Kompas – Analisis Ekonomi, Senin 20 November 2017
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun ini, dan 5,4 persen pada tahun depan. Angka ini mirip dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan 5,2 persen (2017) dan 5,3 persen (2018). IMF melaporkan proyeksinya dalam World Economic Outlook: Seeking Sustainable Growth─Short-Term Recovery, Long-Term Challenges, Washington DC: 10 Oktober 2017.
IMF mencatat, bahwa di seluruh dunia kini terjadi sedikit perbaikan pertumbuhan ekonomi, karena kian meningkatnya kepercayaan produsen dan konsumen. Investasi meningkat, permintaan barang dan jasa oleh konsumen juga beranjak. Indonesia, sebagaimana negara-negara tetangga Asia Tenggara, juga mengalami sedikit kenaikan pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak signifikan.
Namun dengan kinerja pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2017 yang “hanya” 5,06 persen, yang hanya sedikit beranjak dari 5,01 persen pada triwulan pertama dan kedua 2017, saya menduga pertumbuhan ekonomi 2017 akan mencapai 5,1 persen saja atau sedikit meleset dari target pemerintah dan proyeksi IMF 5,2 persen. Pada triwulan IV seperti biasa memang akan ditandai dengan belanja modal pemerintah yang “ngebut”. Namun dengan sembilan bulan pertama hanya tumbuh rata-rata 5,03 persen, rasanya cukup sulit untuk mengakhiri tahun 2017 dengan 5,2 persen.
Perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh meningkatnya investasi dan membaiknya harga komoditas primer (batu bara dan kelapa sawit) yang mendorong kenaikan surplus ekspor. Namun di sisi lain, konsumsi masyarakat yang menyumbang 57 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), masih tertahan di sekitar 5 persen. Andaikan konsumsi bisa diungkit ke atas, maka pertumbuhan ekonomi bisa dihela lebih cepat. Sayang hal tersebut belum terjadi. Masyarakat masih cenderung mengerem konsumsinya, lebih berhati-hati menghadapi cekaman ketidakpastian perekonomian global dan nasional.
Mengapa selama ini para ekonom selalu menyebut angka 6 atau 7 persen sebagai pertumbuhan ekonomi yang ideal ? Bagaimana “angka keramat” ini diperoleh? Jawabannya: angka ini terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk dapat menyerap seluruh angkatan kerja baru. Jika tidak, maka akan terjadi tambahan pengangguran.
Pada saat ini, penduduk Indonesia tercatat 255 juta, atau nomer empat di dunia setelah China (1,388 miliar), India (1,32 miliar) dan Amerika Serikat (326 juta). Indonesia berada di atas Pakistan (209 juta), Brasil (208), Nigeria (188), Bangladesh (163) dan Rusia (146 juta). Indonesia memiliki angkatan kerja (labor force) sebanyak 131 juta atau separuh dari jumlah penduduk. Dari jumlah itu, yang mempunyai pekerjaan 124 juta, berarti terdapat 7 juta orang menganggur. Setiap tahun, angkatan kerja baru yang masuk pasar 3 juta orang. Jadi, Indonesia memerlukan level pertumbuhan ekonomi tertentu agar bisa menyerap angkatan kerja baru 3 juta orang tersebut.
Jika setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyerap maksimal 500.000 orang, maka angkatan kerja yang bisa terserap hanya 2,5 juta orang per tahun. Konsekuensinya, masih ada 500.000 orang lagi yang belum mendapat pekerjaan alias menganggur. Namun kenapa statistik BPS menyebutkan bahwa tambahan penganggur kita hanya 10.000 orang pada 2017 ? Jawabnya adalah: karena banyak angkatan kerja baru kita terpaksa “rela” untuk bekerja di sektor Informal, yang sesungguhnya nilai tambahnya lebih rendah daripada sektor Formal pada umumnya. Jadi, status mereka secara resmi memang “bekerja” (employed), namun dengan kualitas penghasilan rendah. Fenomena ini sering disebut “pengangguran terselubung” (disguised unemployment).
Karena itu, pemerintah memang harus mengejar pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 5 persen) untuk mengenyahkan pengangguran, yakni dengan menghela pertumbuhan ekonomi hingga 6-7 persen. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi kita saat ini masih di bawah Filipina (6,6 persen), Vietnam (6,3 persen), dan Malaysia (5,4 persen), namun di atas Thailand (3,7 persen) dan Singapura (2,5 persen).
Salah satu caranya adalah mendorong pembangunan infrastruktur. Namun data BPS justru menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi tahun ini justru stagnan. Padahal, pemerintah menganggarkan hampir Rp 400 triliun (dari APBN Rp 2.100 triliun) untuk infrastruktur. Berarti patut diduga sektor konstruksi mulai kian banyak menyerap modal dan teknologi sehingga agak berkurang level padat karyanya.
Sektor lain yang juga stagnan adalah sektor pertambangan. Sedangkan sektor pertanian menjadi kian tinggi mekanisasinya, sehingga mengalami penurunan persentase penduduk yang bekerja di situ. Sedangkan yang mengalami kenaikan adalah sektor industri, perdagangan, dan jasa. Jadi ke depan, pemerintah perlu melihat tren ini untuk merencanakan penyerapan tenaga kerja yang berbasis industri, perdagangan dan jasa.
Meski demikian, tidak berarti laju belanja infrastruktur harus dikoreksi. Keputusan pemerintah untuk terus membiayai infrastruktur dengan anggaran Rp 409 triliun pada 2018, harus terus dilanjutkan. Karena proyek-proyek tersebut memang tidaklah semata-mata ditujukan untuk menyerap tenaga kerja dalam jangka pendek. Semua itu diproyeksikan untuk menatap peningkatan efisiensi di masa depan, dengan perspektif lima tahun, 10 tahun, bahkan puluhan tahun ke depan.
Peringkat Indonesia untuk Global Competitiveness Index 2017-208 yang dirilis World Economic Forum, naik dari ke 41 menjadi ke 36. Masih di bawah Thailand (32), Malaysia (23) dan Singapura (3); tapi sudah menyalip India (40), serta di atas Brunei (46), Vietnam (55), Filipina (56), apalagi Brasil (80).
Peningkatan peringkat akan memudahkan kita untuk menarik lebih banyak investasi, dan selanjutnya penyerapan tenaga kerja. Data inilah yang bisa membantu menjelaskan mengapa investasi di Indonesia akhir-akhir ini terus meningkat, begitu pula aliran modal masuk dari luar negeri (capital inflows).
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute.