Kompas – Analisa Ekonomi, Selasa 30 Januari 2018
Bank Indonesia (BI) secara resmi telah melarang penggunaan bitcoin─secara generik disebut cryptocurrency atau mata uang virtual/digital─sebagai matauang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kementerian Keuangan juga mendukung keputusan ini. Fenomena bitcoin telah menjadi kontroversial, sejak pertama kali diperkenalkan pada 2008 oleh seseorang atau suatu kelompok yang menamakan dirinya Satoshi Nakamoto (diduga samaran).
Sikap tegas BI sama dengan yang dilakukan China. Sedangkan di banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, masih cenderung bingung dan mendua, antara lain dengan alasan “sedang dipelajari”. Mengapa bitcoin tidak bisa kita terima ?
Sebagai sebuah matauang yang akan berlaku universal, bitcoin semestinya memiliki induk atau otoritas, yakni yang kita kenal sebagai bank sentral, seperti The Fed (dollar AS), European Central Bank (euro), Bank of Japan (yen) dan BI (rupiah). Mengapa perlu induk ? Karena persyaratan nomer satu bagi sebuah matauang adalah pentingnya menjaga stabilitas. Tanpa stabilitas, sebuah mata uang tidak kredibel dan dihindari penggunanya. Bank sentral bertugas menggaransi matauangnya agar stabil.
Kenyataannya, nilai bitcoin justru tidak stabil. Volatilitasnya sangat tinggi. Sepanjang 2017, nilai bitcoin meningkat di atas 1.000 persen. Bagi para pemilik dan pendukungnya, tentu saja ini menyenangkan. Mereka sekonyong-konyong kaya raya. Matauang virtual cenderung sangat fluktuatif tak memiliki underlying. Artinya, nilai bitcoin bisa meroket tanpa perubahan fundamental. Semua bisa terjadi begitu saja.
Dalam sistem keuangan sekarang, jika rupiah melemah maka BI dengan sigap mengintervensinya dengan melepas cadangan devisa (kini USD 120 miliar). Sedangkan pada kasus bitcoin, ketika nilainya jatuh, tidak ada otoritas yang berikhtiar menahannya. Karena bitcoin memang tak memiliki otoritas, penanggung jawab dan pengawas.
Akibatnya, pemilik bitcoin akan dirugikan, tanpa bisa protes. Mau protes ke mana ? Ini sangat berbeda dengan sistem bank sentral yang didukung regulasi dan supervisi ketat. Begitu pula perdagangan surat berharga di bursa efek, yang dipayungi oleh otoritas dan regulasi ketat untuk melindungi investor. Masalah kian runyam tatkala bitcoin yang teknologinya canggih ternyata juga bisa diretas. Berita terbaru, Otoritas Sektor Finansial (FSA) Jepang menghukum perusahaan mata uang virtual Coincheck, yang dicuri 58 miliar yen atau setara Rp 7 triliun, melalui online (Reuters.com, 29/1/18).
Ekonom Robert Shiller dari Yale (CNBC, 19/1/18), menyebut bitcoin mirip fenomena “tulip mania” di Belanda, Februari 1637. Tulip mania adalah kenaikan harga tulip gila-gilaan, sehingga setangkai bunganya sampai berharga 10 kali lipat gaji tahunan seorang pekerja. Shiller memprediksikan harga bitcoin pasti akan terkoreksi dan kolaps.
Paul Krugman menyebut bitcoin pada dasarnya adalah “gelembung” finansial, sehingga merupakan skema Ponzi (Business Insider, 15/12/17). Skema Ponzi adalah ketika hanya peserta yang lebih dulu ikut akan menikmati keuntungan, sedangkan peserta berikutnya bakal rugi besar. Bagi Krugman, bitcoin adalah skema Ponzi dengan “penampakan” mutakhir berbasis teknologi tinggi, sehingga nampak canggih dan atraktif.
Ekonom yang pernah meramal tepat krisis finansial global 2008, Nouriel Roubini (Business Insider, 8/11/17), menyebut bitcoin sebagai tindakan spekulatif yang menyebabkan “gelembung” yang amat besar (gigantic speculative bubble). Roubini yakin bitcoin bakal berakhir, negara-negara lain harus segera meniru China untuk melarangnya.
Ganti Kemapanan
Bagi mantan Ketua The Fed Ben S Bernanke, fenomena matauang digital merupakan upaya untuk mengganti kemapanan sistem tradisional di mana pemerintah dan bank sentral mengontrol peredaran uang. Bitcoin juga bersifat amat spekulatif. Ben yakin fenomena ini bakal tidak sukses (Fortune, 16/10/17).
Bagi Joseph Stiglitz, bitcoin tidak dibutuhkan. Itu dikatakannya pada World Economic Forum 2018 di Davos, Swiss (Bloomberg, 24/1/18). Kalau bitcoin dimaksudkan sebagai matauang virtual, bukankah sistem perbankan saat ini juga sudah menggunakannya ? Satu-satunya “kelebihan” bitcoin adalah soal kerahasiaan (secrecy) bagi para penggunanya. Transaksi bitcoin tidak terlacak asal-usulnya.
Tampaknya inilah daya tarik terbesar bagi para pengguna bitcoin, yang tak mau transaksinya terlacak. Perkembangan sektor finansial dalam beberapa tahun terakhir ini telah berubah menjadi kian transparan. Perbankan di Swiss yang dulu dikenal karena jaminan kerahasiaan tinggi, kini berangsur berakhir. Boleh dibilang, kini tiada tempat untuk bersembunyi (no place to hide). Jadi, benar argumentasi bahwa bitcoin rawan transaksi ilegal, seperti perdagangan narkoba, terorisme dan juga korupsi !
Di seluruh dunia, Indonesia termasuk paling cepat merespons isu bitcoin sesudah China, tatkala negara-negara lain justru masih sibuk memperdebatkannya. Ini mengesankan, sebelum jatuh korban besar seperti di Jepang. Saya pun mendukungnya, dan amat mempercayai sederet argumen kokoh yang dibangun para ekonom favorit saya: Shiller-Krugman-Stiglitz-Bernanke-Roubini. *****
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute