Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sekilas Pandang
    • Visi & Misi
    • Manajemen dan Peneliti
    • Lokasi
  • Kegiatan
    • Penelitian
      • Pendaftaran Penelitian PSEKP UGM
      • Asisten Penelitian PSEKP UGM
    • Pelatihan & Workshop
    • Konsultasi & Pendampingan
    • Kerjasama antar Perguruan Tinggi
  • Beranda
  • Berita
  • hal. 3
Arsip:

Berita

Ekonomika Jokowi

ArtikelBerita Tuesday, 8 May 2018

Kompas – Opini, Senin 30 April 2018

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kini telah berjalan 3,5 tahun, atau mencapai 70 persen dari periode kepresidenannya, 2014-2019. Meski masih tersisa 30 persen, namun mazhab perekonomian yang dianut oleh Presiden Jokowi (Economics of Jokowi, Jokowinomics atau Ekonomika Jokowi) sudah tergambar dengan jelas. Pembangunanan infrastruktur besar-besaran menjadi paling menonjol.

Hanya saja, banyak orang yang kurang menyadari bahwa pembangunan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang, yang tidak bisa segera dipetik hasilnya. Di China, Deng Xiaoping memulai reformasi perekonomian sejak 1979, yang meliputi pembangunan infrastruktur, menarik investasi asing (termasuk dari diaspora China), dan membuka zona-zona ekonomi bebas pajak, baru merasakan “panen raya” sesudah 2000.

Hasilnya, perekonomian China baru merasakan pertumbuhan ekonomi dua digit pada periode 2001-2008. Artinya, perlu 20 tahun hingga China memetik hasil optimal dari investasi besar-besarannya di bidang infrastruktur. Sesudah 2008, pertumbuhan ekonomi China terus menurun hingga 6,8 persen (2017).

Apakah ini berarti Indonesia juga baru akan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 10 persen sesudah 20 tahun membangun infrastruktur? Belum tentu. Bisa lebih cepat, tetapi bisa juga tidak akan pernah mencapainya. Karena, bahkan China sekalipun juga ternyata tidak pernah lagi bisa mencapai pertumbuhan setinggi itu. Banyak faktor-faktor lain yang akan ikut menentukan.

Misalnya, kehadiran revolusi industri 4.0 menjadi faktor yang bisa menentukan. Bisa positif, karena proses produksi menjadi terbantu oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan otomasi. Namun juga bisa sebaliknya, tatkala era industri 4.0 justru mengurangi daya serap tenaga kerja sehingga memberi dampak melemahnya daya beli masayakat. Akibatnya, konsumsi rumah tangga melemah.

Inilah yang sedang “dicurigai” oleh para ekonom. Jangan-jangan pertumbuhan ekonomi 5,07 persen (2017) penyebabnya justru karena datangnya era kecerdasan buatan dan otomasi yang menggeser fungsi tenaga kerja. Para ekonom belum tuntas mendiskusikan tentang hal ini, untuk menjawab pertanyaan krusial: mengapa pertumbuhan konsumsi rumah tangga kita cuma 4,95 persen? Bisa jadi kecerdasan buatan mulai memakan korban, berupa penurunan daya beli akibat tergantikannya tenaga kerja ke otomasi.

Dilema Fiskal

Antusiasme Presiden Jokowi untuk membangun infrastruktur ditandai dengan ekspansi fiskal. Hal ini menemukan momentum yang baik tatkala harga minyak berangsur turun dari level di atas USD 100 per barrel (Juni 2014), menjadi di bawah USD 50 per barrel tahun-tahun berikutnya. Hilangnya subsidi BBM karena penurunan harga minyak dunia menjadi semacam “bonus” bagi pemerintah untuk dapat mendorong belanja infrastruktur. Itulah sebabnya anggaran infrastruktur bisa terus dinaikkan hingga mencapai Rp 410 triliun pada tahun ini. Anggaran ini melebihi angka tertinggi subsidi BBM dan listrik (PLN) pada 2014 yang mencapai Rp 350 triliun.

Sayangnya, hal ini belum diimbangi dengan penerimaan pajak, yang diharapkan menjadi tiang utama kemandirian fiskal. Rasio antara penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) masih berkutat di angka 10 persen, atau masih di bawah rasio yang negara-negara tetangga yang mencapai 13-15 persen. Indonesia berusaha mengejarnya melalui kebijakan amnesti pajak, yang pada dasarnya merupakan upaya untuk mengungkapkan kekayaan warganegara yang masih “tersembunyi di bawah bantal”. Ketika aset-aset tersebut terungkap, maka basis pajak pun menjadi kian meluas, yang kemudian berpotensi menaikkan setoran pajak.

Amnesti pajak juga berhasil menarik dana warganegara Indonesia yang diparkir di luar negeri (repatriasi) sebesar Rp 147 triliun atau USD 12 miliar. Inilah salah satu kontributor dibalik meningkatnya cadangan devisa dalam 1-2 tahun terakhir, yang sempat mencapai USD 132 miliar (Februari 2018), sebelum akhir-akhir ini terkoreksi cukup tajam karena arus modal keluar yang disebabkan oleh faktor eksternal berupa kenaikan suku bunga AS, kenaikan dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS, serta kenaikan harga minyak.

Apa kaitan harga minyak dengan kurs rupiah? Ketika harga minyak dunia terus meningkat, akan berpengaruh terhadap harga BBM domestik. Pemerintah harus memilih antara mempertahankan harga BBM domestik dengan risiko memberi subsidi besar, ataukah menaikkan harga BBM agar APBN tidak menderita (fiscal distress). Keduanya sama-sama bukan pilihan yang menyenangkan, dan sama-sama berisiko menggerus kredibilitas fiskal. Ujung-ujungnya, hal ini akan berdampak negatif terhadap persepsi terhadap perekonomian Indonesia, yang akan berujung pada pelemahan kurs rupiah. Jadi, kenaikan harga minyak dunia berkontribusi terhadap depresiasi rupiah.

Bagaimana masa depan harga minyak dunia? Masih belum jelas. Produsen minyak terbesar OPEC, Saudi Arabia, ingin harga mencapai USD 80 per barrel, sehingga mereka menurunkan produksinya. Di sisi lain, produsen terbesar di luar OPEC adalah AS (produksi 10,7 juta barrel per hari), yang memiliki cadangan minyak nonkonvensional (shale oil) terbesar di dunia, menghendaki harga yang lebih murah. Caranya, menambah pasokan ke pasar Eropa. “Perang produksi” di antara kedua produsen terbesar ini (produsen terbesar lainnya adalah Rusia) belum ketahuan titik temunya, sehingga harga minyak dunia masih fluktuatif.

Seandainya harga minyak dunia mencapai USD 80 per barrel sebagaimana kemauan Saudi, maka saya perkirakan APBN kita harus memberikan subsidi BBM dalam jumlah besar, misalnya hingga Rp 100 triliun. Artinya, sebagian belanja APBN terpaksa harus dialihkan dari pengeluaran produktif menjadi tidak produktif. Hal ini akan menggangu kredibilitas fiskal, yang akan menjadi tambahan tekanan terhadap rupiah.

Dalam situasi seperti ini, maka pilihannya adalah memperlebar defisit APBN yang tahun ini ditargetkan 2,19 persen terhadap PDB, yang berarti menambah utang pemerintah, ataukah memangkas proyek-proyek infrastruktur. Keduanya merupakan pilihan yang sulit dan tidak menyenangkan.

Namun sebelum itu terjadi pun, Presiden Jokowi sudah sigap berupaya mengerem akselerasi belanja APBN dengan cara memangkas 14 proyek strategis senilai Rp 264 triliun. Proyek-proyek tersebut meliputi: (1) jalan tol di Jawa Timur, Jawa Barat; (2) kereta api di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur;(3) mass rapid transit (MRT) Jakarta koridor Barat-Timur; (4) bandara Sebatik di Kalimantan Utara; (5) sistem penyediaan air minum di Sumatera Utara; (6) bendungan di Bali dan Sulawesi Tenggara; serta (7) kawasan ekonomi khusus Merauke, Papua.

Pemangkasan 14 proyek strategis ini termasuk kecil, dari seluruh 222 proyek bernilai investasi Rp 4.100 triliun. Karena itu, di satu pihak saya setuju bahwa penajaman prioritas pembangunan infrastruktur merupakan salah satu strategi yang perlu ditempuh ketika menghadapi kenyataan bahwa kondisi fiskal kita yang tertekan memang perlu direspons dengan sejumlah penyesuaian. Namun di sisi lain saya yakin proyek MRT Jakarta koridor Barat-Timur harus tetap diprioritaskan, karena kita sedang berkejaran dengan waktu menghadapi masalah kemacetan yang parah dan mengganggu efisiensi.

Pembangunan MRT ini memang mahal (Rp 84 triliun), namun itu belum seberapa jika dibandingkan dengan membangun ibukota baru di Kalimantan, yang ongkosnya saya perkirakan minimal Rp 500 triliun. Sebaiknya optimalkan dulu upaya membangun infrastruktur Jakarta untuk mengatasi kemacetan, daripada memunculkan gagasan yang “melompat” berupa pemindahan ibukota yang pasti mahal biayanya.

 Menjaga Rupiah

Selain dilema fiskal, pemerintahan Presiden Jokowi kini juga dihadapkan pada upaya untuk menjaga kurs rupiah agar tetap mencerminkan fundamentalnya. Kini rupiah sedang tertekan dan cenderung terlalu murah (undervalued). Pada dasarnya rupiah tidak melemah sendirian, karena negara-negara lain juga menderitanya. Namun, selain penyebab faktor eksternal, pelemahan rupiah hingga nyaris Rp 14.000 per USD tersebut acapkali menimbulkan pertanyaan, mengapa rupiah sering sensitif terhadap dinamika global? Padahal fundamental ekonomi makro kita baik, yakni: pertumbuhan ekonomi 5 persen; inflasi rendah di bawah 4 persen; cadangan devisa mencapai rekor tertinggi; suku bunga acuan mencapai titik terendah; serta Moody’s barusan menaikkan peringkat kita (membaik) dalam hal kemampuan membayar utang.

Lalu, faktor apa lagi yang masih mengganggu? Menurut saya ada dua hal. Pertama, sebagaimana sudah disadari Presiden Jokowi dan dinyatakan dalam berbagai kesempatan, Indonesia masih lemah dalam hal ekspor. Surplus neraca perdagangan kita tahun 2017 termasuk tipis untuk ukuran negara yang termasuk G-20, hanya USD 12 miliar. Itu pun dengan catatan, ekspor kita masih kurang terdiversifikasi. Peran ekspor komoditas masih tinggi. Tatkala harga komoditas (commodity prices) naik, surplus ikut naik. Sebaliknya ketika harga komoditas turun, Indonesia sering menderita defisit.

Kedua, seiring dengan lemahnya surplus perdagangan, maka kita banyak mengandalkan aliran modal masuk (sisi capital account) untuk mengkompensasinya. Dana milik asing inilah yang kemudian mengisi pundi-pundi cadangan devisa. Karena itu, sekalipun cadangan devisa terus meningkat, namun sebenarnya di baliknya terdapat kontribusi signifikan para investor asing.

