan mendekati nol, yakni hanya Rp 20 triliun pada 2019. Berarti turun dari level sebelumnya Rp 125 triliun (2017) dan 65 triliun (prognosis 2018).

Keseimbangan primer merupakan selisih dari pendapatan negara total dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika pendapatan negara total lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primernya positif, yang berarti masih tersedia dana yang cukup untuk membayar bunga utang. Sebaliknya, jika pendapatan negara total lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primer akan negatif, yang berarti sudah tidak tersedia dana untuk membayar bunga utang. Dengan kata lain, sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru, alias “gali lubang tutup lubang”.

Ini indikasi yang baik bahwa pemerintah menunjukkan hasratnya untuk terus memperbaiki struktur utang. Saat ini utang pemerintah sekitar Rp 4.400 triliun, atau sekitar 30 persen terhadap PDB. Masih jauh dari batas aman 60 persen terhadap PDB. Sedangkan utang luar negeri, yakni berasal dari pemerintah dan swasta, kini sekitar USD 360 miliar (sekitar Rp 5.400 triliun), atau sekitar 36 persen terhadap PDB. Ini pun aman, meski pemerintah harus terus mewaspadainya, karena sering kali sentimen pasar mengabaikan kondisi obyektif. Rupiah melemah kadang-kadang disebabkan oleh “efek ikut-ikutan” (bandwagon effect).

Pemerintah juga memroyeksikan rupiah Rp 15.000 per dollar AS pada tahun depan. Ini asumsi yang tepat. Di satu pihak, memang ada potensi tahun depan terjadi pemburukan perekonomian global karena berlanjutnya kenaikan suku bunga, perang dagang AS-China kian intensif, serta harga minyak naik. Namun jangan lupa, hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. The Fed belum tentu menaikkan suku bunganya secara agresif; perundingan dagang AS-China berjalan baik; dan harga minyak kembali ke ekuilibrium yang lebih rasional. Jangan lupa, AS terus giat menambah produksi minyak nonkonvensionalnya (shale oil), sehingga mencapai puncak produksi pada 2020. Ke depannya, pasokan minyak dunia bakal melimpah.

Pemerintah Indonesia juga menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen tahun depan. Ini realistis dan kredibel. Di satu pihak, tentu saja pemerintah berkepentingan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, misalnya 6 persen. Namun, perekonomian dunia belum menunjukkan indikasi beranjak. Tahun ini pun IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen, yang kemudian mendatar pada 2019, karena kekurangan insentif.

Meski demikian, kita tidak boleh kehilangan harapan. Kalau saja AS dapat menahan diri dalam hal suku bunga dan perang dagang dan pasokan minyak bisa diperbanyak; sebenarnya tahun depan masih menyisakan harapan. Jika pertumbuhan ekonomi global bisa kembali ke 3,9 persen, bukan mustahil kita bisa mencapai pertumbuhan di atas 5,3 persen pada 2019.

Biarlah perekonomian dunia setahap demi setahap menemukan ekuilibrium barunya. Yang penting bagi Indonesia adalah terus menjalankan agendanya, yakni: (1) meningkatkan daya saing untuk memangkas defisit transaksi berjalan; (2) menurunkan defisit fiskal dengan memperbaiki struktur penerimaan pajak; dan (3) mendorong hilirisasi agar ekspor kita kian berbasiskan manufaktur. Semua agenda ini terjal, tetapi kita pantang menyerah untuk meraihnya.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Perang yang Sia-sia

ArtikelBerita Selasa, 16 Oktober 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 16 Oktober 2018

Presiden Joko Widodo berhasil menyampaikan pesan moral yang sangat kuat kepada seluruh dunia melalui IMF-World Bank Group annual meeting di Nusa Dua, Bali, pekan lalu. Pada forum yang dihadiri oleh 36.339 delegasi dari 189 negara tersebut, Presiden Jokowi secara kreatif menggunakan metafora film serial televisi Game of Thrones, untuk menggambarkan kondisi perekonomian dunia saat ini.

Meski tidak menyebut negara tertentu secara spesifik, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa perang dagang yang kini mulai terjadi pada akhirnya akan berujung pada kesia-siaan belaka. Perang dagang adalah mubazir, karena akan menyengsarakan tidak hanya bagi pihak yang kalah, namun juga bagi pemenangnya. Semua pihak bakal menderita, sama-sama kalah, dan merana. Simulasi yang dilakukan oleh para ekonom menunjukkan, bahwa perang dagang akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia menyusut 1 persen.

Amerika Serikat kini memang sedang menikmati kejayaannya. Pertumbuhan ekonominya mencapai 4,2 persen pada triwulan kedua 2018; inflasi 2,3 persen (year on year); dan pengangguran hanya 3,7 persen. Meski demikian, mantan Ketua The Fed Janet Yellen mengingatkan, bahwa angka pengangguran tersebut sesungguhnya kurang riil, karena banyak pekerja yang sebenarnya hanya bekerja paruh waktu, bukan full time. Jadi sebenarnya angka pengangguran tersebut mengandung bias.

Masalah besar yang masih dialami AS adalah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Meski berinisiatif melakukan perang dagang, defisit perdagangan AS kini justru meningkat. Selama Januari-September 2018, defisit AS terhadap China mencapai USD 225 miliar, atau USD 30 miliar lebih besar daripada tahun lalu. Penyebabnya adalah penurunan ekspor AS yang disebabkan oleh menguatnya dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk yuan. Sepanjang 2017, defisit perdagangan AS terhadap China mencapai USD 375 miliar.

Jadi, sebenarnya AS sedang mengalami dilema dan paradoks. Di satu pihak, dari sisi moneter, The Fed sedang berupaya melakukan normalisasi suku bunga. Mengapa suku bunga perlu dinaikkan? Karena jika rezim suku bunga rendah diteruskan, AS justru akan menghadapi masalah overheating. Konsumsi masyarakat menjadi terlalu agresif, yang mendorong kenaikan inflasi.

Untuk meredamnya, diperlukan koreksi berupa mendorong suku bunga ke level “normal baru”. Namun, kenaikan suku bunga ini justru menyebabkan kurs dollar AS menguat terhadap mata uang seluruh dunia. Akibatnya, neraca perdagangan AS pun memburuk, defisitnya malah membesar. Dengan kata lain, perang dagang yang digelorakan Presiden Trump bakal sia-sia dan kontraproduktif.

Ketika pertumbuhan ekonomia dunia menurun 1 persen, dampaknya bisa menurunkan permintaan terhadap barang-barang AS. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi AS juga akan melemah. AS pun akan ikut menderita oleh kebijakan yang dibuatnya sendiri. Dalam situasi seperti ini, maka baik AS maupun seluruh negara lain, akan sama-sama menderita.

Dalam situasi paradoks ini, maka AS pun bersikap gamang. Ketua The Fed berencana untuk meneruskan rencananya menaikkan suku bunga, sedangkan Presiden Trump menghendaki agar suku bunga jangan naik. Namun The Fed adalah institusi yang independen, sehingga Presiden Trump tidak bisa mengintervensinya.

Sementara itu, isu Belt and Road Initiative (BRI) juga menarik didiskusikan di Bali. Inisiatif untuk menciptakan konektivitas (pembangunan kereta api dari China ke Asia dan Eropa) ini digagas oleh China, tatkala Presiden Xi Jinping berkunjung ke Kazakhstan dan Indonesia (2013). Persoalan terbesarnya adalah, kekhawatiran negara-negara yang dilalui oleh “jalur sutera” ini akan berutang lebih banyak lagi. Bagaimana mereka kelak membayar kembalinya ? Apakah China akan bersedia menanggungnya ?

Malaysia pun membatalkan jalur kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura, dengan alasan utang pemerintahnya sudah melampaui 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto. BRI digagas China sebagai upaya untuk menurunkan biaya perdagangan, sehingga menjadi lebih efisien. Namun hal ini akan sia-sia belaka jika AS terus ngotot untuk menggelorakan perang dagang, karena dirinya merasa menderita defisit perdagangan yang terlalu besar.

Pusaran inilah yang hendak diingatkan oleh Presiden Jokowi, agar disikapi dengan lebih bijaksana. Apakah rivalitas dan kompetisi yang sengit semacam ini lebih dibutuhkan dunia daripada kerjasama dan kolaborasi? Inilah pesan terpenting yang begitu menggugah kesadaran kolektif seluruh peserta pertemuan di Bali. Presiden Jokowi membuat metafora, bahwa jika kita tidak bisa mengelola masalah ini dengan baik, maka kita pun bakal segera menghadapi musim dingin yang mencekam (winter is coming). Dalam film seri Game of Thrones, Evil Winter digambarkan sebagai musuh bersama yang bisa meluluhlantakkan semuanya.

Pertemuan tahunan di Bali ternyata tidak hanya berhasil mendatangkan banyak delegasi dari seluruh dunia, serta komitmen investasi masuk ke Indonesia USD 13,5 miliar (setara Rp 202 triliun). Hal yang tak kalah penting adalah Indonesia berhasil menyampaikan pesan moral tentang musuh bersama perekonomian dunia saat ini, yakni proteksionisme, perang dagang, dan berbagai kebijakan lain yang didesain untuk keuntungan segelintir negara kuat.

Semangat kolektivisme dalam konteks multilateralisme sudah seharusnya digalang kembali, melalui momentum acara IMF dan Bank Dunia. Indonesia telah secara cerdik memanfaatkan momentum tersebut untuk memulai diskursus ini. Semoga ini bisa menjadi bola salju positif yang menyadarkan negara-negara besar untuk menahan diri dan bertindak bijak. Semua negara di seluruh dunia harus kompak bersatu untuk menghindari terjangan badai salju di musim dingin yang mencekam…

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Menggalang Kembali Solidaritas Multilateralisme Menghadapi “Evil Winter”

ArtikelBerita Senin, 15 Oktober 2018

Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 15 Oktober 2018

Kita sungguh beruntung bisa menjadi tuan rumah IMF-World Bank Group Annual Meeting 2018 (biasa disebut Annual Meeting atau AM), di Nusa Dua, Bali. Kenapa ? Karena Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia kali ini dilakukan pada saat yang genting bagi perekonomian dunia, yang sedang mengalami perubahan lanskap secara fundamental. Sebagai tuan rumah, Indonesia berhasil “mencuri perhatian” dunia, karena nasib dan masa depan perekonomian dunia didiskusikan secara intensif oleh 189 negara yang melibatkan 36.619 peserta. Inilah rekor peserta terbanyak dalam sejarah Annual Meeting.

Bahwa pertemuan ini menelan biaya Rp 855 miliar (belakangan, Ketua Panitia Luhut Panjaitan, meyakini biayanya bisa ditekan menjadi Rp 500 miliar), memang benar. Namun biaya tersebut segera tertelan oleh hasil yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara langsung, para peserta membelanjakan duitnya di Bali dan berbagai kota lain sebagai dampak ikutan. Diperkirakan peserta asing membelanjakan USD 2.500 per orang. Angka ini masuk akal, mengingat wistawan mancanegara yang berada di Indonesia rata-rata mengeluarkan USD 1.100 per orang. Peserta AM yang datang ke Indonesia cenderung high profile, sehingga profil belanjanya melebihi rata-rata.

Sedangkan dampak jangka panjang yang diperoleh ada dua. Pertama, nama Indonesia terekspos di media internasional. Wartawan asing yang datang meliput mencapai 1.100 orang. Indonesia mendapat publisitas “gratis” di media internasional. Ini mirip memasang iklan di televisi dan media cetak global yang bakal berimbas positif bagi industri MICE (meeting, incentive, convention and exhibition) di masa depan. Ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mendorong industri pariwisata yang kini menjadi tren dunia experience economy. Di Asia Tenggara, jumlah wisatawan asing ke Indonesia kini mencapai 15 juta orang setahun atau masih tercecer dibandingkan Malaysia (26 juta orang) dan Thailand (35 juta orang).

Kedua, pemerintah berhasil menggaet investasi asing sedikitnya USD 13,5 miliar (setara Rp 202 triliun), yang berasal dari kesepakatan 19 investor asing dengan 14 BUMN. Angka Rp 202 triliun ini lazimnya memang masih berupa komitmen. Belum tentu semuanya akan direalisasikan (menjadi actual). Namun jika kita asumsikan 60 persen saja yang benar-benar terealisasikan, maka itu berarti Rp 121 triliun investasi akan masuk ke Indonesia.

Dengan kalkulasi sederhana ini saja, kita dengan mudah berani pastikan, bahwa penyelenggaraan AM yang berbiaya katakanlah Rp 855 miliar atau masih di bawah Rp 1 triliun, dengan segera langsung menuai hasil positif. Indonesia beruntung. Memang benar bahwa sayangnya, AM diselenggarakan tatkala Indonesia tengah berduka karena musibah alam di Palu, Donggala dan Lombok. Namun di sisi lain, forum AM juga berhasil menggalang solidaritas multilateral untuk membantu. Bahkan managing director IMF Christine Lagarde dan sejumlah pimpinan IMF pun menyumbang secara pribadi, di luar organisasi.

 Trauma terhadap IMF

Kontroversi terhadap penyelenggaraan AM di Bali ini, harus diakui dihinggapi oleh sentimen negatif terhadap IMF, karena IMF pernah dianggap gagal mengentaskan Indonesia dari krisis finansial Asia, 20 tahun silam (waktu itu kita menyebutkan “krisis moneter” 1998). Hal ini tidak kita pungkiri. Beberapa resep IMF untuk melawan krisis ekonomi Indonesia, ternyata tidak manjur, kontraproduktif dan bahkan malah meningkatkan eskalasi krisis.

Resep –resep tersebut tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, upaya menurunkan subsidi BBM untuk menyehatkan APBN, dengan cara menaikkan harga BBM. Ternyata dampaknya negatif, karena secara politik tidak bisa diterima dan menimbulkan kegaduhan. Kedua, menaikkan suku bunga deposito di bank hingga 60-70 persen, agar masyarakat lebih setia “memegang” rupiah daripada valuta asing. Kebijakan ini ternyata menyengsarakan bank-bank, sehingga hampir semua bank bangkrut.

Ketiga, IMF memang memberikan injeksi dana talangan (bailout). Namun dosisnya terlalu kecil, cuma USD 15 miliar yang diberikan bertahap selama 15 bulan. Ini ibarat dokter yang memberikan obat secara benar, Namun dosisnya kurang. Akibatnya pasiennya tidak sembuh. Indonesia harus berjuang cukup lama sebelum akhirnya mulai mengalami recovery. Keempat, IMF mendorong privatisasi BUMN. Kebijakan ini sebenarnya bisa dimengerti, tatkala fiskal kita sakit parah, penjualan saham BUMN menjadi salah satu solusi yang niscaya. Namun privatisasi BUMN yang tergopoh-gopoh telah menimbulkan moral hazard. Karena itu, program ini pun secara politis menuai banyak tentangan.

Berbagai peristiwa tersebut memang membekaskan memori yang kurang baik bagi kita. Namun situasinya kini berbeda. Indonesia bukan lagi “pasien“ IMF dan utang kepada mereka pun sudah dilunasi. Christne Lagarde juga sudah memastikan, bahwa perekonomian Indonesia kini dalam kondisi sehat, sehingga tidak lagi memerlukan kucuran utang dari mereka. Bahwa kurs rupiah mengalami depresiasi 10 persen tahun ini, hal itu memang terjadi. Namun, tambah Christine, semua negara juga mengalami. Bahkan kini yuan China pun mengalami depresiasi. Situasi Indonesia saat ini sangat jauh lebih baik daripada 1998.

Namun akhirnya kritik terhadap penyelenggaraan AM di Bali pun berangsur mereda, seiring dengan bukti bahwa penyelenggaraannya ternyata sukses besar. Di sisi lain, perhatian dan empati terhadap pemulihan Palu, Donggala dan Lombok terus dilakukan. Manajemen krisis di sana pun berangsur membaik.

Penyelenggaraan AM di Bali juga menyedot perhatian dunia, karena hadirnya beberapa figur terpenting dunia dewasa ini. Misalnya, Jerome Powell, Ketua The Fed, orang yang paling bertanggung jawab terhadap tren kenaikan suku bunga di seluruh dunia yang dipicu oleh kenaikan FFR (Fed Fund Rate). Dialah yang mengacak-acak kurs mata uang seluruh dunia melalui kebijakan “normalisasi suku bunga AS”.

Juga kehadiran Jack Ma, pendiri bisnis berbasiskan teknologi Alibaba Group, yang berbagi visinya terhadap masa depan perekonomian dunia yang tengah menapaki era revolusi industri 4.0 yang berbasis teknologi. Jack Ma juga menyatakan dukungannya dan kesediaannya untuk membantu pembangunan manusia (human capital development) yang menjadi prioritas Presiden Jokowi, selain proyek-proyek infrastruktur fisik.

Komitmen Jack Ma ini tentu bukan main-main. Ma barusan datang ke Jakarta pada awal September yang lalu untuk penutupan Asian Games. Dalam tempo singkat, Ma sudah datang lagi ke Indonesia, kali ini di Bali. Di hadapan forum AM, Jack Ma mengungkapkan komitmennya terhadap Indonesia. Ini tentu menjadi sebuah kesempatan besar bagi Indonesia untuk menindaklajutinya. Hubungan pertemanan pribadi yang baik antara Jack Ma dengan Presiden Jokowi juga menjadi kunci bahwa komitmen tersebut bakal direalisasikan. Lagi-lagi Indonesia mendapat manfaat besar dari penyelenggaraan AM ini. Kita percaya pada komitmen Jack Ma, tanpa perlu menagihnya di kemudian hari.

“Winter is Coming”

Puncak acara AM adalah pidato Presiden Jokowi pada Jumat, 12 Oktober 2018. Pidato yang diakhiri dengan standing ovation oleh semua peserta ini, menjadi panggung yang berhasil dioptimalkan dengan baik oleh Presiden Jokowi. Dia berhasil menggalang kesadaran kolektif seluruh dunia, bahwa perekonomian dunia terancam oleh “badai musim dingin”, sebagaimana Evil Winter dalam film seri televisi Game of Thrones, yang kini sudah mencapai delapan musim, dan tahun depan menjadi yang terakhir (final season).

Secara sporadis, kekhawatiran terhadap dampak trade war yang dicanangkan oleh Presiden AS Donald Trump, sudah diwacanakan banyak pihak. Namun bahwa hal itu digaungkan pada sebuah forum internasional yang dihadiri begitu banyak orang dari 189 orang, hal ini menjadi kecerdikan Presiden Jokowi untuk mengoptimalkan panggung yang dia miliki. Akibatnya, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, merasa sudah tidak perlu berpidato lagi, karena pidato Presiden Jokowi sudah sangat bagus dan komprehensif. Metafora yang disampaikannya sudah sangat pas.

Kebetulan di belahan bumi utara (Amerika Serikat, Eropa dan Kanada) sekarang tengah musim gugur (autumn atau fall) dan menjelang datangnya musim dingin (winter) yang selalu beku dan mencekam. Metafora ini persis yang kita alami bersama dalam perekonomian global yang sedang dicekam oleh kombinasi antara kenaikan suku buga The Fed yang bertubi-tubi, serta perang dagang yang melibatkan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia (AS dan China) yang sudah pasti akan menyeret seluruh dunia ke jurang kesengsaraan.

Perang dagang tidak hanya akan melukai perekonomian negara-negara kecil, namun bahkan negara besar yang mestinya menjadi pemenang pun, juga akan menderita. Semuanya menjadi pecundang. Karena itu, solidaritas dan soliditas dari seluruh negara-negara di dunia, sangat diperlukan. Sinyal itulah yang dikirimkan Presiden Jokowi dari Nusa Dua, Bali.

Tentu saja kita masih akan menunggu bagaimana bola ini terus bergulir, menggema di berbagai peristiwa (event) di dunia. Semua pihak harus terus menggelorakan semangat multilateralisme, menjauhi sikap individualisme yang kini ditampakkan oleh Amerika Serikat. Presiden Trum dan AS kini memang tengah menikmati kedigdayaan perekonomian AS. Modal global dari seluruh dunia mengalir deras ke New York. Namun, sampai kapan ? Apakah itu tanpa batas (limitless) ? Pasti tidak. Semua ada ambang batas toleransinya.

