Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 26 Maret 2018
Tahun 2018 sejak jauh-jauh hari sudah diantisipasi dan dikarakterisasikan sebagai tahun politik. Karena selain akan terjadi pilkada serentak, juga menjadi tahun penentuan bagi para calon presiden dan wakil presiden, yang nominasinya sudah harus dilakukan pada Agustus 2018 ini. Karena itu, timbullah opini bahwa tahun politik 2018 akan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian. Karena kebetulan momentumnya persis 20 tahun sesudah terjadinya krisis ekonomi 1998, serta 10 tahun sesudah krisis finansial global 2008, maka sebagian orang pun percaya terhadap adanya “siklus krisis ekonomi 10 tahunan”.
Hipotesis seperti itu menjadi seolah-olah “klop” tatkala dalam empat pekan terakhir rupiah mengalami volatilitas─dengan kecenderungan melemah─dari Rp 13.500-an per USD menjadi Rp 12.700-an per USD, bahkan sesekali juga menembus USD 13.800 per USD. Padahal sesungguhnya, hampir semua indikator ekonomi makro kita sedang berada pada kondisi normal, bahkan terus membaik, seperti inflasi, sukubunga, neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, cadangan devisa. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi ? Apakah pelemahan rupiah juga tercampur oleh faktor politik ? Bagaimana kita mesti melawannya ? Amunisi apa yang masih kita punyai ?
Perang Tarif Menyeret Resesi ?
Melemahnya rupiah sejak akhir Februari dan awal Maret 2018, jelas disebabkan oleh faktor eksternal, terutama dinamika besar yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Setelah dalam pidato pertamanya, Ketua The Fed yang baru Jerome Powell, mengindikasikan akan adanya kenaikan sukubunga 3-4 kali tahun ini, akhirnya rencana tersebut benar-benar mulai dieksekusi. Pada 22 Maret 2018, The Fed mulai menaikkan sukubunga acuannya dengan 25 basis poin, menjadi 1,50-1,75 persen.
Hal ini terutama ditopang oleh kinerja perekonomian AS yang memang sedang baik. Pada Februari 2018, data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (U.S nonfarm payrolls) mencatat angka 313.000 orang. Ini merupakan angka yang sangat tinggi, bahkan melebihi prestasi pada era Presiden Barack Obama. Angka penyerapan tenaga kerja juga sangat impresif selama empat bulan sebelumnya: 271.000 orang (Oktober 2017), 216.000 (November), 175.000 (Desember), dan 239.000 (Januari 2018). Semua angka impresif tersebut menyebabkan tingkat pengangguran AS kini sudah hampir 4 peren, yang merupakan level terbaik sejak tahun 2000.
Bermodalkan kinerja inilah maka Jerome Powell sebagai ketua bank sentral AS yang baru, merasa sangat percaya diri untuk meneruskan kebijakan “normalisasi sukubunga AS” menuju ke level yang lebih tepat. Kebijakan suku bunga rendah (easy money policy) yang dilakukan oleh kedua pendahulunya (Ben S Bernanke dan Janet Yellen) merupakan terapi yang harus ditempuh The Fed untuk mengurai krisis finansial yang meledak pada 2008-2009.
Ketika perekonomian AS mulai pulih sejak Mei 2013, maka berangsur-angsur sukubunga perlu kembali dinaikkan. Jerome Powell pun nampaknya merasa saat inilah momentum yang tepat untuk mengembalikan sukubunga AS ke level normal. Sejauh ini belum ada pernyataannya tentang berapakah level sukubunga AS bisa dianggap normal, tapi perkiraan saya di atas 2 persen. Angka ini saya sinkronkan dengan level inflasi di AS yang dianggap normal pada 2 persen. Jadi jika inflasi 2 persen, maka sukubunga normal adalah sedikit di atas itu, katakanlah 2,5 persen. Jadi, jika sekarang suku bunga The Fed pada kisaran 1,50−1,75 persen, maka masih tersisa ruang untuk menaikkan sukubunga acuan AS hingga 3−4 kali lagi.
Kini pertanyaannya, apakah Jerome Powell perlu melakukannya sekaligus tahun ini? Menurut saya tidak perlu. Powell bisa mengaturnya sedemikian rupa, disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, bisa saja tahun ini FFR dinaikkan hanya dua kali, lalu selebihnya bisa dilakukan pada 2019. Karena jika semua kenaikannya dibebankan hanya pada tahun ini, hal ini bisa menimbulkan apresiasi USD yang berlebihan (overshoot). Kurs USD bisa menjadi terlalu kuat (overvaluaed) yang akan berdampak negatif pada neraca perdagangannya, terutama terhadap rival utamanya, China (defisit USD 375 miliar setahun).
Kenaikan sukubunga AS ini serta merta direspons oleh kenaikan kurs USD terhadap hampir seluruh matauang dunia, termasuk Indonesia. Itulah sebabnya rupiah cenderung melemah, sehingga Bank Indonesia (BI) harus berjibaku melawannya dengan melakukan intervensi ke pasar uang dengan melepas sebagian cadangan devisanya. Cadangan devisa yang sebelumnya mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, hampir USD 132 miliar, terpaksa terkoreksi menjadi USD 128 miliar atau bahkan kurang.
Namun dinamika belum berhenti. Selagi kita masih tertegun oleh dinamika sektor finansial ini, tiba-tiba Presiden Donald Trump melaksanakan rencana kebijakannya yang kontroversial: mengenakan pajak terhadap barang-barang impor. Rencana tersebut kini bukan lagi menjadi wacana, namun benar-benar menjadi realita. Seperti sudah terbayangkan sebelumnya, lawan dagang terbesar AS, yakni China, tidak tinggal diam. Mereka pun melawannya dengan menaikkan tarif. Maka perang tarif (trade war) pun tak terelakkan lagi.
Bagaimana dampaknya ? Perang tarif atau proteksionisme merupakan kemunduran besar dalam kazanah perekonomian dunia yang sudah masuk ke era liberalisasi, sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 2015. Masyarakat akan membayar lebih mahal barang-barang impor yang mereka konsumsi sehari-hari. Perekonomian menjadi bergerak ke arah biaya tinggi (high cost economy) yang berujung pada inefisiensi. Era inilah yang diprediksikan oleh ekonom pemenang hadiah Nobel, Paul Krugman (2017), sebagai “Trump akan menyeret perekonomian dunia ke arah resesi”.
Dengan logika tersebut, maka sekonyong-konyong terdapat dua reaksi. Pertama, apresiasi USD yang sebelumnya kencang menjadi tertahan. Kurs USD sedikit terkoreksi. Kedua, pasar melihat prospek perekonomian ke depan menjadi lesu. Karena itu, para investor global pun melepaskan saham-sahamnya di bursa global, terutama di New York Stock Exchange. Dow Jones index pun rontok, hingga penutupan akhir pekan lalu hanya 23.533. Padahal, rekor tertinggi pernah mencapai 26.616, yang terjadi pada 26 Januari 2018.
Akhir Era Sukubunga Rendah
“Peluru” intervensi sudah diluncurkan oleh BI untuk meredam volatilitas rupiah. Kalau ukurannya adalah rupiah tidak sampai menembus batas psikologis Rp 14.000 per USD, maka boleh dibilang jerih payah BI sudah berhasil. Namun jika ukurannya adalah sudah cukup banyak cadangan devisa yang dikeluarkan untuk operasi moneter, maka sesungguhnya BI perlu mengalihkan beban intervensi tersebut ke instrumen lain, yakni sukubunga.
BI memang berhasil menurunkan sukubunga acuan menjadi 4,25 persen. Ini luar biasa dan patut diapresiasi. Meski ada kelemahannya: sejauh ini rezim sukubunga rendah masih sebatas tertrasmisikan ke sukubunga simpanan yang rendah, namun belum secara efektif tertransmisikan ke sukubunga kredit yang rendah. Namun apa pun alasannya, membiasakan masyarakat untuk menabung dengan sukubunga rendah, menjadi hal yang kini lazim.
Duapuluh tahun silam, menjelang krisis 1998, masyarakat terbiasa dengan sukubunga deposito di atas 20 persen. Pada saat krisis 1998, atas rekomendasi IMF, sukubunga deposito dinaikkan ke rekor tertinggi sepanjang masa: 60−70 persen. Tujuannya jelas, agar masyarakat tidak tergoda untuk menukarkan rupiahnya menjadi USD atau valuta asing (valas) lainnya.
Kini situasinya sangat berbeda. Masyarakat sudah terbiasa dengan sukubunga deposito rendah, misalnya 5−6 persen. Namun masalahnya, jika sukubunga tersebut diturunkan lebih lanjut, saya khawatir akan sensitif terhadap migrasi dana dari simpanan berdenominasi rupiah menuju ke denominasi valas. Keputusan BI untuk tetap mempertahankan sukubunga acuan tetap pada 4,25 persen, menurut saya rawan terhadap migrasi dana dan berakibat depresiasi rupiah.
Di AS, rezim sukubunga rendah praktis sudah berakhir sejak pertengahan 2013. Tidak ada alasan lagi bagi The Fed untuk melanjutkan kebijakan easy money. Setahap demi setahap, sukubunga akan dinormalkan kembali, misalnya hingga 2,50 persen. Implikasinya, jika pada periode quantitative easing (2009−2013) kurs USD berada pada posisi lemah, maka USD pun kini berada pada jalur menguat (apresiasi).
Sebaliknya bagi Indonesia, dulu kita menikmati rupiah yang kuat, yang mencapai puncaknya pada level Rp 8.600 per USD pada Juli−Agustus 2011. Situasi tersebut tidak mungkin terulang, karena kondisinya sudah jauh berbeda. Rupiah tidak mungkin kembali ke level itu. Kini yang terjadi adalah, rupiah berada pada jalur pelemahan. Upaya BI menghambatnya dengan melontarkan suplai devisa, meski cukup berhasil, perlu dibantu dengan amunisi lain.
Sudah saatnya kita mengevaluasi, apakah sukubunga acuan 4,25 persen masih sesuai dengan kebutuhan? Saya menduga sudah tidak cocok lagi. Meski juga harus dilakukan secara bertahan (gradualism), sukubunga perlu dinaikkan 25 basis poin. Di kalangan negara-negara emerging market, Malaysia sudah lebih dulu memeloporinya. Bahkan China juga sudah mulai sedikit menaikkan sukubunga acuannya.
Untuk diketahui, Malaysia memang merupakan negara yang paling parah menderita capital outflows setelah masuk periode taper tantrum (koreksi terhadap periode quantitative easing), di mana 30 persen cadangan devisanya merosot. China juga menderita kehilangan cadangan devisa USD 1 triliun, dari posisi puncaknya USD 4 triliun. Namun sekarang cadangan devisa China sudah meningkat lagi dengan USD 200 miliar menjadi USD 4,2 triliun.
Stabilisasi rupiah melalui kombinasi intervensi pasar uang (melepas cadangan devisa) dan menaikkan sukubunga merupakan sebuah keniscayaan. Bahwa BI sudah berhasil menurunkan sukubunga hingga 4,25 persen, itu tidaklah berarti kinerja BI menjadi tercoreng karena mengoreksinya menjadi 4,50 persen. Sebab, kinerja BI tidak hanya ditentukan oleh keberhasilannya menurunkan sukubunga, namun juga bagaimana menjaga stabilitas “dua menara kembar” (twin tower), yakni kurs rupiah dan inflasi. Sukubunga adalah instrumen utama BI untuk menuju ke sasaran utama tersebut, bukan tujuan akhir.
Meski kita tetap yakin bahwa tahun politik 2018−2019 bakal berlangsung aman─sama sekali bukan the year of living dangerously─namun tetap saja stabilitas rupiah adalah hal terpenting dan sangat fundamental dalam perekonomian Indonesia. Kita tidak mau rupiah mengalami déjà vu, atau menjalani periode terkelam dalam sejarah, saat terpuruk pada level Rp 15.000 per USD pada 20 tahun silam. Situasi keduanya sangat berbeda, di mana sekarang jauh lebih baik dan prospektif.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.