Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 4 Desember 2018
Akhirnya, rupiah pun menikmati hari-hari terbaiknya belakangan ini. Dalam tiga pekan terakhir, rupiah menguat dari Rp 15.200 per dollar AS menjadi Rp 14.241 per dollar AS (3/12/18). Pertanyaannya, apakah penguatan rupiah ini bersifat permanen hingga tahun depan ataukah fenomena sesaat yang masih rawan terkoreksi ? Pada titik ekuilibrium berapakah rupiah kelak akan permanen dan stabil ?
Faktor eksternal yang paling menonjol di balik menguatnya rupiah adalah bekerjanya tiga faktor. Pertama, berlanjutnya penurunan harga minyak dunia yang berakibat berkurangnya tekanan terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia, dari sisi inflasi dan subsidi. Kedua, kian kuatnya indikasi perekonomian AS sudah mulai normal, yakni inflasi yang sudah “jinak” sehingga kenaikan suku bunga acuan tidak perlu agresif. Ketiga, kesepakatan “gencatan senjata” perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dalam KTT G20 di Buenos Aires, Argentina.
Faktor pertama adalah soal harga minyak dunia yang kini turun ke USD 60 per barrel (Brent) dan USD 50 per barrel (WTI). Mengapa ? Penjelasannya amat sederhana. Ketika harga minyak dunia mencapai titik tertinggi USD 85 per dollar (Oktober 2018), maka dua produsen terbesar dunia, Saudi dan Rusia, tergoda untuk menaikkan produksinya. Masing-masing berproduksi di atas 11 juta barrel per hari, yang merupakan rekor baru. Satu produsen terbesar lainnya, Amerika Serikat, sudah lebih dulu menggenjot produksinya di atas 11 juta barrel per hari. Produksi shale oil di AS memang sedang terus memuncak.
Presiden AS Donald Trump sering menyampaikan, bahwa dia ingin harga minyak yang rendah, USD 60 per barrel, agar dapat menstimulus perekonomian. Di sisi lain, Saudi menginginkan harga minyak tinggi, USD 80 per barrel, agar menolong neraca perdagangan dan cadangan devisanya. Saat ini cadangan devisa Saudi tergerus menjadi USD 500 miliar, dari posisi tertingginya USD 800 miliar.
Dunia kini kelebihan pasokan minyak. Produsen terlalu agresif menggenjot pasokan demi mengejar kinerja perekonomian negaranya, namun di sisi lain permintaan minyak justru tertekan turun karena perekonomian dunia masih lesu. IMF bahkan mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.
Jika harga minyak dunia mau naik, para produsen harus bersedia memotong produksinya, sekitar 2 juta barrel per hari. Tugas ini hanya bisa dilakukan oleh Arab Saudi dan Rusia, karena AS sudah jelas tidak mau. Pertemuan OPEC pada 6 Desember 2018 di Vienna, Austria, kalaupun sepakat memangkas produksi, maksimal hanya 1 juta barrel. Jadi masih perlu 1 juta barrel lagi, yaitu dari Rusia yang bukan anggota OPEC. Maukah Rusia ? Rasanya sulit. Jadi, yang paling realistis adalah menahan harga minyak agar tidak turun lebih jauh, bukannya berharap kembali naik.
Faktor kedua adalah suku bunga AS. Data terbaru inflasi AS adalah 2,5 persen (Oktober) dan 2,3 persen (September). Dengan inflasi yang kian menuju ideal 2 persen ini, maka tugas The Fed untuk menaikkan suku bunganya menunjukkan tanda-tanda bakal segera berakhir. Semula Ketua The Fed Jerome Powell mencanangkan suku bunga normal baru AS adalah 3,25 persen, karena waktu itu inflasi 2,9 persen. Namun dengan inflasi sekarang bisa ditekan menjadi 2,3-2,5 persen, maka suku bunga acuan yang diperlukan hanya maksimal 2,75 persen. Saat ini suku bunga acuan 2,25 persen, sehingga tinggal perlu 1-2 kali lagi menaikkan suku bunga acuan lagi, agar menuju ekuilibirum normal yang baru.
Ini berita bagus bagi rupiah dan Bank Indonesia. Dengan suku bunga acuan saat ini 6 persen, BI paling-paling hanya perlu menaikkan suku bunga sekali lagi ke depannya. Itu pun belum tentu juga, tergantung pada perkembangan terakhir. Investor asing kini tengah melihat Indonesia sebagai lahan investasi yang menarik, sebagaimana tercermin dari IHSG yang mencapai 6.136 (3/12/18). Bila tren ini bisa dipertahankan, ditambah dengan cadangan devisa yang saya perkirakan kini terus naik menjadi USD 116 miliar, maka suku bunga acuan BI tidak perlu naik.
Faktor ketiga adalah tentang meredanya perang dagang AS-China. Dalam 90 hari ke depan, kedua negara akan kembali berunding. Dengan demikian, AS akan menunda menaikkan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen terhadap barang-barang China senilai USD 200 miliar, yang semula akan diberlakukan mulai 1 Januari 2019. AS juga menandatangani perjanjian NAFTA yang baru, bersama Kanada dan Meksiko. Artinya, AS mengakui kembali skema perdagangan bebas tersebut, sesudah menggelorakan proteksionisme yang sesungguhnya kontra-produktif.
Semua dinamika eksternal tersebut bermuara pada menguatnya rupiah secara signifikan, bahkan yang terkuat di Asia. Rupiah agaknya sedang bergerak menuju ke ekuilibrium baru, yang lebih “normal”. Tempo hari, tatkala mencapai Rp 15.200 per dollar AS, level itu diyakini terlalu rendah (undervalued). Lalu, berapa kurs rupiah seharusnya bertengger?
Tidak mudah menentukan kurs rupiah yang ideal, karena tidak hanya ditentukan oleh faktor fundamental yang bersifat kuantitatif (inflasi, neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, aliran modal masuk, cadangan devisa). Masih ada faktor kualitatif yang berperan, yakni sentimen dan psikologi. Jika iklim politik bisa dijaga dengan baik hingga pemilu 17 April 2019 nanti, maka rupiah pun akan kembali ke level normal, dan sangat boleh jadi berada pada level Rp 13.000-an per dollar AS.
Karena itu, sangat penting bagi para aktor politik untuk ikut serta menjaga ketahanan rupiah kita, agar dapat kembali begerak ke level yang semestinya. Jika rupiah menguat dan stabil, barulah kita bisa memulai pekerjaan berikutnya, yakni melakukan redenominasi─suatu ikhtiar memangkas tiga angka nol pada rupiah kita. Inilah mimpi besar kita tentang rupiah yang belum terwujud, karena terusik taper tantrum, suatu periode di mana perekonomian AS membaik atas biaya yang dibebankan kepada negara-negara “sisa dunia”.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.