Kepemilikan surat berharga oleh asing di pasar modal kita inilah yang sensitif terhadap dinamika global. Ketika perekonomian AS nampak membaik dan yield obligasi pemerintahnya naik, maka dana asing itu pun segera kabur ke New York. Inilah alasan di balik volatilitas rupiah, sekalipun data cadangan devisa nampak “cukup mentereng”.

Bagaimana solusi jangka pendek yang harus ditempuh? Bank Indonesia sebaiknya tidak cuma mengandalkan intervensi saja, yang cepat atau lambat akan menguras cadangan devisa. Instrumen lain harus diaktifkan, yakni menaikan suku bunga. Memang akan timbul kritik, menaikkan suku bunga sering diartikan sebagai “tidak pro growth”. Namun, apa artinya suku bunga tetap rendah (suku bunga acuan BI 4,25 persen) tetapi rupiah terdepresiasi secara tajam? Depresiasi rupiah yang berkelanjutan akan memicu kenaikan inflasi dari sisi meningkatnya harga barang-barang impor (imported inflation), yang akan berujung pada situasi yang “tidak pro growth” juga.

Kita sepenuhnya menyadari, bahwa ide menaikkan suku bunga pasti tidak populer, apalagi jika dikaitkan dengan konteks “tahun politik” 2018-2019. Namun itu semata-mata dilakukan hanya sebagai taktik jangka pendek. Setelah kurs rupiah nantinya bisa dipulihkan, strategi jangka panjang suku bunga rendah tetap menjadi prioritas, agar dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak ada jalan lain, suku bunga memang harus dinaikkan, untuk sementara ini.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Revolusi Industri 4.0

ArtikelBerita Tuesday, 10 April 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 10 April 2018

Revolusi industri gelombang ke empat, yang juga disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industri 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk artificial intelligence (AI), e-commerce, big data, fintech, shared economies, hingga penggunaan robot. Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011, yang ditandai dengan revolusi digital.

Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat bahwa sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet dan telepon genggam (1960 hingga sekarang). Versi lain menyatakan bahwa revolusi industri ke tiga dimulai 1969, melalui munculnya teknologi informasi dan mesin otomasi.

Sebagaimana tiga revolusi industri sebelumnya, kehadiran industri 4.0 juga diyakini bakal menaikkan produktivitas. Survei McKinsey (Maret 2017) terhadap 300 pemimpin perusahaan terkemuka di Asia Tenggara menunjukkan, bahwa 9 dari 10 responden percaya terhadap efektivitas industri 4.0. Praktis hampir tidak ada yang meragukannya. Namun ketika ditanya apakah mereka siap mengarunginya, ternyata hanya 48 persen yang merasa siap. Berarti, industri 4.0 masih menyisakan tanda tanya tentang masa depannya.

Keraguan ini sejalan dengan yang ditulis Krugman (“A New Industrial Revolution: The Rise of the Robots”, The New York Times, 17/1/13), bahwa pengunaan mesin pintar memang bisa meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun pada saat yang sama, hal tersebut sekaligus juga dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk yang pintar sekalipun. Namun, semua hal itu tidaklah akan terjadi seketika, ada tahapannya. Selama proses panjang itu terjadi, perdebatan akan terus berlangsung.

Jadi, kedatangan teknologi digital pada pabrik-pabrik memang memberi janji peningkatan produktivitas, meski belum tentu besar. Studi Boston Consulting Group (September 2015) tentang dampak industri 4.0 terhadap perekonomian Jerman pada 2025, ternyata “hanya” akan terjadi penambahan pertumbuhan ekonomi 1 persen selama lebih dari satu dasawarsa.

Yang juga menarik disimak adalah, ternyata gejala de-industrialisasi (menurunnya persentase kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB) yang belakangan ini terjadi di Indonesia, juga dialami di negara-negara maju. Penyebabnya adalah, peran sektor jasa (services) yang terus meningkat. Inilah fenomena yang disebut the post-industrial economy (Jean-Luc Biacabe, Institute Friedland, 2016).

Kombinasi antara proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tidak bertambah dengan cepat dan menurunnya peran manufaktur, menyisakan pertanyaan tentang kehebatan industri 4.0. Belum lagi bahwa industri 4.0 masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatifnya terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Bukan cuma itu, majalah The Economist (6/4/18) juga prihatin bawa era AI juga menyebabkan hilangnya privasi seseorang akibat persebaran data digital secara mudah. Tiada tempat lagi bagi data untuk disembunyikan.

Satu hal sudah pasti, bahwa industri 4.0 sudah datang dan kita tidak mungkin menolak atau menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan dan kita pun harus mati-matian menepis dampak negatifnya. Tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Lalu, bagaimana nasib Indonesia dan para tetangga kawasan ?

Jeffrey Sachs Center (2017) mencatat, bahwa lebih dari setengah penduduk ASEAN yang berjumlah 629 juta orang berusia di bawah 30 tahun; di mana 90 persennya berusia 15-24 tahun yang familiar terhadap internet dan dunia digital. Ini merupakan modal besar ke depan yang bisa menciptakan tambahan output USD 1 triliun, sehingga PDB kawasan ini mencapai USD 5,25 triliun pada 2025.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam dan Kamboja akan memindahkan 56 persen pekerjaan ke otomatisasi pada beberapa dasawarsa mendatang. Sedangkan 54 persen pekerja Malaysia terancam kehilangan pekerjaan. Semuanya tampak suram, kecuali Singapura yang kini penduduknya cuma 5,6 juta orang.

Karena itu, mau tidak mau, antisipasi dini harus dilakukan. Pemerintah Indonesia pun menyusun peta jalan dan strategi dalam memasuki era digital, Making Indonesia 4.0, yang diluncurkan Presiden Jokowi pada 4 April (4/4). Indonesia akan fokus pada lima sektor manufaktur unggulan: (1) industri makanan dan minuman, (2) tekstil dan pakaian, (3) otomotif, (4) kimia, serta (5) elektronik. Pada kelima area manufaktor tersebut berkontribusi besar terhadap PDB serta memiliki daya saing internasional.

Jadi, apakah industri 4.0 merupakan peluang atau ancaman ? Tidak ada yang bisa memastikannya. Kedua karakter tersebut bisa hadir bersamaan. Semua negara, baik maju dan berkembang, kini berada pada kegalauan yang sama. Sejauh ini, mungkin hanya negara Singapura saja yang berani mengklaim dampak positifnya lebih besar.

Terlepas dari bagaimana proses ini kelak akan berujung, maka antisipasi untuk kian membangun modal manusia (human capital) untuk mengiringi laju pembangunan infrastruktur di Indonesia, menjadi kian menemukan konteks dan prioritasnya. Industri 4.0 memang tidak sampai mengenyahkan seluruh penggunaan tenaga kerja. Namun hanya mereka yang berkualifikasi tertentu yang bisa bertahan di sektor manufaktur. Lainnya akan diserap sektor non-manufaktur dan sektor informal.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Volatilitas Rupiah dan Berakhirnya Rezim Suku Bunga Rendah

ArtikelBerita Monday, 26 March 2018

Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 26 Maret 2018

Tahun 2018 sejak jauh-jauh hari sudah diantisipasi dan dikarakterisasikan sebagai tahun politik. Karena selain akan terjadi pilkada serentak, juga menjadi tahun penentuan bagi para calon presiden dan wakil presiden, yang nominasinya sudah harus dilakukan pada Agustus 2018 ini. Karena itu, timbullah opini bahwa tahun politik 2018 akan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian. Karena kebetulan momentumnya persis 20 tahun sesudah terjadinya krisis ekonomi 1998, serta 10 tahun sesudah krisis finansial global 2008, maka sebagian orang pun percaya terhadap adanya “siklus krisis ekonomi 10 tahunan”.

Hipotesis seperti itu menjadi seolah-olah “klop” tatkala dalam empat pekan terakhir rupiah mengalami volatilitas─dengan kecenderungan melemah─dari Rp 13.500-an per USD menjadi Rp 12.700-an per USD, bahkan sesekali juga menembus USD 13.800 per USD. Padahal sesungguhnya, hampir semua indikator ekonomi makro kita sedang berada pada kondisi normal, bahkan terus membaik, seperti inflasi, sukubunga, neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, cadangan devisa. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi ? Apakah pelemahan rupiah juga tercampur oleh faktor politik ? Bagaimana kita mesti melawannya ? Amunisi apa yang masih kita punyai ?

Perang Tarif Menyeret Resesi ?

Melemahnya rupiah sejak akhir Februari dan awal Maret 2018, jelas disebabkan oleh faktor eksternal, terutama dinamika besar yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Setelah dalam pidato pertamanya, Ketua The Fed yang baru Jerome Powell, mengindikasikan akan adanya kenaikan sukubunga 3-4 kali tahun ini, akhirnya rencana tersebut benar-benar mulai dieksekusi. Pada 22 Maret 2018, The Fed mulai menaikkan sukubunga acuannya dengan 25 basis poin, menjadi 1,50-1,75 persen.

Hal ini terutama ditopang oleh kinerja perekonomian AS yang memang sedang baik. Pada Februari 2018, data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (U.S nonfarm payrolls) mencatat angka 313.000 orang. Ini merupakan angka yang sangat tinggi, bahkan melebihi prestasi pada era Presiden Barack Obama. Angka penyerapan tenaga kerja juga sangat impresif selama empat bulan sebelumnya: 271.000 orang (Oktober 2017), 216.000 (November), 175.000 (Desember), dan 239.000 (Januari 2018). Semua angka impresif tersebut menyebabkan tingkat pengangguran AS kini sudah hampir 4 peren, yang merupakan level terbaik sejak tahun 2000.

Bermodalkan kinerja inilah maka Jerome Powell sebagai ketua bank sentral AS yang baru, merasa sangat percaya diri untuk meneruskan kebijakan “normalisasi sukubunga AS” menuju ke level yang lebih tepat. Kebijakan suku bunga rendah (easy money policy) yang dilakukan oleh kedua pendahulunya (Ben S Bernanke dan Janet Yellen) merupakan terapi yang harus ditempuh The Fed untuk mengurai krisis finansial yang meledak pada 2008-2009.

Ketika perekonomian AS mulai pulih sejak Mei 2013, maka berangsur-angsur sukubunga perlu kembali dinaikkan. Jerome Powell pun nampaknya merasa saat inilah momentum yang tepat untuk mengembalikan sukubunga AS ke level normal. Sejauh ini belum ada pernyataannya tentang berapakah level sukubunga AS bisa dianggap normal, tapi perkiraan saya di atas 2 persen. Angka ini saya sinkronkan dengan level inflasi di AS yang dianggap normal pada 2 persen. Jadi jika inflasi 2 persen, maka sukubunga normal adalah sedikit di atas itu, katakanlah 2,5 persen. Jadi, jika sekarang suku bunga The Fed pada kisaran 1,50−1,75 persen, maka masih tersisa ruang untuk menaikkan sukubunga acuan AS hingga 3−4 kali lagi.

Kini pertanyaannya, apakah Jerome Powell perlu melakukannya sekaligus tahun ini? Menurut saya tidak perlu. Powell bisa mengaturnya sedemikian rupa, disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, bisa saja tahun ini FFR dinaikkan hanya dua kali, lalu selebihnya bisa dilakukan pada 2019. Karena jika semua kenaikannya dibebankan hanya pada tahun ini, hal ini bisa menimbulkan apresiasi USD yang berlebihan (overshoot). Kurs USD bisa menjadi terlalu kuat (overvaluaed) yang akan berdampak negatif pada neraca perdagangannya, terutama terhadap rival utamanya, China (defisit USD 375 miliar setahun).

Kenaikan sukubunga AS ini serta merta direspons oleh kenaikan kurs USD terhadap hampir seluruh matauang dunia, termasuk Indonesia. Itulah sebabnya rupiah cenderung melemah, sehingga Bank Indonesia (BI) harus berjibaku melawannya dengan melakukan intervensi ke pasar uang dengan melepas sebagian cadangan devisanya. Cadangan devisa yang sebelumnya mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, hampir USD 132 miliar, terpaksa terkoreksi menjadi USD 128 miliar atau bahkan kurang.

Namun dinamika belum berhenti. Selagi kita masih tertegun oleh dinamika sektor finansial ini, tiba-tiba Presiden Donald Trump melaksanakan rencana kebijakannya yang kontroversial: mengenakan pajak terhadap barang-barang impor. Rencana tersebut kini bukan lagi menjadi wacana, namun benar-benar menjadi realita. Seperti sudah terbayangkan sebelumnya, lawan dagang terbesar AS, yakni China, tidak tinggal diam. Mereka pun melawannya dengan menaikkan tarif. Maka perang tarif (trade war) pun tak terelakkan lagi.

Bagaimana dampaknya ? Perang tarif atau proteksionisme merupakan kemunduran besar dalam kazanah perekonomian dunia yang sudah masuk ke era liberalisasi, sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 2015. Masyarakat akan membayar lebih mahal barang-barang impor yang mereka konsumsi sehari-hari. Perekonomian menjadi bergerak ke arah biaya tinggi (high cost economy) yang berujung pada inefisiensi. Era inilah yang diprediksikan oleh ekonom pemenang hadiah Nobel, Paul Krugman (2017), sebagai “Trump akan menyeret perekonomian dunia ke arah resesi”.

Dengan logika tersebut, maka sekonyong-konyong terdapat dua reaksi. Pertama, apresiasi USD yang sebelumnya kencang menjadi tertahan. Kurs USD sedikit terkoreksi. Kedua, pasar melihat prospek perekonomian ke depan menjadi lesu. Karena itu, para investor global pun melepaskan saham-sahamnya di bursa global, terutama di New York Stock Exchange. Dow Jones index pun rontok, hingga penutupan akhir pekan lalu hanya 23.533. Padahal, rekor tertinggi pernah mencapai 26.616, yang terjadi pada 26 Januari 2018.

Akhir Era Sukubunga Rendah

“Peluru” intervensi sudah diluncurkan oleh BI untuk meredam volatilitas rupiah. Kalau ukurannya adalah rupiah tidak sampai menembus batas psikologis Rp 14.000 per USD, maka boleh dibilang jerih payah BI sudah berhasil. Namun jika ukurannya adalah sudah cukup banyak cadangan devisa yang dikeluarkan untuk operasi moneter, maka sesungguhnya BI perlu mengalihkan beban intervensi tersebut ke instrumen lain, yakni sukubunga.

BI memang berhasil menurunkan sukubunga acuan menjadi 4,25 persen. Ini luar biasa dan patut diapresiasi. Meski ada kelemahannya: sejauh ini rezim sukubunga rendah masih sebatas tertrasmisikan ke sukubunga simpanan yang rendah, namun belum secara efektif tertransmisikan ke sukubunga kredit yang rendah. Namun apa pun alasannya, membiasakan masyarakat untuk menabung dengan sukubunga rendah, menjadi hal yang kini lazim.

Duapuluh tahun silam, menjelang krisis 1998, masyarakat terbiasa dengan sukubunga deposito di atas 20 persen. Pada saat krisis 1998, atas rekomendasi IMF, sukubunga deposito dinaikkan ke rekor tertinggi sepanjang masa: 60−70 persen. Tujuannya jelas, agar masyarakat tidak tergoda untuk menukarkan rupiahnya menjadi USD atau valuta asing (valas) lainnya.

Kini situasinya sangat berbeda. Masyarakat sudah terbiasa dengan sukubunga deposito rendah, misalnya 5−6 persen. Namun masalahnya, jika sukubunga tersebut diturunkan lebih lanjut, saya khawatir akan sensitif terhadap migrasi dana dari simpanan berdenominasi rupiah menuju ke denominasi valas. Keputusan BI untuk tetap mempertahankan sukubunga acuan tetap pada 4,25 persen, menurut saya rawan terhadap migrasi dana dan berakibat depresiasi rupiah.

Di AS, rezim sukubunga rendah praktis sudah berakhir sejak pertengahan 2013. Tidak ada alasan lagi bagi The Fed untuk melanjutkan kebijakan easy money. Setahap demi setahap, sukubunga akan dinormalkan kembali, misalnya hingga 2,50 persen. Implikasinya, jika pada periode quantitative easing (2009−2013) kurs USD berada pada posisi lemah, maka USD pun kini berada pada jalur menguat (apresiasi).

Sebaliknya bagi Indonesia, dulu kita menikmati rupiah yang kuat, yang mencapai puncaknya pada level Rp 8.600 per USD pada Juli−Agustus 2011. Situasi tersebut tidak mungkin terulang, karena kondisinya sudah jauh berbeda. Rupiah tidak mungkin kembali ke level itu. Kini yang terjadi adalah, rupiah berada pada jalur pelemahan. Upaya BI menghambatnya dengan melontarkan suplai devisa, meski cukup berhasil, perlu dibantu dengan amunisi lain.

Sudah saatnya kita mengevaluasi, apakah sukubunga acuan 4,25 persen masih sesuai dengan kebutuhan? Saya menduga sudah tidak cocok lagi. Meski juga harus dilakukan secara bertahan (gradualism), sukubunga perlu dinaikkan 25 basis poin. Di kalangan negara-negara emerging market, Malaysia sudah lebih dulu memeloporinya. Bahkan China juga sudah mulai sedikit menaikkan sukubunga acuannya.

Untuk diketahui, Malaysia memang merupakan negara yang paling parah menderita capital outflows setelah masuk periode taper tantrum (koreksi terhadap periode quantitative easing), di mana 30 persen cadangan devisanya merosot. China juga menderita kehilangan cadangan devisa USD 1 triliun, dari posisi puncaknya USD 4 triliun. Namun sekarang cadangan devisa China sudah meningkat lagi dengan USD 200 miliar menjadi USD 4,2 triliun.

Stabilisasi rupiah melalui kombinasi intervensi pasar uang (melepas cadangan devisa) dan menaikkan sukubunga merupakan sebuah keniscayaan. Bahwa BI sudah berhasil menurunkan sukubunga hingga 4,25 persen, itu tidaklah berarti kinerja BI menjadi tercoreng karena mengoreksinya menjadi 4,50 persen. Sebab, kinerja BI tidak hanya ditentukan oleh keberhasilannya menurunkan sukubunga, namun juga bagaimana menjaga stabilitas “dua menara kembar” (twin tower), yakni kurs rupiah dan inflasi. Sukubunga adalah instrumen utama BI untuk menuju ke sasaran utama tersebut, bukan tujuan akhir.

Meski kita tetap yakin bahwa tahun politik 2018−2019 bakal berlangsung aman─sama sekali bukan the year of living dangerously─namun tetap saja stabilitas rupiah adalah hal terpenting dan sangat fundamental dalam perekonomian Indonesia. Kita tidak mau rupiah mengalami déjà vu, atau menjalani periode terkelam dalam sejarah, saat terpuruk pada level Rp 15.000 per USD pada 20 tahun silam. Situasi keduanya sangat berbeda, di mana sekarang jauh lebih baik dan prospektif.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Utang Luar Negeri

ArtikelBerita Tuesday, 20 March 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 20 Maret 2018

Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia, baik yang dilakukan oleh pemerintah dan BI maupun oleh swasta. Akhir-akhir ini banyak kritik terhadap penambahan utang oleh Indonesia. Dari satu sisi, kritik tersebut benar karena kita pernah mempunyai trauma berat tatkala mengalami krisis besar pada 20 tahun silam (1998) yang penyebab utamanya utang luar negeri. Namun di sisi lain, sebagian kritik tersebut tidak akurat, karena masalah utang memang mengandung banyak segi serta aneka data dan rasio-rasio, yang seringkali bisa disalahartikan (misleading).

Bahwa utang luar negeri Indonesia terus meningkat, hal itu memang tak terhindari. Mengelola keuangan negara ada miripnya dengan keuangan perusahaan: ketika perekonomian atau perusahaan meningkat kegiatannya, maka utangnya pun bakal meningkat. Yang penting, utang tersebut dialokasikan secara benar dan bisa dibayar kembali. Kata ekonom Alexander Hamilton (1781), salah satu pendiri AS, “Utang pemerintah, jika jumlahnya tidak berlebihan, sesungguhnya adalah sebuah rakhmat”. Maksudnya, utang memang diperlukan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan fiskal, asalkan masih terkendali.

Utang luar negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 tercatat USD 357,5 miliar, yang terdiri dari utang pemerintah dan BI sebesar USD 183,4 miliar, serta utang swasta USD 174,2 miliar. Utang ini tentu saja meningkat dari waktu ke waktu. Dibandingkan saat krisis 1998 utang luar negeri kita “hanya” USD 130 miliar, yang dibagi rata antara utang pemerintah dan swasta. Namun pada saat itu cadangan devisa juga hanya USD 20 miliar. Berarti jumlah utang luar negeri setara dengan 6,5 kali lipat cadangan devisa.

Sedangkan posisi cadangan devisa kita saat ini USD 131 miliar. Berarti, volume utang luar negeri kita saat ini 2,7 kali lipat dibandingkan cadangan devisa. Artinya, intensitas utang luar negeri kita, meski secara nominal terus meningkat, namun secara riil menjadi lebih ringan. Cadangan devisa bisa diinterpretasikan sebagai proxy bagi kemampuan untuk membayar kembali.

Di masa lalu, berat-ringannya utang luar negeri biasanya dibandingkan dengan data ekspor. Namun dalam perkembangannya, data tersebut tidaklah bisa menggambarkan kemampuan membayar secara lebih obyektif. Karena di luar ekspor, sesungguhnya masih ada lagi ekspor dan impor jasa atau transaksi berjalan (current account). Selain itu, masih ada lalu lintas modal (capital account), yang jika dikombinasikan dengan transaksi berjalan dinamakan neraca pembayaran (balance of payments). Semua transaksi dalam lalu lintas devisa tersebut akan bermuara pada cadangan devisa, yang dalam 20 tahun terakhir berlipat 6,5 kali, sedangkan utang luar negeri berlipat 2,9 kali dalam periode yang sama. Berarti kondisi 2018 jauh lebih baik daripada 1998.

Kini, cara yang paling lazim digunakan oleh para ekonom adalah membandingkan utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Karena variabel ini dianggap menggambarkan secara obyektif kekuatan ekonomi suatu negara. Dalam situasi global seperti saat ini, “kewarganegaraan” modal menjadi tidak penting lagi. Yang terpenting, modal tersebut (dari mana pun asalnya) dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Dengan PDB Indonesia saat ini hampir USD 1 triliun (Rp 13.000 triliun), maka posisi utang luar negeri kita terhadap PDB adalah 35 persen. Ini masih di bawah batas toleransi 60 persen sebagaimana disyaratkan UU Keuangan Negara. Di kelompok negara yang sebanding (peer group), rasio terbaik dicapai oleh Afrika Selatan (12,4 persen), lalu India (26), Filipina (32). Indonesia selevel dengan Brasil dan Thailand (34), dan lebih baik daripada Meksiko (39), Turki (54) dan Malaysia 68).

Yang menarik, di negara-negara maju, rasio utang terhadap PDB-nya justru lebih jelek: AS dengan 106 persen dan puncaknya Jepang 250 persen. Namun, kita tidak bisa membandingkannya. Utang pemerintah Jepang memang besar, namun itu dilakukan terhadap rakyatnya sendiri. Obligasinya dijual di pasar domestik, dengan utang berdenominasi yen. Pemerintah AS juga utangnya banyak, namun dalam dollar AS.

Ini berbeda dengan utang pemerintah negara-negara berkembang, yang sebagian berupa valuta asing. Dalam kasus Indonesia, komposisinya adalah 36 persen berbentuk rupiah dan 64 persen valuta asing. Dengan kata lain, membandingkan utang luar negeri Indonesia dengan Jepang dan AS tidaklah apple to apple, karena beda komposisi.

Negara donor pemberi utang terbesar kepada Indonesia melalui skema bilateral adalah Jepang, yang sudah mulai intens masuk ke Indonesia sejak 1970. Negara donor lain yang berada jauh di bawah Jepang: Perancis, Jerman, Korea Selatan, China dan AS. Dalam beberapa tahun terakhir, China tumbuh paling cepat. Selain itu, masih ada utang luar negeri dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia, IMF, ADB dan IDB.

Meski utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori aman, tentu saja tidak berarti kita tidak berbuat sesuatu untuk menekan dosisnya. Insiatif pemerintah melalui kebijakan amnesti pajak, sesungguhnya merupakan salah satu cara untuk memperbesar basis penerimaan pajak, agar ketergantungan pada pembiayaan defisit fiskal bisa digeser dari utang menjadi penerimaan pajak. Amnesti pajak bertujuan untuk “mengail” potensi penerimaan pajak yang sebelumnya “tersembunyi”.

Namun ternyata hasilnya belum sesuai ekspektasi, meskipun masuknya dana repatriasi USD 12 miliar dari luar negeri layak diapresiasi. Angka ini signifikan dalam menaikkan cadangan devisa kita. Ke depan, pemerintah harus tetap konservatif dalam berutang, dengan menjaga defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Tahun ini, target defisit adalah 2,19 persen.

Selain itu, Kementerian Keuangan terus berupaya menyisir potensi pajak yang belum terungkap. Namun terkadang agresivitas upaya tersebut harus terkendala oleh perekonomian yang lesu. Dilema antara menarik utang luar negeri atau menarik pajak domestik inilah yang selama ini tidak mudah dikompromikan.

*A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM;Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Rupiah Terimbas The Fed

ArtikelBerita Wednesday, 7 March 2018

Kompas – Opini, Rabu 7 Maret 2018

Sejak Rabu pekan lalu (28/2) kurs rupiah melemah cukup tajam hingga melampaui batas psikologis. Titik terendahnya mencapai Rp 13.800 per dollar AS, sebelum beranjak menguat ke Rp 13.700 per dollar AS (5/3). Melemahnya rupiah kali ini bisa dibilang murni disebabkan oleh faktor eksternal, yakni pidato pertama Jerome Powell (Ketua The Fed yang baru) di depan Kongres AS. Powell secara resmi menggantikan Janet Yellen yang tak mau dipilih lagi, sejak 5 Februari 2018.

Sebagai Ketua The Fed yang baru, nampaknya Jerome Powell ingin memberi tambahan kepercayaan (trust) kepada pasar, bahwa perekonomian AS sekarang sedang baik. Hal ini memang didukung dengan data yang cukup meyakinkan. Data pengangguran misalnya, kini mencapai 4,1 persen, yang merupakan level terbaik sejak tahun 2000. Penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls) juga amat baik, yakni sekitar 200.000 orang berhasil mendapat pekerjaan setiap bulan.

Sepanjang 2017, pertumbuhan ekonomi AS mencapai 2,3 persen. Ini level yang termasuk baik untuk sebuah perekonomian yang PDB-nya terbesar di dunia, USD 19,3 triliun. Sedangkan inflasi tercatat 2,1 persen atau level ideal untuk ukuran AS. Data lain di sektor riil : penjualan mobil mencapai 17,25 juta setahun. Ini termasuk impresif. Satu-satunya indikator yang masih lemah adalah defisit perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan, yang selalu besar. AS menderita defisit USD 375 miliar terhadap China. Namun ini khas dan “biasa” bagi AS.

Normalisasi Suku Bunga

Karena sederet data positif tersebut, maka Powell pun mulai berani menjanjikan kenaikan suku bunga akan diteruskan secara lebih cepat. Suku bunga acuan saat ini (fed fund rate, FFR) adalah 1,25-1,50 persen. Sepanjang 2017, masih di era Yellen, FFR naik tiga kali di bulan Maret, Juni dan Desember. Kenapa The Fed ingin meneruskan kenaikan suku bunganya ? Padahal negara-negara lain, misalnya Indonesia, justru ingin menurunkan suku bunga untuk mendorong konsumsi dan investasi ?

Jawaban singkatnya harus merunut kejadian krisis ekonomi global 2008. Pada saat itu, The Fed di bawah Ketuanya, Ben S. Bernanke, menempuh kebijakan penurunan suku bunga dan mencetak uang (quantitative easing). Kebijakan uang longgar (easy money) ini dimaksudkan untuk melakukan relaksasi likuiditas. Ketika suatu negara terkena krisis, obat di sektor moneter adalah melonggarkan likuiditas.

Kebijakan moneter longgar AS berakhir pada suku bunga 0,25 persen dan cetak uang USD 4,5 triliun pada Mei 2013, ketika pemerintah AS mulai menyadari terjadinya pemulihan ekonomi. Sejak itu, suku bunga diarahkan untuk naik. Mengapa ? Karena jika suku bunga berlanjut rendah dan inflasi rendah, perekonomian AS akan “terjebak” pada stagnasi, seperti yang dialami Jepang sejak 1990-an. Kombinasi antara suku bunga nyaris nol persen dan inflasi rendah bahkan deflasi, hanya berujung pada pertumbuhan ekonomi rendah di bawah 1 persen.

Untuk mengungkit agar pertumbuhan ekonomi tidak rendah, maka pemerintah AS perlu mengembalikan suku bunga ke level “normal baru” (new normal). Belum ada kesepakatan, berapakah suku bunga ideal untuk perekonomian AS saat ini. Namun dari berbagai diskusi, tampaknya akan mengarah ke sekitar 2 persen.

Bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga, itu sudah terantisipasi sejak pertengahan 2013. Namun yang mengejutkan pasar adalah, Powell akan menaikkan suku bunga sampai empat kali pada tahun ini. Berarti, suku bunga akan berada pada level 2,25-2,50 persen pada akhir tahun ini. Pasar pun bereaksi dengan cepat, yakni dollar AS menguat (apresiasi) dan indeks harga saham di New York jatuh.

Kurs dollar AS menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Indeks dollar AS (the ICE Dollar Index)─yakni nilai relatif dollar AS terhadap sejumlah mata uang mitra dagang utama AS, yakni euro, yen, pound sterling, yuan/renminbi, peso Meksiko, won dan real Brasil─langsung menguat 0,6 persen. Dengan kata lain, mata uang seluruh dunia umumnya melemah terhadap dollar AS, misalnya mata uang Swedia (depresiasi 5 persen), Australia (4 persen), Indonesia (2,8 persen), India (2,4 persen), Malaysia (2,3 persen), Brasil (1,9 persen), zona euro (1,7 persen) dan Korea Selatan (1,4 persen).

Saya menduga kenaikan suku bunga sampai empat kali itu terlalu banyak. Bercermin dari pengalaman sebelumnya, Janet Yellen tidak pernah menaikkan suku bunga sebanyak itu dalam periode setahun. Maksimal hanya tiga kali, sebagaimana kejadian 2017. Mengapa ? Jika suku bunga dinaikkan terlalu cepat, maka akan timbul setidaknya dua komplikasi.

Pertama, kurs dollar AS akan menguat, karena banyak investor global akan memindahkan asetnya ke portofolio dengan denominasi dollar AS. “Memegang” aset berdenominasi dollar AS menjadi lebih menguntungkan, karena suku bunga atau imbal hasilnya lebih tinggi. Namun apresiasi dollar AS ini bisa berdampak negatif bagi neraca perdagangan AS. Defisitnya bisa kian meningkat. Ini tidak sesuai dengan kampanye Presiden Trump America first yang bertujuan menurunkan defisit perdagangan.

Kedua, pasar uang dan pasar modal bisa diibaratkan seperti “bejana berhubungan”. Ketika pasar uang menawarkan suku bunga lebih tinggi, maka likuiditas pun akan mengalir dari pasar modal ke pasar uang. Itulah sebabnya ketika suku bunga naik maka harga saham di New York jatuh. Kini indeks Dow Jones menurun jauh ke level 24.538, dari level sebelumnya pernah 26.600.

Berdasarkan dinamika tersebut, saya menyangsikan bahwa The Fed benar-benar akan meningkatkan suku bunganya empat kali hingga mencapai 2,50 persen tahun ini. Itu terlalu agresif (overshot) yang bisa menjadi bumerang bagi mereka. Kenaikan suku bunga yang moderat saya perkirakan hanya 2-3 kali pada tahun ini, yang berakhir pada 2 persen. Ini akan lebih aman bagi AS dan bisa mengurangi volatilitas sektor finansial global.

Redam Volatilitas Rupiah

Volatilitas rupiah mau tidak mau harus dihadapi Bank Indonesia (BI) dengan menjalankan kebijakan intervensi. Dari sisi kemampuan mengintervensi, saat ini BI sedang berada pada level nyaman. Cadangan devisa sebelum BI melakukan intervensi adalah nyaris USD 132 miliar. Inilah rekor tertinggi cadangan devisa yang pernah kita miliki.

Sebagai ilustrasi, cadangan devisa pada saat krisis 1998 hanya USD 20 miliar, yang berarti amat jauh di bawah jumlah utang luar negeri kita USD 130 miliar (1 berbanding 6). Sedangkan saat ini, cadangan devisa USD 132 miliar tatkala jumlah utang luar negeri mencapai USD 352 miliar (1 berbanding 3). Kesimpulan, posisi saat ini jauh lebih baik dan masih aman.

Dari sisi fundamental ekonomi, sebenarnya tidak ada alasan bagi rupiah untuk terdepresiasi. Pertumbuhan ekonomi 5,07 persen, inflasi dua bulan pertama 0,79 persen, neraca perdagangan surplus USD 11,84 miliar yang berujung menguatnya cadangan devisa, merupakan hal-hal positif yang mestinya tidak mendorong pelemahan rupiah. Hanya faktor eksternal dengan sentimen yang sangat kuat yang bisa menggoyahkan rupiah.

Apalagi saat ini ada harapan perekonomian akan tumbuh lebih tinggi, karena ditopang oleh membaiknya harga komoditas, misalnya batubara yang mencapai USD 100 per metrik ton. Berdasarkan pengalaman 2010-2013, kenaikan harga komoditas dapat mendorong permintaan konsumsi rumah tangga sehingga bisa tumbuh di atas 5 persen.

Sementara itu, pasar modal Indonesia relatif menyikapi gejolak global ini dengan tenang. Memang sempat terjadi koreksi pasar, namun angkanya terkendali. Pada awal pekan ini, IHSG masih nyaman di level 6.578 (Senin 5/3). Ini masih termasuk tinggi dan berbeda arah dibandingkan rupiah yang melemah. Pasar rupanya tetap memiliki rasionalitas bahwa prospek saham masih baik seingga tak perlu melakukan aksi jual berlebihan.

Akhirnya, saya yakin Jerome Powell bakal lebih sabar untuk tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga FFR, sehingga pasar bisa lebih rasional menyikapi dan tidak panik. Selanjutnya, kurs mata uang seluruh dunia pun akan berangsur pulih ke ekuilibrium yang lebih berkelanjutan. Imbasnya, kurs rupiah bisa menyempit derajat volatilitasnya.

*A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM;Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Christine Lagarde dan Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali

ArtikelBerita Monday, 5 March 2018

Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 5 Maret 2018

Pekan lalu, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde, berkunjung ke Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, seperti dikatakannya saat memberi sambutan di seminar yang diselenggarakan Bank Indonesia (27 Februari 2018), dia berada di Indonesia selama seminggu. Belum pernah ada dalam sejarah IMF, bahwa managing director-nya mengunjungi suatu negara sampai seminggu.

Tidak cuma berkunjung ke istana Merdeka untuk menemui Presiden Jokowi, lalu diajak blusukan ke Tanah Abang, lalu memberikan dua seminar besar di Jakarta, berkunjung ke Bali menengok persiapan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2018, Christine bahkan sempat ceramah di Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta. Dia menjadi pembicara bersama CEO Bukalapak Achmad Zaky, membahas perkembangan cepat ekonomi digital.

Kunjungan selama seminggu di Indonesia jelas luar biasa, yang menunjukkan betapa Christne Lagarde memandang penting Indonesia yang akan menyelenggarakan konferensi tahunan akbar yang akan didatangi 15,000 perserta. Anda tidak sedang salah baca: limabelas ribu peserta akan hadir di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, yang durasinya seminggu. Jumlah peserta ini sungguh angat besar. Bisa jadi sebagian peserta tersebut akan tinggal lebih lama di Indonesia untuk “berpetualangan” pariwisata, dalam rangka leisure economy, yang pasti membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia, tidak hanya untuk saat ini, namun juga ke depan.

Kunjungan kehormatan Christine Lagarde ke Presiden Jokowi sempat menimbulkan kritik dari politisi, kenapa Indonesia seolah-olah menggelar “karpet merah” kepada IMF yang dianggap pernah “menyengsarakan” perekonomian Indonesia saat diterjang krisis finansial Asia 1998, tepat 20 tahun silam. Apa yang sebenarnya terjadi ?

IMF dan Krisis Ekonomi 1998

Mendiskusikan krisis ekonomi yang sangat dalam (deep crisis) di Indonesia pada 1998, selalu berpotensi menimbulkan perdebatan. Krisis besar yang ditandai dengan kontraksi ekonomi dengan pertumbuhan minus 13,7 persen dan inflasi 78 persen tersebut, memang telah menyengsarakan dan mengakibatkan kejatuhan Presiden Soeharto. Inilah krisis terbesar Indonesia sesudah 1965, tatkala terjadi hyperinflation 600 persen menjelang jatuhnya Presiden Sukarno.

Banyak analisis yang menyebutkan bahwa IMF ikut andil dalam penanganan krisis ekonomi Indonesia yang tidak tepat. Pendapat ini terutama dipelopori oleh Joseph Stiglitz (Globalization and Its Contents, 2002). Salah satu yang dianggap kegagalan IMF adalah memberi saran yang tidak tepat saat menurunkan subsidi BBM yang memberi dampak kenaikan inflasi, penurunan daya beli, dan berujung pada demonstrasi besar. Sebenarnya maksud IMF adalah mendisiplinkan APBN (fiscal austerity) agar tidak terbebani oleh subsidi. Hanya saja IMF “lupa”, bahwa menghilangkan subsidi tidak bisa dilakukan dengan sekejap, namun perlu bertahap. Terlebih lagi hal itu dilakukan pada momentum yang tidak tepat.

Ekonom Harvard, Jeffrey Sachs, juga menjadi pengritik utama IMF. Dia merasa IMF seringkali menyarankan pengetatan APBN bagi negara-negara berkembang, termasuk dalam kasus krisis Indonesia 1998. Jika fiscal austerity ini dilakukan terlalu ketat, hasilnya malah kontraproduktif. Indonesia menjadi “sesak napas” karena pengelolaan fiskal yang luar biasa ketat, atas kemauan IMF. Ini keliru, kata Sachs.

Kelemahan paling mendasar IMF pada saat itu, menurut saya, adalah kecilnya jumlah talangan (bailout) yang mereka berikan. IMF hanya mencairkan USD 1 miliar per bulan, padahal cadagan devisa Indonesia hanya USD 20 miliar, untuk menghadapi utang luar negeri total USD 130 miliar yang sebagian jatuh tempo. Akibatnya, hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi kebutuhan riil pembayaran utang yang jatuh tempo, ditambah dengan ulah spekulasi yang memanfaatkan situasi panik. Rupiah pun harus terdepresiasi tajam dari Rp 2.300 per dollar (Oktober 1997) menjadi Rp 15.000 (Januari 1998).

Sebagai perbandingan, utang luar negeri Indonesia saat ini USD 352 miliar, berbanding cadangan devisa USD yang sudah jauh melambung menjadi hampir USD 132 miliar. Dengan kata lain, kondisi kita saat ini tidak layak dibandingkan 1998. Saat ini jauh lebih baik.

Kegagalan IMF untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia ini menimbulkan kritik dan inisiatif untuk mempersiapkan skema agar tidak mengulang pengalaman buruk yang traumatis tersebut. Negara-negara Asia Tenggara pun kemudian membentuk Chiangmai Initiatives. Sepuluh negara ASEAN bisa meminta bantuan likuiditas dari tiga negara Asia Timur (China, Jepang, Korea Selatan) untuk memperkuat cadangan devisanya dalam meredam krisis finansial seperti peristiwa 1997-1998.

Kombinasi antara reformasi ekonomi dan murahnya rupiah (bahkan undervalued) yang menyebabkan daya saing Indonesia membaik dan krisis ekonomi berangsur teratasi pada periode 1999-2004. Dari pengalaman ini, kita pun akhirnya menyadari beberapa kelemahan.

Pertama, rupiah yang sebelumnya dipatok tetap (fixed exchange rate regime) memang tidak realistis, sehingga menjadi terlalu mahal (overvalued), sehingga produk Indonesia tidak kompetitif. Kedua, sektor finansial yang dikelola secara sembrono, terjadi moral hazard, sehingga menyebabkan kredit macet. Ketiga, utang luar negeri tidak terkendali, karena tidak ada pemantauan dari pemerintah, sehingga terjadi “besar pasak daripada tiang” (mismatch).

Namun itu semua sudah berlalu. Utang bailout IMF selama krisis 1998 sebesar USD 15 miliar sudah dilunasi pemerintah. Perekonomian Indonesia sudah pulih sejak 2004, dan kini masuk ke jalur pembangunan infrastruktur yang termasuk cepat untuk mengejar daya saing. Hubungan dengan IMF tetap dijaga baik, karena kita memang tidak perlu mengucilkan diri dari perkumpulan yang beranggotakan 189 negara tersebut.

Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia

Setiap tahun, IMF dan Bank Dunia, dua lembaga multilateral yang sama-sama dibentuk pada Juli 1944 di Bretton Woods, AS, menyelenggarakan pertemuan tahunan. Mereka memang perlu melakukan rapat koordinasi, karena pada dasarnya urusan moneter (IMF) dan pembangunan ekonomi (Bank Dunia) banyak irisannya. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan diisolasikan. Pertemuan tahunan ini diselenggarakan selang-seling di markas IMF dan Bank Dunia di Washington DC (AS) dan di luar Amerika Serikat.

Tahun ini, Indonesia berhasil terpilih menjadi tuan rumah. Ini kesempatan besar untuk menarik perhatian dunia terhadap Indonesia yang sedang giat membangun infrastruktur dan memiliki potensi pariwisata yang besar. Selama seminggu pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, Indonesia seperti sedang “berjualan” habis-habisan diliput media di seluruh dunia. Ini bagus untuk kampanye investasi dan pariwisata.

Soal biaya yang mencapai Rp 800 miliar, itu masuk akal. Sebagai perbandingan, Asian Games 2018 yang akan diselenggarakan di Jakarta dan Palembang, menelan ongkos Rp 6,6 triliun, kata ketua panitianya, Erick Thohir (CNBC Indonesia 19/2/18). Itu di luar pembangunan infrastruktur fisik (monorel, kereta ringan, stadion, wisma) yang nantinya bisa digunakan dalam jangka panjang, sebesar Rp 10 triliun (Jakarta) dan Rp 7 triliun (Palembang).

Kedua kegiatan akbar kita tahun ini, Asian Games (Agustus 2018) dan Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia (Oktober 2018), sama-sama menjadi ikon promosi Indonesia yang penting. Keduanya kira-kira bernilai setara dengan Singapura menggelar balapan mobil F1 dan Malaysia menggelar balap motor GP. Khususnya Malaysia, yang semula juga penyelenggara F1, akhirnya menyerah karena biayanya terlalu mahal dan belakangan menanggung rugi.

Perekonomian dunia kini sedang dilanda “demam” leisure industry, di mana sektor pariwisata menjadi pemimpinnya. Indonesia kini menjadi negara dengan pertumbuhan wisatawan asing tercepat di Asia Tenggara. Tahun lalu, wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia mencapai 13,7 juta orang. Jika wisatawan asing membelanjakan rata-rata USD 1000, maka terdapat devisa USD 13,7 miliar yang beredar pada industri ini dan sebagian akan mengalir ke cadangan devisa kita.

Itulah salah satu penyebab, mengapa cadangan devisa kita terus menguat dan kini mencapai hampir USD 132 miliar. Padahal, banyak negara lain justru merosot cadangan devisanya. Malaysia misalnya, dalam empat tahun terakhir cadangan devisanya terkuras 30 persen sehingga kini cadangan devisanya hanya USD 101 miliar atau jauh di bawah kita. Malaysia terpukul oleh penurunan harga komoditas dan terjadinya skandal mega korupsi pada 1MDB (1 Malaysia Development Berhad).

Dari biaya pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia sebesar Rp 800 miliar, sebenarnya sebagian dananya bakal berputar ke Indonesia lagi, karena dialokasikan untuk pembayaran akomodasi hotel di Bali, sewa kendaraan, konsumsi, dan lain-lain. Jadi sebenarnya juga terjadi perputaran multiplier effect di dalam negeri, yang akan membantu menghela pertumbuhan ekonomi.

Saya pernah diundang IMF untuk menghadiri Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2012 di Tokyo. Pertemuannya dilakukan di Tokyo International Forum (TIF). Ekspos media di seluruh dunia sangat luar biasa besar. Itu merupakan tahun kedua Christine Lagarde menjadi pimpinan IMF, sesudah diangkat 5 Juli 2011. Saya tidak pernah lupa saat Christine Lagarde berpidato, tiba-tiba Tokyo dilanda gempa. Hadirin tetap tenang dan gempa pun berlalu.

Sebagai peninjau, saya juga diajak makan siang bersama ekonom favorit Olivier Blanchard, yang saat itu menjabat chief economist IMF, sebelum digantikan oleh Maurice Obstfeld. Profesor Blanchard adalah ekonom Perancis yang menjadi nama besar di Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Makan siang yang hanya dihadiri lima ekonom selama dua jam tersebut sungguh mengasyikkan, karena topiknya tentang bagaimana AS berusaha keluar dari krisis subprime mortgage 2008-2009, dengan cara menurunkan suku bunga dan mencetak uang (quantitative easing).

Kini, pertemuan penting IMF-Bank Dunia itu tidak diselenggarakan di DC atau Tokyo, namun di Bali, “surga” destinasi pariwisata kita. Kesempatan ini tidak mudah berulang di kemudian hari, karena puluhan negara lain (ada 189 negara anggota) harus antri untuk menjadi tuan rumah. Mungkin kita harus menunggu setengah abad lagi. Sama seperti Asian Games, di mana kita dulu pernah menjadi tuan rumah pada 1962. Kita harus menunggu hingga 56 tahun untuk mengulangnya. Sungguh lama sekali.

*A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM;Faculty Member Bank Indonesia Institute.

Insiden Infrastruktur

ArtikelBerita Tuesday, 27 February 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 27 Februari 2018

Robohnya beberapa fasilitas yang terjadi dalam proses pembangunan infrastruktur selama dua bulan terakhir, seperti menyadarkan kita bahwa membangun infrastruktur bukanlah semata-mata soal mengejar aspek kuantitatif (jumlah, panjang, volume), namun juga aspek kualitatif (keselamatan dan kualitas bangunan) yang tak kalah prioritas.

Pemerintah memang nampak amat antusias mendorong pembangunan infrastruktur, karena Indonesia masih tercecer dibandingkan negara tetangga. Namun hal itu tidak boleh mengabaikan aspek keselamatan dan kualitas. Soalnya, infrastruktur tersebut akan digunakan untuk rentang waktu yang panjang, bahkan menembus seabad untuk kasus, misalnya, kereta bawah tanah (MRT) dan bendungan. Bukan cuma untuk perspektif pendek 5-10 tahun ke depan.

Sebenarnya kita sudah diingatkan, bahwa aspek kuantitatif dan kualitatif bangunan fisik seringkali tidak bisa berjalan seiring, keduanya mengalami trade-off. Ketika pemerintah seperti tergopoh-gopoh menyelesaikan terminal 3 bandara Soekarno-Hatta untuk mengejar Lebaran 2016, apa yang kemudian terjadi ? Kualitas penyelesaian terpaksa dikorbankan. Tembok dan lantai bandara tampak bergelombang, atap pernah bocor karena hujan deras sehingga air menggenangi lantai bandara, dan seterusnya. Kasus ini tidak sampai menelen korban manusia, hanya kerusakan.

Namun ketika belakangan ini timbul korban manusia, maka pemerintah pun cepat meresponsnya dengan menghentikan sejenak pembangunan infrastruktur jalan layang (elevated). Langkah ini tepat, karena inilah saatnya untuk mengambil jeda sejenak untuk melakukan evaluasi yang mendalam. Apanya yang salah ? Bagaimana memperbaikinya ?

Pemerintah tidak perlu malu untuk jujur mengakui, bahwa pembangunan infrastruktur kita memang masih mengalami berbagai kendala. Meski demikan, dengan segala kendala itu pun, indeks daya saing kita mengalami kemajuan. Peringkat Indonesia terus membaik ke posisi 36 (2018) dari sebelumnya ke 41 (2017), di antara 140 negara. Namun kita masih di bawah Malaysia (25) dan Thailand (32).

Indeks oleh World Economic Forum di Swiss ini mengacu pada 12 pilar: (1) institusi, (2) infrastruktur, (3) ekonomi makro, (4) pendidikan dan kesehatan dasar, (5) pendidikan tinggi dan pelatihan, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar tenaga kerja, (8) perkembangan pasar finansial, (9) kesiapan teknologi, (10) besarnya pasar, (11) kecanggihan dunia bisnis dan (12) inovasi.

Variasi masalah bisa terentang dari aspek pembebasan lahan, sumber pendanaan, hingga berapa harga tiket yang akan dibebankan ke konsumen. Misalnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang hingga dua tahun sesudah groundbreaking (Februari 2016), ternyata sampai kini masih bergulat dengan berbagai aspek tersebut, termasuk soal penentuan harga tiketnya. Harga tiket adalah titik paling krusial, apakah kereta cepat ini akan banyak peminatnya atau tidak.

Meski kita tahu bahwa penentuan harga tiket biasanya banyak ditentukan oleh berbagai dinamika variabel ekonomi, namun bahwa harga tiket akan melejit di atas perkiraan semula, hal tersebut patut disesali. Perencanaan yang super ketat dengan menyajikan kemungkinan yang terburuk, seyogianya dilakukan sejak awal. Tidak perlu memaksakan bahwa sebuah proyek “harus layak”, sehingga harus dikerjakan.

Best practices di luar negeri, kereta cepat mencapai skala ekonomis ketika menempuh jarak yang cukup panjang, misalnya Tokyo-Osaka (515 km) dan Beijing-Shanghai (1.318 km), keduanya menghubungkan dua ibukota negara. Karena itu, untuk kasus Indonesia, proyek kereta cepat bisa jadi ekonomis (layak) jika terentang di dua kota terbesar Jakarta-Surabaya (735 km), dibandingkan Jakarta-Bandung (142 km).

Koreksi

Kembali ke insiden proyek infrastruktur, bagaimana selanjutnya ? Secara alamiah, sudah terjadi koreksi terhadap harga saham BUMN infrastruktur di bursa efek, yakni Waskita Karya, Wijaya Karya dan Adi Karya. Bahwa pasar sempat “menghukumnya”, itu adalah konsekuensi yang wajar, alias sebuah keniscayaan. Namun itu hanyalah sementara. Ke depan, harga saham BUMN karya masih prospektif. Dengan evaluasi dan komitmen untuk melalukan berbagai perbaikan, kepercayaan investor bisa dikembalikan.

Kasus ini juga seperti mengingatkan isu di kalangan pengusaha swasta, bahwa pemerintah perlu berbagi beban dalam membangun infrastruktur. Dengan dana APBN 2018 yang mencapai Rp 410 triliun, pemerintah perlu memberi lebih banyak kesempatan pada kontraktor swasta untuk mengambil peran. Selain berbagi beban, sehingga BUMN karya bisa lebih fokus dalam mempertahankan kualitas pekerjaan, pemerintah bisa menstimulasi efek pengganda (multiplier effect) dan ikut membesarkan bisnis swasta.

Terlepas dari insiden kecelakaan infrastruktur, tantangan besar pembangunan infrastruktur kita tahun ini justru berasal dari kenaikan harga minyak dunia, yang kini mencapau USD 67 per barrel, yang disebabkan oleh penurunan cadangan (inventories) minyak negara-negara besar. Kenaikan harga ini, jika terus berlanjut, bakal mengembalikan keadaan perekonomian ke posisi 2014. Pada akhir pemerintahan sebelumnya, dengan harga minyak dunia USD 100 per barrel, subsidi BBM mencapai Rp 250 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun. Sehingga subsidi energi total mencapai Rp 350 triliun. Jumlah ini justru mendekati anggaran infrastruktur setahun saat ini.

Agar kondisi ini tidak memburuk, harapan satu-satunya adalah para produsen minyak dunia yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia (masing-masing produksinya di atas 10 juta barrel sehari) terus menaikkan produksinya untuk memanfaatkan kenaikan harga. Faktor inilah yang akan menjadi koreksi terhadap kenaikan harga minyak ke level yang lebih terjangkau (affordable), misalnya USD 50-60 per barrel.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa insiden pembangunan infrastruktur secara umum berdampak kecil dan bersifat sementara bagi pembangunan, namun mengandung makna positif bagi upaya mendahulukan keselamatan dan kualitas. Koreksi harga saham juga tidak akan berlarut-larut. Justru harga minyak tinggi yang bisa mengganggu kecepatan pemerintah melanjutkan belanja besarnya untuk mendanai infrastruktur. Semoga kenaikan harga minyak hanyalah “riak” yang tidak berlanjut.

  • A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute

Pertumbuhan Stagnan

ArtikelBerita Tuesday, 6 February 2018

Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 6 Februari 2018

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 sebesar 5,07 persen, yang berarti tidak beranjak dari pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya 5,03 persen. Di satu pihak, tentu hal ini mengecewakan, karena belum ada lompatan yang signifikan. Perekonomian memang masih tumbuh, namun dengan laju konstan. Pertumbuhan konsumsi masyarakat seperti terperangkap di bawah 5 persen.

Secara umum, beberapa indikator ekonomi makro memang memberi indikasi positif. Itulah sebabnya Presiden Joko Widodo mengeluh, kenapa indikator ekonomi makro terjaga baik (inflasi rendah, cadangan devisa naik, suku bunga turun), tetapi tidak terefleksikan menjadi pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen ?

Inflasi kita memang terjaga rendah 3,61 persen. Bagi Indonesia, inflasi di bawah 5 persen, apalagi di bawah 4 persen, merupakan hal yang amat baik. Sungguh tidak mudah mengendalikan inflasi di negara sebesar Indonesia. Namun kadang kita lupa, bahwa inflasi yang terlalu rendah juga bisa bermakna kurang bergairahnya masyarakat untuk berbelanja. Karena itu, sering kita dengar betapa pemerintah Amerika Serikat menginginkan inflasi harus mencapai 2 persen, tidak boleh lebih rendah.

Rendahnya inflasi kita tampaknya berkorelasi dengan lesunya penjualan barang-barang konsumtif. Padahal logikanya dengan inflasi rendah akan mendorong konsumen untuk berbelanja lebih banyak. Namun faktanya, penjualan mobil pada 2017 hanya 1,1 juta unit, yang berarti lebih rendah daripada potensinya sebesar 1,2 juta unit, yang pernah kita capai tiga tahun silam.

Hal yang sama terjadi pada data penjualan sepeda motor, yang kini hanya 6 juta unit setahun. Padahal, di saat terjadi booming komoditas (harga kelapa sawit dan batubara tinggi), penjualan sepeda motor pernah mencapai 8 juta unit setahun.

Sektor otomotif dan sektor properti biasanya merupakan indikator bergairahnya konsumsi suatu negara. Ketika keduanya bergairah, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, saya cenderung melihat inflasi rendah merupakan dampak dari keberhasilan Bank Indonesia (sektor moneter) bersama tim pengendali inflasi daerah atau TPID (sektor riil), dengan kelesuan gairah berkonsumsi masyarakat. Ketika gairah belanja lesu, maka tidak ada alasan bagi produsen untuk menaikkan harga.

Konsumen lesu karena mereka merasa prospek perekonomian masih terganggu oleh ketidakpastian (uncertainty). Hal ini merupakan “derivasi” dari kondisi perekonomian global yang masih bergolak, sehingga sulit diprediksi. Dalam setahun terakhir, menduga-duga harga minyak dunia dan indeks harga saham di New York bisa diibaratkan seperti orang main judi. Susah ditebak dan penuh kejutan.

Lemahnya penjualan mobil dan sepeda motor bisa jadi disebabkan oleh pergeseran “selera” konsumen untuk mengalihkan pola konsumsinya ke arah industri leisure, yakni segmen bisnis yang terkait dengan “waktu luang” yang terkait dengan unsur rekreasi, hiburan dan pariwisata. Konkretnya, masyarakat kini sedang antusias untuk membeli gawai untuk hiburan dan bertamasya, daripada berbelanja mobil dan sepeda motor baru. Padahal, daya dorong dan kontribusi industri otomotif terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada industri gawai dan pariwisata.

Soal cadangan devisa, meski sempat berfluktuasi (terkadang turun USD 2 miliar dalam sebulan), namun trennya terus menguat hingga USD 130 miliar. Menguatnya cadangan devisa berkontribusi positif terhadap stabilitas rupiah. Jadi, meski suku bunga The Fed di AS dinaikkan, pengaruhnya minimal terhadap rupiah, yang tetap stabil.

Di luar tiga indikator makro tersebut, sebenarnya ada satu indikator lain yang kinerjanya di bawah kelaziman, yakni pertumbuhan kredit perbankan yang hanya 8 persen pada 2017. Pengalaman selama ini, pertumbuhan ekonomi 6-7 persen selalu berkorelasi dan ditopang dengan pertumbuhan kredit dua digit. Bisakah kinerja kredit didorong oleh penurunan suku bunga lebih lanjut ?

Meski kita butuh mendorong pertumbuhan kredit 12-14 persen tahun ini, namun tidak berarti hal itu bisa difasilitasi dengan penurunan suku bunga acuan. Suku bunga acuan BI saat ini 4,25 persen. Dengan asumsi inflasi 2018 kemungkinan akan naik sedikit menjadi 4 persen, maka ruang gerak penurunan suku bunga pun menjadi terbatas.

Jika BI memaksakan penurunan suku bunga ke 4 persen, saya khawatir kontraproduktif. Yang akan sensitif meresponsnya adalah penurunan suku bunga deposito. Risikonya, para deposan besar akan rawan memindah tabungannya ke valuta asing. Rupiah bakal terdepresiasi, sekalipun BI mampu mengintervensinya.

Lalu, apakah kredit bank masih bisa didorong ? Masih. Kenaikan harga minyak dunia (kini harga minyak jenis WTI USD 65/barrel dan Brent USD 68/barrel) yang biasanya menyeret harga-harga komoditas, dalam batas tertentu, akan menguntungkan Indonesia. Pengeluaran konsumsi akan bergerak positif.

Namun jika harga minyak naik terlalu tinggi di atas USD 70/barrel, maka APBN akan terancam bahaya subsidi BBM. Tapi berita baiknya, cadangan minyak AS kini dilaporkan naik dan para produsen minyak dunia berlomba menaikkan produksi, sehingga potensi kenaikan harga lebih lanjut dapat diredam. Dinamika harga minyak akan memberi pengaruh penting terhadap keamanan fiskal dan gairah sektor riil kita.

Sambil berharap tercapainya stabilitas perekonomian global, maka pertumbuhan kredit perbankan 12-14 persen menjadi sasaran wajib untuk direalisasikan pada 2018. Pertumbuhan investasi yang sudah mulai terjadi pada 2017, mestinya berujung pada pertumbuhan kredit perbankan, meningkatnya daya beli dan hasrat berkonsumsi.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute

BUMN: Dari Privatisasi ke Sinergi, Konsolidasi dan Nantinya Merger

ArtikelBerita Monday, 5 February 2018

Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 5 Februari 2018

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno sesungguhnya bisa dibilang “cukup beruntung”, karena tidak seperti Menteri BUMN pada era tahun 2000-an awal, dirinya tidak perlu dikejar-kejar setoran APBN dengan cara melakukan privatisasi BUMN, yakni menjual sebagian atau seluruh BUMN kepada investor (terutama asing). Era privatisasi atau penjualan saham BUMN untuk menutup defisit APBN, kini telah berakhir. APBN memang masih defisit, namun hal itu kini lazimnya ditutup dari penjualan surat berharga milik negara, tidak lagi dengan penjualan saham BUMN yang sarat isu politik.

Sedikit kilas balik, setelah krisis ekonomi terparah 1998, yang ditandai dengan ambruknya industri perbankan, pemerintah terpaksa melakukan rekapitalisasi terhadap hampir semua bank. Setelah bank-bank tersebut sehat, satu demi satu harus didivestasikan (dijual) kepada para investor, baik investor strategik (yang bisnisnya sama-sama di sektor finansial) maupun investor portofolio. Dana hasil divestasi ini kemudian disetor kepada APBN, karena APBN jugalah yang membiayai skema rekapitalisasi perbankan melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi.

Sesuai dengan anjuran Dana Moneter Internasional (IMF), maka sebagian BUMN yang berkinerja baik pun terpaksa harus dijual sebagian sahamnya untuk menutup defisit APBN. Di sinilah timbul kontroversi besar tatkala timbul resistensi publik terhadap penjualan saham BUMN kepada investor asing. Kontroversi besar ini antara lain terjadi pada saat Semen Gresik Group (Semen Gresik, Semen Padang dan Semen Tonasa) dijual sahamnya kepada Cemex, suatu perusahaan semen global dari Meksiko (1998).

Kontroversi besar juga terjadi tatkala saham mayoritas perusahaan terminal peti kemas di Tanjung Priok (Jakarta International Container Terminal)─yang merupakan mesin utama penghasil uang di Pelindo II─dijual kepada operator kelas dunia Hutchinson, Hong Kong (1999). Masyarakat Padang dan Sumatera Barat menolak privatisasi Semen Padang, karena pabriknya berdiri di atas ulayat, yang secara tradisional tidak bisa dijual kepada pihak asing. Ada semangat xenophobia (menolak asing) yang kental dalam kasus ini. Ini bukan hal baru, bahkan dalam kasus privatisasi BUMN telekomunikasi Jepang (NTT) dan Australia (Telstra), kritik pun berhamburan dengan alasan menolak dominasi asing (Megginson, 2000; Mitsuhiro, 2000).

Menteri BUMN pada zaman itu (Laksamana Sukardi) banyak ditekan oleh resistensi masyarakat terhadap privatisasi, padahal dananya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan APBN. Namun sebenarnya secara akademis isu privatisasi sebagian saham BUMN tersebut bukannya tanpa rujukan dan dasar yang kuat. Privatisasi di lantai bursa─seperti yang dilakukan oleh empat bank BUMN: BNI, Bank Mandiri, BRI dan BTN─sudah terbukti bermanfaat. Kempat bank ini didorong untuk lebih kuat tata kelolanya (governance) karena mendapat tambahan kontrol dari investor, otoritas bursa, analis dan bahkan masyarakat, yang amat membantu memperbaiki kinerjanya. Perusahaan terbula (listed company) menjadi kian transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dalam pengelolaannya.

Kini terbukti keempat bank BUMN tersebut menjadi penguasa kinerja terbaik pada industri perbankan kita. Tidak ada pemisah kinerja antara bank BUMN, bank swasta, dan bank asing pada industri perbankan kita. Semuanya berada pada level of playing field yang sama. Yang membedakan hanyalah: “bank ini dikelola dengan baik dan taat asas, sedangkan bank itu dikelola dengan sembrono”. Bukan dibedakan dengan cara: “bank ini kulturnya swasta, bank itu kulturnya BUMN”. Semua bank harus dikelola dengan governance tinggi.

Sinergi dan Diversifikasi BUMN

Setelah era privatisasi usai, agenda sinergi di antara BUMN menjadi isu penting, karena BUMN praktis berada di hampir semua sektor perekonomian, serta banyak memiliki keterkaitan (integrasi horizontal dan vertikal). Kementerian BUMN tinggal mempunyai visi, BUMN apa saja yang perlu difasilitasinya untuk saling bersinergi.

Ketika kita menyadari bahwa industri pariwisata kini berkembang luar biasa di seluruh dunia sebagai bagian dari industri leisure, maka sinergi harus dilakukan oleh BUMN-BUMN yang berada di industri ini, untuk saling melengkapi. Seiring dengan kian tingginya pendapatan seseorang, kini makin banyak orang yang memanfaatkan waktu luangnya untuk bertamasya, nonton konser, main gawai, dan seterusnya. Karena itu, dibangunlah banyak pelabuhan udara untuk mengantisipasi maraknya industri leisure.

Selanjutnya, hal ini akan memantik multiplier effect positif pada industri penerbangan, hotel, restoran, dan seterusnya, di mana negara juga memiliki BUMN yang terkait. Sinergi bisa dilakukan antar BUMN, misalnya Angkasa Pura dengan Garuda Indonesia; Garuda Indonesia dengan dengan jaringan Hotel Ina; dan seterusnya. Pendek kata, sinergi dapat dilakukan oleh BUMN-BUMN yang bidang usahanya komplementer.

Bukan cuma sinergi, BUMN juga bisa melakukan diversifikasi untuk mengikuti perkembangan zaman. PT Pos Indonesia dan PT Pegadaian memanfaatkan aset-asetnya yang berlokasi strategis untuk menangkap peluang di sektor properti. Ini sah-sah saja sebagai upaya bertahan dan mengembangkan diri. Perubahan adalah keniscayaan.

Konsolidasi BUMN

Lalu, bagaimana dengan BUMN yang industrinya bukan komplementer, tapi substitusi? Misalnya minyak dan gas? Atau bahkan BUMN yang bidang kerjanya sama, misalnya PT Perkebunan, BUMN bank, farmasi, semen, pupuk, dan lain-lain?

Saat ini terdapat 115 BUMN, yang kinerjanya amat bervariasi. Mulai dari Pertamina yang pernah mencatat rekor laba terbesar sepanjang masa Rp 41 triliun (2016), BRI yang labanya terus naik signifikan (Rp 29 triliun pada 2017), hingga terjadinya akumulasi kerugian Rp 5,8 triliun dari 36 BUMN (2017). Kerugian terbesar dialami Garuda Indonesia Rp 3 triliun (2017).

Dari jumlahnya yang mencapai 115 BUMN saja sudah dapat lekas diketahui bahwa agenda terbesar BUMN adalah konsolidasi perusahaan. Sudah lama kita sadari bahwa dalam mengelola bisnis diperlukan efisiensi, yang terutama dapat dicapai melalui economies of scale. Untuk dapat mencapai efisiensi tinggi, diperlukan produksi dalam skala besar.

Ketika beberapa merk mobil ternama di Indonesia menutup pabriknya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, penyebabnya adalah mereka tidak berhasil mencapai skala penjualan terendah agar tetap bertahan. Untuk pasar Indonesia, sebuah merk minimal harus terjual 10-15 ribu unit/tahun. Jika kurang, sebaiknya mobilnya diimpor dari luar negeri, bukan dibuat di Indonesia sebagai industri.

Tentu ada plus-minusnya. Jika mobil diproduksi di Indonesia, maka produsennya akan mendapat menikmati fasilitas pajak yang rendah. Namun jika skala produksi minimum tidak tercapai, tetap saja produk tersebut tidak efisien alias merugi.

Dalam pengelolaan BUMN juga berlaku “hukum” yang sama. Perusahaan-perusahaan milik negara juga dituntut untuk mencapai skala produksi minimum agar dapat bertahan hidup (survived). Perusahaan yang kian besar modal dan skala produksinya, menjadi semakin efisien dan dapat bersaing. Sebaliknya yang kecil modal dan skala produksinya, harus menempuh jalan lain agar bertahan, misalnya dengan bergabung dengan perusahaan lain. Pendek kata, dalam tensi persaingan yang kian ketat dan global, berlaku adagium size does matter. Ukuran atau skala usaha menjadi penting untuk menentukan daya saing.

Memang benar bahwa dulu pernah ada buku terkenal karya ekonom Jerman kelahiran Inggris EF Schumacher, small is beautiful (1973). Namun dalam situasi sekarang, ketika sekat-sekat antarnegara sudah dihilangkan oleh globalisasi, maka menjadi perusahaan yang besar modal dan skala usahanya, menjadi hal yang esensial. Bahkan perusahaan transportasi online seperti Gojek pun, mendapatkan injeksi puluhan triliun rupiah dari investor asing, untuk mendapatkan skala ekonomis, mampu bersaing, dan kemudian berkspansi.

Pengelolaan BUMN juga sama. Ketika Kementerian BUMN kini memiliki 14 perusahaan perkebunan (PTP), timbul pertanyaan sederhana: bagaimana jika semua perusahaan itu dikonsolidasi, sehingga membentuk sebuah kekuatan raksasa? Pada kasus industri gula, kini bahkan sudah terbukti bahwa perusahaan-perusahaan gula swasta memiliki kinerja yang lebih baik, yang direpresentasikan dengan rendemen gula yang lebih tinggi. Agar PTP bisa bersaing menghadapi perusahaan perkebunan swasta, sudah semestinya mereka bersatu, berkonsolidasi.

Kehendak kuat untuk melakukan konsolidasi sudah ada, bentuknya para BUMN pada kluster tertentu tersebut (kluster perkebunan, energi, semen, farmasi, dan seterusnya) membentuk perusahaan induk (holding company). Ini langkah strategis yang logis. Namun, pembentukan perusahaan induk saja menurut saya masih belum cukup. It is necessary, but not sufficient.

Konsolidasi yang paling paripurna adalah merger. BUMN pun sudah terbukti pernah sukses melakukan merger empat bank BUMN (BDN, BBD, Bank Exim dan Bapindo) menjadi Bank Mandiri, hampir 20 tahun silam. Langkah ini perlu ditiru oleh industri-industri yang lain. Melakukan merger BUMN dan kemudian mengantarkannya ke bursa efek merupakan dua agenda terbesar Menteri BUMN untuk menjadikannya berdaya saing.

Saya tidak tahu, apakah Kementerian BUMN pada era Rini Soemarno memiliki road map sampai pada “penyederhaan jumlah BUMN” alias merger, ataukah hanya sebatas membentuk perusahaan induk saja. Namun saya meyakini, bahwa pembentukan holding company saja bukanlah “terminal terakhir”. Pada tahap berikutnya masih ada merger. Hanya sang waktu yang akan menentukan, kapan itu bakal terjadi.

* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute

Menggugat Bitcoin

ArtikelBerita Tuesday, 30 January 2018

Kompas – Analisa Ekonomi, Selasa 30 Januari 2018

Bank Indonesia (BI) secara resmi telah melarang penggunaan bitcoin─secara generik disebut cryptocurrency atau mata uang virtual/digital─sebagai matauang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kementerian Keuangan juga mendukung keputusan ini. Fenomena bitcoin telah menjadi kontroversial, sejak pertama kali diperkenalkan pada 2008 oleh seseorang atau suatu kelompok yang menamakan dirinya Satoshi Nakamoto (diduga samaran).

Sikap tegas BI sama dengan yang dilakukan China. Sedangkan di banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, masih cenderung bingung dan mendua, antara lain dengan alasan “sedang dipelajari”. Mengapa bitcoin tidak bisa kita terima ?

Sebagai sebuah matauang yang akan berlaku universal, bitcoin semestinya memiliki induk atau otoritas, yakni yang kita kenal sebagai bank sentral, seperti The Fed (dollar AS), European Central Bank (euro), Bank of Japan (yen) dan BI (rupiah). Mengapa perlu induk ? Karena persyaratan nomer satu bagi sebuah matauang adalah pentingnya menjaga stabilitas. Tanpa stabilitas, sebuah mata uang tidak kredibel dan dihindari penggunanya. Bank sentral bertugas menggaransi matauangnya agar stabil.

Kenyataannya, nilai bitcoin justru tidak stabil. Volatilitasnya sangat tinggi. Sepanjang 2017, nilai bitcoin meningkat di atas 1.000 persen. Bagi para pemilik dan pendukungnya, tentu saja ini menyenangkan. Mereka sekonyong-konyong kaya raya. Matauang virtual cenderung sangat fluktuatif tak memiliki underlying. Artinya, nilai bitcoin bisa meroket tanpa perubahan fundamental. Semua bisa terjadi begitu saja.

Dalam sistem keuangan sekarang, jika rupiah melemah maka BI dengan sigap mengintervensinya dengan melepas cadangan devisa (kini USD 120 miliar). Sedangkan pada kasus bitcoin, ketika nilainya jatuh, tidak ada otoritas yang berikhtiar menahannya. Karena bitcoin memang tak memiliki otoritas, penanggung jawab dan pengawas.

Akibatnya, pemilik bitcoin akan dirugikan, tanpa bisa protes. Mau protes ke mana ? Ini sangat berbeda dengan sistem bank sentral yang didukung regulasi dan supervisi ketat. Begitu pula perdagangan surat berharga di bursa efek, yang dipayungi oleh otoritas dan regulasi ketat untuk melindungi investor. Masalah kian runyam tatkala bitcoin yang teknologinya canggih ternyata juga bisa diretas. Berita terbaru, Otoritas Sektor Finansial (FSA) Jepang menghukum perusahaan mata uang virtual Coincheck, yang dicuri 58 miliar yen atau setara Rp 7 triliun, melalui online (Reuters.com, 29/1/18).

Ekonom Robert Shiller dari Yale (CNBC, 19/1/18), menyebut bitcoin mirip fenomena “tulip mania” di Belanda, Februari 1637. Tulip mania adalah kenaikan harga tulip gila-gilaan, sehingga setangkai bunganya sampai berharga 10 kali lipat gaji tahunan seorang pekerja. Shiller memprediksikan harga bitcoin pasti akan terkoreksi dan kolaps.

Paul Krugman menyebut bitcoin pada dasarnya adalah “gelembung” finansial, sehingga merupakan skema Ponzi (Business Insider, 15/12/17). Skema Ponzi adalah ketika hanya peserta yang lebih dulu ikut akan menikmati keuntungan, sedangkan peserta berikutnya bakal rugi besar. Bagi Krugman, bitcoin adalah skema Ponzi dengan “penampakan” mutakhir berbasis teknologi tinggi, sehingga nampak canggih dan atraktif.

Ekonom yang pernah meramal tepat krisis finansial global 2008, Nouriel Roubini (Business Insider, 8/11/17), menyebut bitcoin sebagai tindakan spekulatif yang menyebabkan “gelembung” yang amat besar (gigantic speculative bubble). Roubini yakin bitcoin bakal berakhir, negara-negara lain harus segera meniru China untuk melarangnya.

Ganti Kemapanan

Bagi mantan Ketua The Fed Ben S Bernanke, fenomena matauang digital merupakan upaya untuk mengganti kemapanan sistem tradisional di mana pemerintah dan bank sentral mengontrol peredaran uang. Bitcoin juga bersifat amat spekulatif. Ben yakin fenomena ini bakal tidak sukses (Fortune, 16/10/17).

Bagi Joseph Stiglitz, bitcoin tidak dibutuhkan. Itu dikatakannya pada World Economic Forum 2018 di Davos, Swiss (Bloomberg, 24/1/18). Kalau bitcoin dimaksudkan sebagai matauang virtual, bukankah sistem perbankan saat ini juga sudah menggunakannya ? Satu-satunya “kelebihan” bitcoin adalah soal kerahasiaan (secrecy) bagi para penggunanya. Transaksi bitcoin tidak terlacak asal-usulnya.

Tampaknya inilah daya tarik terbesar bagi para pengguna bitcoin, yang tak mau transaksinya terlacak. Perkembangan sektor finansial dalam beberapa tahun terakhir ini telah berubah menjadi kian transparan. Perbankan di Swiss yang dulu dikenal karena jaminan kerahasiaan tinggi, kini berangsur berakhir. Boleh dibilang, kini tiada tempat untuk bersembunyi (no place to hide). Jadi, benar argumentasi bahwa bitcoin rawan transaksi ilegal, seperti perdagangan narkoba, terorisme dan juga korupsi !

Di seluruh dunia, Indonesia termasuk paling cepat merespons isu bitcoin sesudah China, tatkala negara-negara lain justru masih sibuk memperdebatkannya. Ini mengesankan, sebelum jatuh korban besar seperti di Jepang. Saya pun mendukungnya, dan amat mempercayai sederet argumen kokoh yang dibangun para ekonom favorit saya: Shiller-Krugman-Stiglitz-Bernanke-Roubini.   *****

* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute

12345

Artikel Terbaru

  • BIMTEK/DIKLAT/WORKSHOP Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM 2020
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP)
Universitas Gadjah Mada
Bulaksumur, Yogyakarta 55281
psekp.ugm@ugm.ac.id
+62 (274) 564926
+62 (274) 581827

© PSEKP Universitas Gajah Mada 2019

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY