Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 15 Oktober 2018
Kita sungguh beruntung bisa menjadi tuan rumah IMF-World Bank Group Annual Meeting 2018 (biasa disebut Annual Meeting atau AM), di Nusa Dua, Bali. Kenapa ? Karena Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia kali ini dilakukan pada saat yang genting bagi perekonomian dunia, yang sedang mengalami perubahan lanskap secara fundamental. Sebagai tuan rumah, Indonesia berhasil “mencuri perhatian” dunia, karena nasib dan masa depan perekonomian dunia didiskusikan secara intensif oleh 189 negara yang melibatkan 36.619 peserta. Inilah rekor peserta terbanyak dalam sejarah Annual Meeting.
Bahwa pertemuan ini menelan biaya Rp 855 miliar (belakangan, Ketua Panitia Luhut Panjaitan, meyakini biayanya bisa ditekan menjadi Rp 500 miliar), memang benar. Namun biaya tersebut segera tertelan oleh hasil yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, para peserta membelanjakan duitnya di Bali dan berbagai kota lain sebagai dampak ikutan. Diperkirakan peserta asing membelanjakan USD 2.500 per orang. Angka ini masuk akal, mengingat wistawan mancanegara yang berada di Indonesia rata-rata mengeluarkan USD 1.100 per orang. Peserta AM yang datang ke Indonesia cenderung high profile, sehingga profil belanjanya melebihi rata-rata.
Sedangkan dampak jangka panjang yang diperoleh ada dua. Pertama, nama Indonesia terekspos di media internasional. Wartawan asing yang datang meliput mencapai 1.100 orang. Indonesia mendapat publisitas “gratis” di media internasional. Ini mirip memasang iklan di televisi dan media cetak global yang bakal berimbas positif bagi industri MICE (meeting, incentive, convention and exhibition) di masa depan. Ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mendorong industri pariwisata yang kini menjadi tren dunia experience economy. Di Asia Tenggara, jumlah wisatawan asing ke Indonesia kini mencapai 15 juta orang setahun atau masih tercecer dibandingkan Malaysia (26 juta orang) dan Thailand (35 juta orang).
Kedua, pemerintah berhasil menggaet investasi asing sedikitnya USD 13,5 miliar (setara Rp 202 triliun), yang berasal dari kesepakatan 19 investor asing dengan 14 BUMN. Angka Rp 202 triliun ini lazimnya memang masih berupa komitmen. Belum tentu semuanya akan direalisasikan (menjadi actual). Namun jika kita asumsikan 60 persen saja yang benar-benar terealisasikan, maka itu berarti Rp 121 triliun investasi akan masuk ke Indonesia.
Dengan kalkulasi sederhana ini saja, kita dengan mudah berani pastikan, bahwa penyelenggaraan AM yang berbiaya katakanlah Rp 855 miliar atau masih di bawah Rp 1 triliun, dengan segera langsung menuai hasil positif. Indonesia beruntung. Memang benar bahwa sayangnya, AM diselenggarakan tatkala Indonesia tengah berduka karena musibah alam di Palu, Donggala dan Lombok. Namun di sisi lain, forum AM juga berhasil menggalang solidaritas multilateral untuk membantu. Bahkan managing director IMF Christine Lagarde dan sejumlah pimpinan IMF pun menyumbang secara pribadi, di luar organisasi.
Trauma terhadap IMF
Kontroversi terhadap penyelenggaraan AM di Bali ini, harus diakui dihinggapi oleh sentimen negatif terhadap IMF, karena IMF pernah dianggap gagal mengentaskan Indonesia dari krisis finansial Asia, 20 tahun silam (waktu itu kita menyebutkan “krisis moneter” 1998). Hal ini tidak kita pungkiri. Beberapa resep IMF untuk melawan krisis ekonomi Indonesia, ternyata tidak manjur, kontraproduktif dan bahkan malah meningkatkan eskalasi krisis.
Resep –resep tersebut tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, upaya menurunkan subsidi BBM untuk menyehatkan APBN, dengan cara menaikkan harga BBM. Ternyata dampaknya negatif, karena secara politik tidak bisa diterima dan menimbulkan kegaduhan. Kedua, menaikkan suku bunga deposito di bank hingga 60-70 persen, agar masyarakat lebih setia “memegang” rupiah daripada valuta asing. Kebijakan ini ternyata menyengsarakan bank-bank, sehingga hampir semua bank bangkrut.
Ketiga, IMF memang memberikan injeksi dana talangan (bailout). Namun dosisnya terlalu kecil, cuma USD 15 miliar yang diberikan bertahap selama 15 bulan. Ini ibarat dokter yang memberikan obat secara benar, Namun dosisnya kurang. Akibatnya pasiennya tidak sembuh. Indonesia harus berjuang cukup lama sebelum akhirnya mulai mengalami recovery. Keempat, IMF mendorong privatisasi BUMN. Kebijakan ini sebenarnya bisa dimengerti, tatkala fiskal kita sakit parah, penjualan saham BUMN menjadi salah satu solusi yang niscaya. Namun privatisasi BUMN yang tergopoh-gopoh telah menimbulkan moral hazard. Karena itu, program ini pun secara politis menuai banyak tentangan.
Berbagai peristiwa tersebut memang membekaskan memori yang kurang baik bagi kita. Namun situasinya kini berbeda. Indonesia bukan lagi “pasien“ IMF dan utang kepada mereka pun sudah dilunasi. Christne Lagarde juga sudah memastikan, bahwa perekonomian Indonesia kini dalam kondisi sehat, sehingga tidak lagi memerlukan kucuran utang dari mereka. Bahwa kurs rupiah mengalami depresiasi 10 persen tahun ini, hal itu memang terjadi. Namun, tambah Christine, semua negara juga mengalami. Bahkan kini yuan China pun mengalami depresiasi. Situasi Indonesia saat ini sangat jauh lebih baik daripada 1998.
Namun akhirnya kritik terhadap penyelenggaraan AM di Bali pun berangsur mereda, seiring dengan bukti bahwa penyelenggaraannya ternyata sukses besar. Di sisi lain, perhatian dan empati terhadap pemulihan Palu, Donggala dan Lombok terus dilakukan. Manajemen krisis di sana pun berangsur membaik.
Penyelenggaraan AM di Bali juga menyedot perhatian dunia, karena hadirnya beberapa figur terpenting dunia dewasa ini. Misalnya, Jerome Powell, Ketua The Fed, orang yang paling bertanggung jawab terhadap tren kenaikan suku bunga di seluruh dunia yang dipicu oleh kenaikan FFR (Fed Fund Rate). Dialah yang mengacak-acak kurs mata uang seluruh dunia melalui kebijakan “normalisasi suku bunga AS”.
Juga kehadiran Jack Ma, pendiri bisnis berbasiskan teknologi Alibaba Group, yang berbagi visinya terhadap masa depan perekonomian dunia yang tengah menapaki era revolusi industri 4.0 yang berbasis teknologi. Jack Ma juga menyatakan dukungannya dan kesediaannya untuk membantu pembangunan manusia (human capital development) yang menjadi prioritas Presiden Jokowi, selain proyek-proyek infrastruktur fisik.
Komitmen Jack Ma ini tentu bukan main-main. Ma barusan datang ke Jakarta pada awal September yang lalu untuk penutupan Asian Games. Dalam tempo singkat, Ma sudah datang lagi ke Indonesia, kali ini di Bali. Di hadapan forum AM, Jack Ma mengungkapkan komitmennya terhadap Indonesia. Ini tentu menjadi sebuah kesempatan besar bagi Indonesia untuk menindaklajutinya. Hubungan pertemanan pribadi yang baik antara Jack Ma dengan Presiden Jokowi juga menjadi kunci bahwa komitmen tersebut bakal direalisasikan. Lagi-lagi Indonesia mendapat manfaat besar dari penyelenggaraan AM ini. Kita percaya pada komitmen Jack Ma, tanpa perlu menagihnya di kemudian hari.
“Winter is Coming”
Puncak acara AM adalah pidato Presiden Jokowi pada Jumat, 12 Oktober 2018. Pidato yang diakhiri dengan standing ovation oleh semua peserta ini, menjadi panggung yang berhasil dioptimalkan dengan baik oleh Presiden Jokowi. Dia berhasil menggalang kesadaran kolektif seluruh dunia, bahwa perekonomian dunia terancam oleh “badai musim dingin”, sebagaimana Evil Winter dalam film seri televisi Game of Thrones, yang kini sudah mencapai delapan musim, dan tahun depan menjadi yang terakhir (final season).
Secara sporadis, kekhawatiran terhadap dampak trade war yang dicanangkan oleh Presiden AS Donald Trump, sudah diwacanakan banyak pihak. Namun bahwa hal itu digaungkan pada sebuah forum internasional yang dihadiri begitu banyak orang dari 189 orang, hal ini menjadi kecerdikan Presiden Jokowi untuk mengoptimalkan panggung yang dia miliki. Akibatnya, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, merasa sudah tidak perlu berpidato lagi, karena pidato Presiden Jokowi sudah sangat bagus dan komprehensif. Metafora yang disampaikannya sudah sangat pas.
Kebetulan di belahan bumi utara (Amerika Serikat, Eropa dan Kanada) sekarang tengah musim gugur (autumn atau fall) dan menjelang datangnya musim dingin (winter) yang selalu beku dan mencekam. Metafora ini persis yang kita alami bersama dalam perekonomian global yang sedang dicekam oleh kombinasi antara kenaikan suku buga The Fed yang bertubi-tubi, serta perang dagang yang melibatkan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia (AS dan China) yang sudah pasti akan menyeret seluruh dunia ke jurang kesengsaraan.
Perang dagang tidak hanya akan melukai perekonomian negara-negara kecil, namun bahkan negara besar yang mestinya menjadi pemenang pun, juga akan menderita. Semuanya menjadi pecundang. Karena itu, solidaritas dan soliditas dari seluruh negara-negara di dunia, sangat diperlukan. Sinyal itulah yang dikirimkan Presiden Jokowi dari Nusa Dua, Bali.
Tentu saja kita masih akan menunggu bagaimana bola ini terus bergulir, menggema di berbagai peristiwa (event) di dunia. Semua pihak harus terus menggelorakan semangat multilateralisme, menjauhi sikap individualisme yang kini ditampakkan oleh Amerika Serikat. Presiden Trum dan AS kini memang tengah menikmati kedigdayaan perekonomian AS. Modal global dari seluruh dunia mengalir deras ke New York. Namun, sampai kapan ? Apakah itu tanpa batas (limitless) ? Pasti tidak. Semua ada ambang batas toleransinya.
Perekonomian AS tidak bisa “ngebut” sendirian, sementara perekonomian sisa dunia (rest of the world) dibiarkan terkapar tak berdaya. Pada gilirannya nanti, ketika permintaan (demand) dunia terhadap produk-produk AS (misalnya senjata militer, dan yang berbasiskan teknologi) menjadi melemah, maka pertumbuhan ekonomi AS yang kini tinggi (2,9 persen) akan tekoreksi juga. Cepat atau lambat, AS pun akan terimbas dampak negatif dari pelemahan ekonomi dunia. Berbagai simulai menunjukkan, bahwa trade war berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dengan 1 persen.
Seperti yang dikatakan Presiden Jokowi, kita semua sudah bisa menebak akhir cerita Game of Thrones pada tahun depan: kebajikan akan menjadi pemenangnya. Sebagai warga dunia, seluruh 189 negara anggota IMF dan Bank Dunia berkewajiban memberi kontribusi apa pun, agar “bunuh diri massal” yang dipicu oleh perang dagang, harus dihindari. Negara terbesar di dunia, AS, harus terus diingatkan. Kalau tidak, kita akan disapu oleh badai musim dingin yang beku dan mencekam.
Akhirnya, selamat untuk Indonesia yang sudah sangat berhasil menyelenggarakan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, menyusul keberhasilan penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games, yang begitu mengagumkan dunia itu. Kita sungguh bangga dan takjub, tanpa bisa berkata-kata lagi…..
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.