Kompas – Analisis Ekonomi, Senin 09 Oktober 2017
Dinamika perekonomian global dunia terus membuktikan kian sulit ditebak arahnya, dan hal itu berimbas kuat terhadap rupiah dan perekonomian Indonesia. Setelah cukup lama stabil pada level Rp 13.300 per dollar AS, rupiah tiba-tiba harus terdepresiasi ke Rp 13.500 per dollar AS. Rupiah tidak sendirian, karena hampir semua mata uang lain juga mengalaminya, bahkan dengan depresiasi yang lebih dalam.
Rupiah terimbas sentimen positif di Amerika Serikat. The Fed mulai mengindikasikan untuk melepas kembali sebagian aset surat berharga pemerintah AS yang mereka sedot selama periode quantitative easing (2009-2013), yang jumlahnya banyak, USD 4,5 triliun. Jika ini dilakukan, maka berarti akan terjadi pengurangan jumlah peredaran dollar AS di seluruh dunia. Dana pun mengalir deras ke AS.
Itulah sebabnya indeks harga saham New York terus melaju hingga 22.773 pada akhir pekan lalu. Level ini luar biasa tinggi, karena pada saat Donald Trump memulai pemerintahannya, indeks berada di sekitar 18.500. Selama Trump berkuasa, telah terjadi 60 kali pemecahan rekor indeks harga saham New York ! Ini benar-benar tak terbayangkan, karena sesungguhnya Trump dianggap sebagai presiden yang buruk. Bahwa Trump banyak dibenci, itu fakta. Tapi bahwa indeks saham terus memecahkan rekor, itu juga realitas. Inilah anomali sekaligus “misteri” besar yang sulit dijawab.
Hal kedua adalah rencana Presiden Trump untuk menurunkan tarif pajak (tax cut). Pajak perseorangan dan korporasi bakal dipangkas dari 35 persen ke 20 persen. Implikasinya, hal ini akan menggairahkan konsumsi dan investasi, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi AS (tahun ini 2,4 persen) dan pengangguran (tahun ini 4,3 persen). Namun di sisi lain, berkurangnya penerimaan pajak akan mendera pemerintah AS untuk menambah utang USD 5,8 triliun dalam beberapa tahun ke depan.
Sentimen positif di AS tersebut secara tidak sengaja berbarengan dengan kebijakan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,25 persen. BI memang berusaha menolong perbankan untuk lebih menggiatkan ekspansi kreditnya yang cuma tumbuh 8 persen setahun, Hal ini juga didukung dengan data makro yang lain, yakni inflasi rendah 3,72 persen dan cadangan devisa yang terus meningkat menjadi USD 129,4 miliar. Inilah cadangan devisa terbesar dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Namun sayang, niat baik BI tersebut tidak didukung oleh timing yang tepat. Sentimen positif sejumlah indikator makro ternyata harus tersapu oleh kuatnya sentimen positif di AS. Meski demikian, saya tetap percaya bahwa kurs rupiah saat ini masih belum berada pada posisi ekuilibirum sejatinya. Mengapa ?
Pertama, perekonomian AS sendiri sesungguhnya belum berada pada ekuilibrium yang permanen. Data terbaru (dirilis Jumat 6 Oktober 2017) penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (nonfarm payrolls) justru sangat mengecewakan. Setelah dalam tiga bulan mencatat data yang bagus, yakni penyerapan tenaga kerja baru sebesar 210 ribu orang (Juni), 138 ribu (Juli) dan 169 ribu (Agustus), data bulan September 2017 justru mencatat berkurangnya pekerja (minus) dengan 33 ribu orang. Inilah pertama kalinya kejadian pasar tenaga kerja AS kehilangan lapangan pekerjaan, sejak krisis memuncak pada 2010. Ini bertolak belakang dengan target penyerapan positif 90 ribu orang.
Saya menduga, fenomena ini terjadi karena seiring dengan apresiasi dollar AS sejak Mei 2011, maka koreksi pun bakal terjadi juga suatu saat, baik cepat maupun lambat. Dollar AS yang terus menguat tidak sehat bagi daya saing produk-produk AS. Hal ini akan buruk bagi kampanye Trump untuk mengurangi defisit perdagangannya, terutama terhadap China. Koreksi juga bakal rawan terjadi pada indeks harga saham AS yang kini sudah terlalu tinggi, yang belum tentu merefleksikan kondisi fundamental.
Kedua, Indonesia sebenarnya sedang menorehkan catatan bagus dalam hal indeks daya saing. Dalam rilis Global Competitiveness Report 2017 versi World Economic Forum, peringkat daya saing Indonesia melonjak dari peringkat ke-41 menjadi ke-36. Ini pernilaian yang obyektif dan wajar, mengingat dalam tiga tahun terakhir ini Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam pembangunan infrastruktur yang amat menentukan derejat daya saing.
Dalam hal pembangunan jalan tol Trans-Jawa misalnya, pemerintahan yang sekarang memulainya dari 171 km (2014), namun kini sudah 368 km (September 2017), dan diproyeksikan 560 km (2017) dan 745 km (Desember 2018). Pada saat itu pulau Jawa akan tersambung oleh jalan tol, sehingga biaya logistik pun terpangkas. Ini mengesankan dan mestinya berdampak positif bagi sentimen investasi. Rupiah pun tidak sepantasnya melemah.
Namun, akan selalu saja ada “pekerjaan rumah” yang tercecer. Daya saing juga masih harus ditentukan oleh parameter lain. Pemerintahan Presiden Jokowi memang sudah merilis 16 paket deregulasi sektor riil, namun masih perlu dikawal baik-baik implementasinya. Sejauh ini, baru deregulasi di sektor pariwisata yang mampu melejitkan jumlah turis asing berkunjung ke Indonesia.
Selanjutnya, pemerintah juga masih mengidap masalah fiskal, terutama dalam hal penerimaan pajak. Sesudah keberhasilan amnesti pajak, pemerintah memang giat memungut pajak di segala penjuru dan aspek. Di satu pihak, inisiatif ini merupakan hal yang baik. Namun ketika pemungutan pajak tersebut dilakukan terlalu agresif, justru bisa kontraproduktif: membuat lesu para konsumen dan produsen. Dalam kasus AS, pemerintahnya justru sedang berupaya “menurunkan tensi pemungutan pajak” agar memberi ruang gerak orang untuk berbelanja, yang menciptakan multiplier effect.
Karena itu, Direktorat Jenderal Pajak perlu menyusun dosis yang paling pas, yakni penarikan pajak seperti apakah yang tidak sampai mengusik gairah orang untuk berbelanja. Formula inilah yang harus ditemukan segera.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Faculty Member BI Instutute.