Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 20 Agustus 2018
Presiden Joko Widodo menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 dengan skenario yang diupayakan serealistis mungkin. Pemerintah memang tidak mungkin bisa mengelak, bahwa perekonomian Indonesia masih berada dalam tekanan besar dari berbagai penjuru. Masalah kita tidak sekadar terancam kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat, namun masih ada berbagai faktor lain yang ikut mengganggu, yakni kenaikan harga minyak dunia, perang dagang, seta belakangan ini krisis ekonomi Turki. Semua faktor itu telah secara simultan menekan hampir semua mata uang dunia, termasuk rupiah.
Di tengah gelombang tekanan itu, pemerintah harus menyusun anggaran secara realistis agar kredibel. Pada awal Presiden Jokowi menjalankan tugasnya, harus diakui muncul berbagai proyeksi dan asumsi yang “terlalu ideal”, sehingga sulit direalisasikan. Meski awalnya memberi kesan bahwa kabinet Jokowi ingin bekerja keras dengan menetapkan target-target yang tinggi, namun hal itu sebenarnya percuma. Kenapa ? Karena pasar justru menilainya sebagai tidak kredibel. Jika semakin banyak target tidak tercapai, menjadi sekadar wishful thinking, maka kebijakan fiskal itu pun menjadi tidak kredibel.
Kini situasinya berbeda. Pemerintah pasti sudah belajar banyak dari peristiwa itu. Maka RAPBN 2019 pun kini disusun berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi makro yang lebih realistis, bisa tercapai (achievable), sehingga kredibel di mata pasar, dan yang tak kalah penting: memperhatikan keberlanjutannya (sustainable).
Pertumbuhan Ekonomi dan Kurs Rupiah
Proyeksi yang paling menarik adalah variabel pertumbuhan ekonomi dan kurs rupiah. Pertumbuhan ekonomi 2019 dicanangkan 5,3 persen. Tumben, kali ini pemerintah tidak mencoba memproyeksikan angka yang “fantastis” untuk ukuran sekarang, misalnya di atas 5 persen. Tahun lalu, pemerintah masih mencoba membuat range pertumbuhan yang tinggi untuk 2018, sebelum kemudian mulai realistis bahwa modal terbesar untuk mencapainya tidak kita miliki. Modal terpenting itu adalah gairah konsumsi. Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan konsumsi rumah tangga (household consumption) hanya berkutat pada level 5 persen, dan masih sulit mengungkitnya.
Kita seperti terkena jebakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5 persen, karena berbegai kendala. Saya menilai situasi ini terjadi karena masyarakat nampaknya mulai memasang strategi defensif terhadap krisis. Ketika mereka menilai perekonomian nasional dan global mengalami tekanan (under pressured), maka sikap terbaik adalah cenderung konservatif dalam merealisasikan rencana konsumsinya. Dengan kata lain, mereka memilih menunda konsumsinya dan melakukan konsumsi “seadanya”. Kelak jika perekonomian membaik, rencana konsumsi tersebut bisa dieksekusi. Tidak harus melakukannya sekarang.
“Teori” lain tentang lambatnya konsumsi ini mengacu pada fenomena inovasi yang bersifat disruptif. Perekonomian global sedang dilanda arus besar inovasi-inovasi dalam berbisnis, yang sifatnya disruptif atau mengganggu kemapanan pemain lama. Pemain baru yang inovatif ini bercirikan lebih sigap, cepat delivery-nya, sehingga efisien. Kehadiran pemain-pemain bisnis baru ini (perusahaan start up) mengganggu pemain-pemain lama, sehingga terjadi proses transisi. Pada saat itulah konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan, karena belum tancap gas secara “pol” (100 persen).
Dalam situasi seperti inilah, sulit diharapkan terjadinya lompatan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, bila tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai antara 5,1 persen hingga 5,2 persen, maka tahun depan diproyeksikan hanya bertambah sedikit, menjadi 5,3-5,4 persen. Entah mengapa, pemerintah memilih 5,3 persen ketimbang 5,4 persen. Mungkin ingin “aman” saja. Tapi sebenarnya mencanangkan 5,4 persen pun sebenarnya sah saja, dan itu masih dalam koridor rasional.
Sedangkan asumsi kurs Rp 14.400 per dollar AS, padahal saat ini kurs Rp 14.600 per dollar AS, bisa diperdebatkan. Saya merasa asumsi pemerintah sudah benar dan rasional. Mengapa? Jika pemerintah mengikuti kurs saat ini Rp 14.600 per dollar AS, itu dapat menimbulkan sangkaan bahwa pemerintah sudah puas dengan kinerja Bank Indonesia dan rupiah saat ini. Berarti, tanpa melakukan upaya keras pun, rupiah sudah berada pada keseimbangan yang sudah ditetapkan, pada Rp 14.600. Seolah-olah pemerintah sudah tidak punya ambisi dan niat untuk bekerja keras lagi untuk memperbaiki kurs rupiah.
Sikap ini tidak benar. Pemerintah harus punya visi dan pendirian: sebenarnya, berapakan level ideal rupiah ? Saya sendiri menilai kurs rupiah Rp 14.600 masih mengandung bias, yakni “tertarik” ke bawah (melemah) karena dipicu oleh krisis ekonomi Turki. Padahal menurut saya, ini tidak benar. Silakan Turki mengalami krisis, namun sesungguhnya dampaknya tidak perlu terlalu heboh (“lebay”) seperti sekarang.
Turki adalah negara yang PDB-nya tidak terlalu besar, hanya USD 900 miliar, lebih rendah daripada Indonesia yang PDB-nya USD 1 triliun. Turki juga bukan Yunani, negara tetangganya yang menjadi anggota zona euro, sehingga mata uangnya euro. Jika Yunani bangkrut, dampaknya bisa menular (contagion effect) ke negara-negara euro yang lain, termasuk Jerman, Perancis, Belanda. Namun Turki adalah negara yang “berdiri sendiri”, stand alone, yang mata uangnya lira, bukan euro.
Karena itu, krisis Turki sebenarnya bisa diisolasi, tidak seperti Yunani yang bisa segera mentransmisikan krisisnya ke negara-negara lain di Eropa. Tapi, kenapa krisis Turki membuat heboh ? Saya duga karena saat ini negara-negara di seluruh dunia sedang tercekam dan tertekan berbagai masalah (kenaikan suku bunga AS, harga minyak dunia, dan perang dagang), sehingga kasus Turki menjadi sensitif bagi negara-negara lain.
Saya masih percaya bahwa di kemudian hari pasar akan lebih rasional dan tenang dalam menyikapi krisis Turki. Tidak perlu direspons secara berlebihan, karena kasus Turki berbeda dengan kasus Yunani. Mestinya lebih bisa agak diisolasi.
Meski demikian, saya juga kekurangan “amunisi” atau argumentasi untuk membuat asumsi rupiah pada 2018 bisa Rp 14.000 atau lebih kuat, di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Karena pada level itu, bisa jadi rupiah justru sudah kemahalan (overvalued), sehingga menjadi tidak realistis. Karena itu, saya bisa menerima keputusan Menteri Keuangan untuk menetapkan asumsi Rp 14.400 per dollar AS untuk 2019.
Defisit Anggaran Rendah
Proyeksi pemerintah yang mematok defisit anggarannya “hanya” 1,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (nominalnya Rp 297,2 triliun) merupakan hal yang menarik. Inilah defisit terendah (dalam hal persentase, yakni rasio terhadap PDB) dalam waktu yang cukup panjang. Biasanya defisit anggaran “disetel” untuk realisasinya sekitar 2,5 persen terhadap PDB. Sedangkan batas aman adalah 3 persen terhadap PDB. Indonesia belum pernah melanggar batas ini. Sebagai ilustrasi, Amerika Serikat “berani” menetapkan defisit APBN-nya hingga 4,6 persen; Brasil pernah defisit 10 persen; sedangkan rekor terburuk dipegang Yunani dengan defisit 17 persen terhadap PDB.
Di satu pihak, defisit yang relatif rendah tersebut (di bawah 2 persen terhadap PDB) sebenarnya seperti melewatkan kesempatan untuk memperkuat stimulus fiskal, karena masih ada ruang lebih yang mestinya bisa dimanfaatkan. Namun kemudian saya bisa mengerti bahwa Menkeu Sri Mulyani Indrawati perlu “menginjak rem” dalam menambah utang” tatkala data menunjukkan bahwa tahun depan pemerintah harus membayar utang Rp 400 triliun.
Pembayaran utang yang cukup besar ini sempat memicu polemik. Beberapa pihak kembali mempertanyakan besaran utang pemerintah Indonesia. Padahal data menunjukkan, meski utang pemerintah terus naik, namun seiring dengan kenaikan PDB kita, maka secara relatif jumlah seluruh utang pemerintah masih bisa ditahan 30 persen terhadap PDB. Ini masih jauh di bawah batas aman sesuai konsensus internasional, yakni 60 persen terhadap PDB. Seperti diketahui, PDB kita saat ini sekitar Rp 14.000 triliun.
Meski demikian, pemerintah memang tetap perlu mewaspadai utang pemerintah (dalam bentuk valas dan rupiah) dan utang luar negeri keseluruhan (pemerintah dan swasta). Fenomena depresiasi rupiah dalam tujuh bulan terakhir harus direspons dengan kehati-hatian terhadap manajemen utang. Pelemahan rupiah memberi indikasi ada yang salah dalam komposisi cadangan devisa kita (banyak devisa masuk portofolio jangka pendek serta struktur ekspor kita (kurang diversifikasi ke arah produk-produk manufaktur). Meski pemerintah sudah berusaha memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit), namun hal itu baru akan membaik dalam jangka menengah dan panjang. Hampir tak ada solusi sekejap berjangka pendek (quick fix).
Karena itu, sikap terbaik saat ini adalah mengedepankan konservatisme. Pemerintah perlu menurunkan sedikit “tensi” mengejar ketertinggalan infrastruktur. Itu masih belum tercermin dari anggaran infrastruktur yang masih naik dari Rp 410 triliun (2018) menjadi Rp 420 triliun (2019). Belanja yang berekspansi dari Rp 2.200 triliun (2018) menjadi Rp 2.439 triliun (2019) juga masih termasuk “menantang”, alias memberi pesan tetap ekspansif.
Memang tidak mudah menyusun RAPBN 2019. Ada komplikasi yang harus diatasi. Di satu pihak, RAPBN seyogianya harus mengandung spirit ekspansi. Namun di sisi lain, juga harus realistis dan “menginjak rem”, karena berbagai tekanan yang telah dan (masih) akan menerpa perekonomian kita di kemudian hari.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.