Perekonomian AS tidak bisa “ngebut” sendirian, sementara perekonomian sisa dunia (rest of the world) dibiarkan terkapar tak berdaya. Pada gilirannya nanti, ketika permintaan (demand) dunia terhadap produk-produk AS (misalnya senjata militer, dan yang berbasiskan teknologi) menjadi melemah, maka pertumbuhan ekonomi AS yang kini tinggi (2,9 persen) akan tekoreksi juga. Cepat atau lambat, AS pun akan terimbas dampak negatif dari pelemahan ekonomi dunia. Berbagai simulai menunjukkan, bahwa trade war berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dengan 1 persen.

Seperti yang dikatakan Presiden Jokowi, kita semua sudah bisa menebak akhir cerita Game of Thrones pada tahun depan: kebajikan akan menjadi pemenangnya. Sebagai warga dunia, seluruh 189 negara anggota IMF dan Bank Dunia berkewajiban memberi kontribusi apa pun, agar “bunuh diri massal” yang dipicu oleh perang dagang, harus dihindari. Negara terbesar di dunia, AS, harus terus diingatkan. Kalau tidak, kita akan disapu oleh badai musim dingin yang beku dan mencekam.

Akhirnya, selamat untuk Indonesia yang sudah sangat berhasil menyelenggarakan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, menyusul keberhasilan penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games, yang begitu mengagumkan dunia itu. Kita sungguh bangga dan takjub, tanpa bisa berkata-kata lagi…..

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Suku Bunga ‘Normal’

ArtikelBerita Selasa, 25 September 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 25 September 2018

Akhir pekan lalu, rupiah sempat menguat dalam 3-4 hari berturut-turut, sehingga memberi angin segar dan harapan, bahwa Bank Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga acuannya (7 days reverse repo rate) pada pertemuan Dewan Gubernur BI pekan ini. Namun kemarin (Senin 24/9), dollar AS tiba-tiba kembali menguat ke hampir seluruh mata uang, termasuk rupiah.

Rupiah diperdagangkan pada Rp 14.867 per dollar AS. Di antara negara-negara Asia, dollar AS menguat terhadap rupiah 0,36 persen, atau lebih baik daripada won Korea (0,46 persen), namun lebih lemah daripada rupee (0,31), baht dan dollar Taiwan (0,22), peso Filipina (0,18), yuan China dan ringgit (0,15), serta dollar Singapura (0,14). Dollar AS stagnan terhadap dollar Hongkong dan yen.

Ada analisis yang menyebutkan bahwa kenaikan dollar AS kali ini disebabkan oleh naiknya intensitas perang dagang AS vs China, serta proses eksekusi Brexit, yakni bercerainya Inggris dari Uni Eropa. Dampaknya, investor global cenderung bermain aman dengan “memegang” aset berdenominasi dollar AS. Namun saya duga masih ada satu lagi penyebabnya, yakni rapat bank sentral AS The Fed pekan ini (25-26 September 2018) yang kuat diduga akan menaikkan suku bunga.

Presiden AS Donald Trump sebenarnya tidak ingin suku bunga dinaikkan, karena menimbulkan dampak apresiasi dollar AS yang kemudian merepotkan daya produk-produk AS. Namun The Fed tampaknya akan melanjutkan rencananya. Mengapa? Pertama, inflasi AS saat ini 2,7 persen (Agustus). Level ini sudah membaik daripada sebelumnya 2,9 persen (Juni-Juli). Namun itu belum cukup baik, karena inflasi yang dianggap pas untuk AS adalah “sekitar 2 persen”. Karena itu, suku bunga perlu dinaikkan lagi, untuk memberi tekanan lebih lanjut terhadap laju inflasi.

Kedua, data perekonomian AS belakangan ini tampak impresif. Pertumbuhan ekonomi 2018, berdasarkan kinerja triwulan kedua, bakal mencapai 4,2 persen. Ini merupakan level pertumbuhan yang tertinggi sejak 2014. Data ini juga didukung kuat oleh data lain, yakni penyerapan tenaga kerja baru yang mencapai 201.000 pada Juli 2018. Sejak Januari, data penciptaan lapangan pekerjaan AS sungguh sangat baik, antara 147.000 hingga 324.000. Pengangguran AS pun kini rendah, cuma 3,9 persen.

Kedua data impresif ini serta merta bisa menaikkan kepercayaan diri investor untuk “memegang” dollar AS. Di sisi lain, juga menaikkan keyakinan The Fed untuk segera menaikkan suku bunga acuannya yang kini 2 persen. The Fed perlu segera melalukan “normalisasi” suku bunga, karena suku bunga acuan masih lebih rendah daripada inflasi. Situasi suku bunga riil negatif 0,7 persen ini dianggap tidak adil bagi para penabung (savers).

Dengan konfogurasi semacam itu, maka estimasi terbaik bagi rapat The Fed pekan ini adalah menaikkan suku bunga. Seperti biasa, pasar pun mulai bereaksi sebelum The Fed benar-benar menaikkan suku bunganya. Karena itu, pilihan terbaik bagi BI adalah menaikkan suku bunga acuannya, agar tak terlalu tertinggal dari The Fed.

Suku bunga acuan terendah The Fed selama ini adalah 0,25 persen, kini 2 persen, dan sebentar lagi 2,5 persen. Sedangkan suku bunga acuan terendah BI adalah 4,25 persen, dan sekarang 5,5 persen. Artinya, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya 1,75 persen, dan BI baru 1,25 persen. Dengan kata lain, BI sebenarnya belum sepenuhnya ahead of the curve, sebagaimana diinginkan Gubernur Perry Warjiyo. Suku bunga BI masih agak tercecer (ketinggalan) dibandingkan The Fed.

Faktor inilah yang bisa menjelaskan, kenapa kurs rupiah tempo hari sempat menyentuh Rp 15.000 per dollar AS, yang dianggap bukan level yang semestinya. Rupiah dianggap terlalu murah (undervalued). Pada saat krisis 1998, rupiah yang terlalu murah mengundang manfaat berupa kenaikan ekspor dan penurunan impor, sehingga neraca perdagangan surplus.

Tidak elastis

Namun situasi sekarang berbeda. Rupiah melemah tidak serta merta menaikkan surplus, karena kombinasi tiga hal. Pertama, ekspor kita tidak elastis terhadap perubahan kurs, karena banyak yang berupa komoditas primer. Kedua, pada saat yang sama mata uang lain juga terdepresiasi (termasuk para kompetitor), sehingga harga produknya sama-sama kian murah. Ketiga, defisit migas kita kian lebar karena produksi minyak kita terus menurun (di bawah 800.000 barrel per hari), sedangkan harga minyak dunia naik (USD 77 per barrel).

Kenaikan suku bunga acuan BI sesungguhnya tidak diinginkan. Kebijakan ini berisiko menggagalkan upaya OJK untuk mendorong ekspansi kredit melampaui 10 persen. Begitu pula kredit bermasalah (NPL) diperkirakan akan naik di atas 3 persen. Namun, itulah “harga” yang harus dikeluarkan sebagai upaya stabilisasi rupiah. Namun dibandingkan dengan biaya untuk memproteksi rupiah pada saat krisis 1998, itu jauh lebih murah. Atas saran IMF, BI pernah menaikkan suku bunga deposito bank-bank umum hingga 60-70 persen, yang berakibat insolvency dan kebangkrutan.

Jika suku bunga The Fed terus dinaikkan dan tahun depan mencapai 3,25 persen, maka kemungkinan BI juga akan meresponsnya dengan menaikkan suku bunga hingga 6,5 persen. Namun jika inflasi AS bisa berkurang secepatnya, misalnya mendekati 2 persen, maka bisa jadi The Fed urung menaikkan suku bunganya secepat itu. Suku bunga The Fed maksimal mungkin hanya 2,75 persen; sehingga suku bunga BI maksimal juga hanya 6 persen. Inilah level yang akan menjadi suku bunga “normal baru”.

Perbedaan mendasar lain adalah, industri perbankan sebagai jantung perekonomian, telah berubah wajah. Pada 1998, semua bank terkapar dan harus diinjeksi modal baru Rp 650 triliun, sedangkan kini hampir semua bank sehat, dan bahkan yang tersehat mampu membukukan laba fantastis antara Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Tekanan Belum Reda

ArtikelBerita Selasa, 28 Agustus 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 28 Agustus 2018

Tekanan terhadap kurs rupiah belum reda. Rupiah masih diperdagangkan di sekitar Rp 14.600 per dollar AS. Kabar terakhir dari Amerika Serikat, Kepala The Fed Jerome Powell masih berkeras untuk menaikkan lagi suku bunga acuannya tahun ini, diperkirakan menjadi 2,50 persen, lalu mencapai 3,25 persen pada tahun depan. Padahal rencana ini ditentang oleh Presiden Donald Trump. Powell yakin kenaikan suku bunga akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, sebaliknya Trump takut hal itu membuat kurs dollar AS menguat dan menyulitkan neraca perdagangan AS.

Rencana kenaikan suku bunga ini tentu saja memberi tambahan tekanan terhadap kurs rupiah. Itulah sebabnya Bank Indonesia terpaksa menaikkan lagi suku bunga acuannya menjadi 5,50 persen. Belum lagi satu masalah berakhir, timbul komplikasi baru tatkala perekonomian Turki dilanda krisis, sehingga meniupkan sentimen negatif global. Ekonom Paul Krugman malah menyebut krisis tersebut mempunyai kemiripan dengan kejadian krisis perekonomian Indonesia 20 tahun silam, 1998 (“Partying Like It’s 1998”, The New York Times, 11/8/18).

Padahal, Turki sebenarnya mau kita jadikan acuan untuk program redenominasi rupiah yang sudah digagas sejak beberapa tahun silam, namun masih menunggu momentum yang tepat untuk menjalankannya. Seperti diketahui, Turki telah berhasil memangkas enam angka nol mata uangnya, sehingga satu juta (1.000.000) lira lama bisa diubah menjadi satu lira baru (new Turkish lira), pada 1 Januari 2005. Sebelumnya, lira Turki merupakan salah satu mata uang dunia yang terlemah sepanjang sejarah.

Pada 2001 misalnya, 1 dollar AS ekuivalen dengan 1,65 juta lira Turki lama ! Pecahan uang (bank notes) lira ada yang mencapai 20 juta lira selembar ! Inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) tercermin dari harga sebotol air mineral 300 ribu lira, tiket bioskop 7,5 juta lira dan Toyota Corolla 33 miliar lira!

Redenominasi lira Turki dengan menghilangkan enam angka nol bukanlah yang paling dramatis. Brasil pernah menghapus 18 angka nol dalam empat kali redenominasi; Argentina 13 angka nol dalam empat kali; Israel 9 angka nol dalam empat kali; Bolivia 9 angka nol dalam dua kali; serta Peru 6 angka nol dalam dua kali. Sedangkan redenominasi yang menghapus angka nol lebih sedikit adalah: Ukraina (5 angka nol), Polandia (4), Meksiko (3), Rusia (3) dan Islandia (2).

Awalnya, Turki sukses mengawal kurs lira. Sesudah redenominasi, satu dollar AS ekuivalen 1,34 lira (2005); kemudian 1,50 lira (2010); 2,72 lira (2015); 3,02 lira (2016); 3,65 lira (2017); lalu 7,23 lira; sebelum membaik ke 6 lira per dollar AS (2018). Mengapa lira sampai terdepresisasi secara dalam ? Jawabnya adalah ketidakpercayaan (distrust) karena kinerja dan reputasinya perekonomian yang kurang baik. Defisit transaksi berjalan yang mestinya maksimal 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dilanggar ke 5,5 persen, utang pemerintah 60 persen terhadap PDB.

Perekonomian Turki juga memiliki ketergantungan yang tinggi pada pendanaan asing, utang luar negerinya 53 persen terhadap PDB, di mana 70 persen utang luar negeri tersebut dilakukan oleh sektor swasta. Situasi utang inilah yang dinilai Krugman memiliki kemiripan dengan Indonesia pada 1998.

Yang menarik, bagaimana mungkin lira Turki terperosok justru tatkala pada tahun lalu perekonomiannya bisa tumbuh tinggi 7,4 persen. Bagaimana menjelaskannya ? Ekonom Harvard keturunan Turki, Dani Rodrik, mengatakan bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga berkontribusi. Perekonomian Turki pada dasarnya dipacu oleh mudahnya kredit dikucurkan. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibangun dari tumpukan utang yang tidak proporsional, akan berujung nestapa. Dan sekarang ini, kata Dani, Turki sedang mengalaminya (“The Economic Costs of Erdogan”, Project Syndicate, 24/8/18).

Perbandingan

Ada beberapa statistik menarik yang bisa diperbandingkan antara Turki dan Indonesia. Para ekonom sepakat bahwa Turki mengalami krisis karena menumpuknya utang luar negeri (pemerintah dan swasta), yang saat ini posisinya USD 453 miliar. Sedangkan Indonesia, sekarang utang luar negerinya lebih rendah, USD 387 miliar.

Dalam hal cadangan devisa, Turki (USD 124 miliar) sedikit lebih baik daripada Indonesia (USD 118 miliar). Yang juga menarik, sebelum terjadi gonjang-ganjing kenaikan suku bunga AS pada 2018, cadangan devisa Turki pernah mencapai puncaknya USD 142 miliar (Oktober 2017), sedangkan Indonesia USD 132 miliar (Februari 2018). Statistik lain adalah: PDB Turki USD 900 miliar, sedangkan Indonesia USD 1 triliun.

Jadi, apa kesimpulan dari kasus Turki dan pelajaran terpenting apa yang bisa dipetik bagi Indonesia ?

Pertama, soal utang luar negeri, jika dibandingkan dengan PDB, Turki (50 persen) jauh lebih jelek daripada Indonesia (38 persen). Sedangkan jika dibandingkan dengan cadangan devisa, kondisi Turki (3,6 kali lipat) juga tetap lebih jelek dibandingkan Indonesia (3,2 kali lipat).

Kedua, meski sempat mengalami sukses redenominasi (memangkas enam angka nol pada lira lama ke lira baru), namun jika tidak bisa menjaga stabilitas harga (inflasi mencapai digit ganda), maka mata uang lira baru pun akan kembali terkoreksi. Ini pelajaran penting bagi Indonesia yang juga merencanakan melakukan redenominasi.

Ketiga, sekalipun kondisi utang Indonesia masih lebih baik daripada Turki, namun kewaspadaan terhadap posisi utang merupakan hal yang wajib. Upaya pemerintah untuk menekan defisit anggaran menjadi di bawah 2 persen menjadi relevan dan esensial. Berarti pemerintah memang harus “menginjak rem” pembangunan infrastruktur, yang belum terlihat dari anggaran infrastruktur yang mencapai Rp 420 triliun (2019), yang masih lebih tinggi daripada posisi saat ini Rp 410 triliun (2018).

Keempat, kita perlu juga mendengar pendapat Krugman, bahwa kebijakan pengawasan devisa (capital control) secara sementara, perlu diaplikasikan. Kebijakan ini perlu dilakukan dalam jangka pendek hingga kondisi kurs mulai stabil pada level yang wajar (mencerminkan kondisi fundamental perekonomian). Indonesia sejauh ini baru sampai pada taraf mengimbau para pelaku ekonomi menaruh devisanya di dalam negeri. Langkah yang lebih mengikat masih diperlukan untuk menangkal depresiasi rupiah lanjutan.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Mencoba Tetap Realistis di Tengah Gelombang Tekanan

ArtikelBerita Senin, 20 Agustus 2018

Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 20 Agustus 2018

Presiden Joko Widodo menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 dengan skenario yang diupayakan serealistis mungkin. Pemerintah memang tidak mungkin bisa mengelak, bahwa perekonomian Indonesia masih berada dalam tekanan besar dari berbagai penjuru. Masalah kita tidak sekadar terancam kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat, namun masih ada berbagai faktor lain yang ikut mengganggu, yakni kenaikan harga minyak dunia, perang dagang, seta belakangan ini krisis ekonomi Turki. Semua faktor itu telah secara simultan menekan hampir semua mata uang dunia, termasuk rupiah.

Di tengah gelombang tekanan itu, pemerintah harus menyusun anggaran secara realistis agar kredibel. Pada awal Presiden Jokowi menjalankan tugasnya, harus diakui muncul berbagai proyeksi dan asumsi yang “terlalu ideal”, sehingga sulit direalisasikan. Meski awalnya memberi kesan bahwa kabinet Jokowi ingin bekerja keras dengan menetapkan target-target yang tinggi, namun hal itu sebenarnya percuma. Kenapa ? Karena pasar justru menilainya sebagai tidak kredibel. Jika semakin banyak target tidak tercapai, menjadi sekadar wishful thinking, maka kebijakan fiskal itu pun menjadi tidak kredibel.

Kini situasinya berbeda. Pemerintah pasti sudah belajar banyak dari peristiwa itu. Maka RAPBN 2019 pun kini disusun berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi makro yang lebih realistis, bisa tercapai (achievable), sehingga kredibel di mata pasar, dan yang tak kalah penting: memperhatikan keberlanjutannya (sustainable).

Pertumbuhan Ekonomi dan Kurs Rupiah

Proyeksi yang paling menarik adalah variabel pertumbuhan ekonomi dan kurs rupiah. Pertumbuhan ekonomi 2019 dicanangkan 5,3 persen. Tumben, kali ini pemerintah tidak mencoba memproyeksikan angka yang “fantastis” untuk ukuran sekarang, misalnya di atas 5 persen. Tahun lalu, pemerintah masih mencoba membuat range pertumbuhan yang tinggi untuk 2018, sebelum kemudian mulai realistis bahwa modal terbesar untuk mencapainya tidak kita miliki. Modal terpenting itu adalah gairah konsumsi. Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan konsumsi rumah tangga (household consumption) hanya berkutat pada level 5 persen, dan masih sulit mengungkitnya.

Kita seperti terkena jebakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5 persen, karena berbegai kendala. Saya menilai situasi ini terjadi karena masyarakat nampaknya mulai memasang strategi defensif terhadap krisis. Ketika mereka menilai perekonomian nasional dan global mengalami tekanan (under pressured), maka sikap terbaik adalah cenderung konservatif dalam merealisasikan rencana konsumsinya. Dengan kata lain, mereka memilih menunda konsumsinya dan melakukan konsumsi “seadanya”. Kelak jika perekonomian membaik, rencana konsumsi tersebut bisa dieksekusi. Tidak harus melakukannya sekarang.

“Teori” lain tentang lambatnya konsumsi ini mengacu pada fenomena inovasi yang bersifat disruptif. Perekonomian global sedang dilanda arus besar inovasi-inovasi dalam berbisnis, yang sifatnya disruptif atau mengganggu kemapanan pemain lama. Pemain baru yang inovatif ini bercirikan lebih sigap, cepat delivery-nya, sehingga efisien. Kehadiran pemain-pemain bisnis baru ini (perusahaan start up) mengganggu pemain-pemain lama, sehingga terjadi proses transisi. Pada saat itulah konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan, karena belum tancap gas secara “pol” (100 persen).

Dalam situasi seperti inilah, sulit diharapkan terjadinya lompatan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, bila tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai antara 5,1 persen hingga 5,2 persen, maka tahun depan diproyeksikan hanya bertambah sedikit, menjadi 5,3-5,4 persen. Entah mengapa, pemerintah memilih 5,3 persen ketimbang 5,4 persen. Mungkin ingin “aman” saja. Tapi sebenarnya mencanangkan 5,4 persen pun sebenarnya sah saja, dan itu masih dalam koridor rasional.

Sedangkan asumsi kurs Rp 14.400 per dollar AS, padahal saat ini kurs Rp 14.600 per dollar AS, bisa diperdebatkan. Saya merasa asumsi pemerintah sudah benar dan rasional. Mengapa? Jika pemerintah mengikuti kurs saat ini Rp 14.600 per dollar AS, itu dapat menimbulkan sangkaan bahwa pemerintah sudah puas dengan kinerja Bank Indonesia dan rupiah saat ini. Berarti, tanpa melakukan upaya keras pun, rupiah sudah berada pada keseimbangan yang sudah ditetapkan, pada Rp 14.600. Seolah-olah pemerintah sudah tidak punya ambisi dan niat untuk bekerja keras lagi untuk memperbaiki kurs rupiah.

Sikap ini tidak benar. Pemerintah harus punya visi dan pendirian: sebenarnya, berapakan level ideal rupiah ? Saya sendiri menilai kurs rupiah Rp 14.600 masih mengandung bias, yakni “tertarik” ke bawah (melemah) karena dipicu oleh krisis ekonomi Turki. Padahal menurut saya, ini tidak benar. Silakan Turki mengalami krisis, namun sesungguhnya dampaknya tidak perlu terlalu heboh (“lebay”) seperti sekarang.

Turki adalah negara yang PDB-nya tidak terlalu besar, hanya USD 900 miliar, lebih rendah daripada Indonesia yang PDB-nya USD 1 triliun. Turki juga bukan Yunani, negara tetangganya yang menjadi anggota zona euro, sehingga mata uangnya euro. Jika Yunani bangkrut, dampaknya bisa menular (contagion effect) ke negara-negara euro yang lain, termasuk Jerman, Perancis, Belanda. Namun Turki adalah negara yang “berdiri sendiri”, stand alone, yang mata uangnya lira, bukan euro.

Karena itu, krisis Turki sebenarnya bisa diisolasi, tidak seperti Yunani yang bisa segera mentransmisikan krisisnya ke negara-negara lain di Eropa. Tapi, kenapa krisis Turki membuat heboh ? Saya duga karena saat ini negara-negara di seluruh dunia sedang tercekam dan tertekan berbagai masalah (kenaikan suku bunga AS, harga minyak dunia, dan perang dagang), sehingga kasus Turki menjadi sensitif bagi negara-negara lain.

Saya masih percaya bahwa di kemudian hari pasar akan lebih rasional dan tenang dalam menyikapi krisis Turki. Tidak perlu direspons secara berlebihan, karena kasus Turki berbeda dengan kasus Yunani. Mestinya lebih bisa agak diisolasi.

Meski demikian, saya juga kekurangan “amunisi” atau argumentasi untuk membuat asumsi rupiah pada 2018 bisa Rp 14.000 atau lebih kuat, di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Karena pada level itu, bisa jadi rupiah justru sudah kemahalan (overvalued), sehingga menjadi tidak realistis. Karena itu, saya bisa menerima keputusan Menteri Keuangan untuk menetapkan asumsi Rp 14.400 per dollar AS untuk 2019.

Defisit Anggaran Rendah

Proyeksi pemerintah yang mematok defisit anggarannya “hanya” 1,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (nominalnya Rp 297,2 triliun) merupakan hal yang menarik. Inilah defisit terendah (dalam hal persentase, yakni rasio terhadap PDB) dalam waktu yang cukup panjang. Biasanya defisit anggaran “disetel” untuk realisasinya sekitar 2,5 persen terhadap PDB. Sedangkan batas aman adalah 3 persen terhadap PDB. Indonesia belum pernah melanggar batas ini. Sebagai ilustrasi, Amerika Serikat “berani” menetapkan defisit APBN-nya hingga 4,6 persen; Brasil pernah defisit 10 persen; sedangkan rekor terburuk dipegang Yunani dengan defisit 17 persen terhadap PDB.

Di satu pihak, defisit yang relatif rendah tersebut (di bawah 2 persen terhadap PDB) sebenarnya seperti melewatkan kesempatan untuk memperkuat stimulus fiskal, karena masih ada ruang lebih yang mestinya bisa dimanfaatkan. Namun kemudian saya bisa mengerti bahwa Menkeu Sri Mulyani Indrawati perlu “menginjak rem” dalam menambah utang” tatkala data menunjukkan bahwa tahun depan pemerintah harus membayar utang Rp 400 triliun.

Pembayaran utang yang cukup besar ini sempat memicu polemik. Beberapa pihak kembali mempertanyakan besaran utang pemerintah Indonesia. Padahal data menunjukkan, meski utang pemerintah terus naik, namun seiring dengan kenaikan PDB kita, maka secara relatif jumlah seluruh utang pemerintah masih bisa ditahan 30 persen terhadap PDB. Ini masih jauh di bawah batas aman sesuai konsensus internasional, yakni 60 persen terhadap PDB. Seperti diketahui, PDB kita saat ini sekitar Rp 14.000 triliun.

Meski demikian, pemerintah memang tetap perlu mewaspadai utang pemerintah (dalam bentuk valas dan rupiah) dan utang luar negeri keseluruhan (pemerintah dan swasta). Fenomena depresiasi rupiah dalam tujuh bulan terakhir harus direspons dengan kehati-hatian terhadap manajemen utang. Pelemahan rupiah memberi indikasi ada yang salah dalam komposisi cadangan devisa kita (banyak devisa masuk portofolio jangka pendek serta struktur ekspor kita (kurang diversifikasi ke arah produk-produk manufaktur). Meski pemerintah sudah berusaha memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit), namun hal itu baru akan membaik dalam jangka menengah dan panjang. Hampir tak ada solusi sekejap berjangka pendek (quick fix).

Karena itu, sikap terbaik saat ini adalah mengedepankan konservatisme. Pemerintah perlu menurunkan sedikit “tensi” mengejar ketertinggalan infrastruktur. Itu masih belum tercermin dari anggaran infrastruktur yang masih naik dari Rp 410 triliun (2018) menjadi Rp 420 triliun (2019). Belanja yang berekspansi dari Rp 2.200 triliun (2018) menjadi Rp 2.439 triliun (2019) juga masih termasuk “menantang”, alias memberi pesan tetap ekspansif.

Memang tidak mudah menyusun RAPBN 2019. Ada komplikasi yang harus diatasi. Di satu pihak, RAPBN seyogianya harus mengandung spirit ekspansi. Namun di sisi lain, juga harus realistis dan “menginjak rem”, karena berbagai tekanan yang telah dan (masih) akan menerpa perekonomian kita di kemudian hari.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Menginjak Pedal Rem

ArtikelBerita Selasa, 7 Agustus 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 7 Agustus 2018

Ada perkembangan baru dalam kebijakan menaikkan suku bunga di Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump secara terbuka menyatakan ketidaksenangannya terhadap agresivitas The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Trump mengritik bahwa kenaikan suku bunga bertubi-tubi hanya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi AS. Namun dirinya menyadari, bahwa dia tidak bisa mengintervensi bank sentral, karena The Fed dijamin independensinya. The Fed juga merespons bahwa mereka independen dalam menentukan suku bunga (BBC News, 19/7).

Lebih jauh Trump menyatakan, bahwa kenaikan suku bunga malah tidak menguntungkan, karena pada yang saat yang sama Eropa dan Jepang masih mempertahankan rezim suku bunga rendah. Trump juga mengeluh bahwa China dengan sengaja membuat mata uangnya, yuan, melemah. Padahal tahun lalu China menikmati surplus raksasa USD 375 miliar terhadap AS, yang memicu Trump menggelorakan perang dagang (CNN Money, 19/7).

Perbedaan pendapat antara Presiden Trump dengan Ketua The Fed Jerome Powell ini menjadi menarik, karena sebelumnya Trump menginginkan suku bunga AS dinaikkan. Suku bunga rendah yang sudah diberlakukan selama tujuh tahun pada era Kepala The Fed Ben S Bernanke dan Janet Yellen, dianggap tidak adil bagi para penabung (deposan). Terlebih lagi bagi mereka yang mengandalkan pendapatannya dari tabungan di bank. Kelompok ini amat menderita, dan Trump ingin membelanya.

Logika ini semakin menemukan relevansinya tatkala inflasi di AS sekarang mencapai 2,9 persen, atau melebihi target “sekitar 2 persen”, padahal suku bunga acuan hanya 2 persen. Suku bunga ideal saat ini mestinya di atas laju inflasi, karena itu mestinya sekitar 3,25 persen hingga 3,50 persen. Karena itu, logis pula jika The Fed menginginkan kenaikan suku bunga dua kali lagi pada tahun ini, dan tiga kali lagi tahun depan. Dengan asumsi naik lima kali lagi, maka suku bunga acuan (Fed fund rate) akan mencapai 3,25 persen. Level ini cukup untuk “mengompensasi” inflasi 2,9 persen.

Namun masalahnya, setiap kali suku bunga dinaikkan, pasar global meresponsnya dengan kenaikan kurs dollar AS. Implikasinya, harga barang-barang AS menjadi kian mahal. Upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan AS yang mencapai USD 462 miliar pun menjadi kian sulit. AS menderita defisit terbesar di dunia, jauh melampaui peringkat kedua Inggris yang “hanya” defisit USD 91 miliar. Sementara itu, pemilik surplus terbesar di dunia adalah Uni Eropa USD 387 miliar dan China USD 162 miliar.

Bisa jadi situasi dilematis inilah yang ikut mendorong The Fed untuk menahan suku bunga acuannya tetap di kisaran 1,75-2,00 persen pada rapat terakhirnya (Federal Open Market Committee), pada 1 Agustus 2018. Meski demikian, pasar tetap menaruh ekspektasi suku bunga akan dinaikkan ke kisaran 2,00-2,25 persen pada September 2018. Berarti, ancaman penguatan kurs dollar AS masih akan berlanjut. Skenario ini hanya bisa diredam jika tiba-tiba inflasi di AS bisa diturunkan cepat ke level “sekitar 2 persen”. Namun, bisakah itu segera terjadi? Sulit untuk memastikannya.

Dengan latar belakang semacam itu, maka kita harus mulai mengubah cara berpikir kita. Rupiah sudah tidak bisa diharapkan untuk kembali ke level sebelumnya, misalnya di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Meski kurs rupiah saat ini menyerupai kurs Rp 15.000-17.000 per dollar AS pada saat krisis parah 20 tahun silam (1998), namun keduanya berbeda situasinya. Kurs saat ini Rp 14.400 per dollar AS merupakan depresiasi dari posisi sebelumnya Rp 13.700 per dollar AS. Sedangkan kurs Rp 15.000 per dollar AS pada 1998 adalah hasil depresiasi yang sangat tajam daripada posisi sebelumnya Rp 2.300 per dollar AS pada 1997.

Karena itu, secara metodologis sangat keliru (methodologically incorrect) jika orang membandingkan keduanya. Belum lagi indikator lainnya: inflasi 3,18 persen (2018) versus 78 persen (1998); pertumbuhan ekonomi 5 persen (2018) versus minus 13,7 persen (1998). Kondisi industri perbankan juga sangat berbeda. Hampir semua bank merugi dan kolaps pada 1998, dengan modal negatif. Kini bank-bank justru mengalami rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) yang bahkan melampaui 20 persen untuk bank-bank besar.

Meski demikian, banyak penyesuaian yang harus dilakukan untuk memproteksi rupiah. Dari sisi suku bunga, dengan inflasi saat ini hanya 3,18 persen, sebenarnya suku bunga acuan saat ini sudah cukup (5,25 persen). Namun masalahnya tekanan kenaikan suku bunga di AS masih akan terjadi. Namun tampaknya BI masih bisa menahannya dulu hingga menunggu rapat The Fed berikutnya, pada 25-26 September.

Di sisi lain, pemerintah perlu mengerem pengeluaran devisa dalam jumlah besar. Masalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) merupakan faktor internal yang besar pengaruhnya terhadap pelemahan rupiah. Karena itu, ide Presiden Jokowi untuk menunda sebagian proyek infrastrukturnya perlu disambut baik.

Pemerintah tahun ini menganggarkan Rp 410 triliun untuk membangun infrastruktur. Di satu pihak, ini merupakan dorongan besar (big push) yang menggairahkan perekonomian, sebagaimana disarankan teori pertumbuhan Ragnar Nurkse (1907-1959). Namun di sisi lain, ternyata pembangunan infrastruktur juga diikuti dengan pembelanjaan dalam valuta asing, yang berkontribusi pada melebarnya defisit transaksi berjalan dan berkurangnya cadangan devisa.

Penjadwalan kembali proyek-proyek infrastruktur merupakan sebuah keniscayaan. Di Malaysia, Perdana Menteri baru Mahathir Mohamad secara berani membatalkan proyek kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura, yang secara kalkulasi ekonomi sebenarnya layak. Proyek tersebut dibatalkan karena rasio utang pemerintah Malaysia sudah melampaui ambang batas aman 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Di Indonesia, sekalipun rasio utang kita masih aman dan jauh lebih baik daripada Malaysia, namun kita punya masalah lain. Persoalan kita adalah rupiah yang sensitif melemah, karena modal global yang berada di Indonesia (dalam portofolio jangka pendek) juga sensitif untuk kabur ke luar negeri.

Akhirnya, strategi jangka panjang kita sudah benar, yakni membangun infrastruktur besar-besaran. Namun tatkala di tengah jalan timbul kendala, maka kita perlu penyesuaian dalam menentukan taktik jangka pendek. Ibarat mengendarai mobil, kita tidak harus selalu menekan pedal gas. Ada kalanya juga perlu menginjak pedal rem ketika melewati kelokan yang tajam, terjal dan berbatu-batu.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

1234

Artikel Terbaru

  • BIMTEK/DIKLAT/WORKSHOP Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM 2020
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP)
Universitas Gadjah Mada
Bulaksumur, Yogyakarta 55281
psekp.ugm@ugm.ac.id
+62 (274) 564926
+62 (274) 581827

© PSEKP Universitas Gajah Mada 2019

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY