Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 7 Agustus 2018
Ada perkembangan baru dalam kebijakan menaikkan suku bunga di Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump secara terbuka menyatakan ketidaksenangannya terhadap agresivitas The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Trump mengritik bahwa kenaikan suku bunga bertubi-tubi hanya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi AS. Namun dirinya menyadari, bahwa dia tidak bisa mengintervensi bank sentral, karena The Fed dijamin independensinya. The Fed juga merespons bahwa mereka independen dalam menentukan suku bunga (BBC News, 19/7).
Lebih jauh Trump menyatakan, bahwa kenaikan suku bunga malah tidak menguntungkan, karena pada yang saat yang sama Eropa dan Jepang masih mempertahankan rezim suku bunga rendah. Trump juga mengeluh bahwa China dengan sengaja membuat mata uangnya, yuan, melemah. Padahal tahun lalu China menikmati surplus raksasa USD 375 miliar terhadap AS, yang memicu Trump menggelorakan perang dagang (CNN Money, 19/7).
Perbedaan pendapat antara Presiden Trump dengan Ketua The Fed Jerome Powell ini menjadi menarik, karena sebelumnya Trump menginginkan suku bunga AS dinaikkan. Suku bunga rendah yang sudah diberlakukan selama tujuh tahun pada era Kepala The Fed Ben S Bernanke dan Janet Yellen, dianggap tidak adil bagi para penabung (deposan). Terlebih lagi bagi mereka yang mengandalkan pendapatannya dari tabungan di bank. Kelompok ini amat menderita, dan Trump ingin membelanya.
Logika ini semakin menemukan relevansinya tatkala inflasi di AS sekarang mencapai 2,9 persen, atau melebihi target “sekitar 2 persen”, padahal suku bunga acuan hanya 2 persen. Suku bunga ideal saat ini mestinya di atas laju inflasi, karena itu mestinya sekitar 3,25 persen hingga 3,50 persen. Karena itu, logis pula jika The Fed menginginkan kenaikan suku bunga dua kali lagi pada tahun ini, dan tiga kali lagi tahun depan. Dengan asumsi naik lima kali lagi, maka suku bunga acuan (Fed fund rate) akan mencapai 3,25 persen. Level ini cukup untuk “mengompensasi” inflasi 2,9 persen.
Namun masalahnya, setiap kali suku bunga dinaikkan, pasar global meresponsnya dengan kenaikan kurs dollar AS. Implikasinya, harga barang-barang AS menjadi kian mahal. Upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan AS yang mencapai USD 462 miliar pun menjadi kian sulit. AS menderita defisit terbesar di dunia, jauh melampaui peringkat kedua Inggris yang “hanya” defisit USD 91 miliar. Sementara itu, pemilik surplus terbesar di dunia adalah Uni Eropa USD 387 miliar dan China USD 162 miliar.
Bisa jadi situasi dilematis inilah yang ikut mendorong The Fed untuk menahan suku bunga acuannya tetap di kisaran 1,75-2,00 persen pada rapat terakhirnya (Federal Open Market Committee), pada 1 Agustus 2018. Meski demikian, pasar tetap menaruh ekspektasi suku bunga akan dinaikkan ke kisaran 2,00-2,25 persen pada September 2018. Berarti, ancaman penguatan kurs dollar AS masih akan berlanjut. Skenario ini hanya bisa diredam jika tiba-tiba inflasi di AS bisa diturunkan cepat ke level “sekitar 2 persen”. Namun, bisakah itu segera terjadi? Sulit untuk memastikannya.
Dengan latar belakang semacam itu, maka kita harus mulai mengubah cara berpikir kita. Rupiah sudah tidak bisa diharapkan untuk kembali ke level sebelumnya, misalnya di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Meski kurs rupiah saat ini menyerupai kurs Rp 15.000-17.000 per dollar AS pada saat krisis parah 20 tahun silam (1998), namun keduanya berbeda situasinya. Kurs saat ini Rp 14.400 per dollar AS merupakan depresiasi dari posisi sebelumnya Rp 13.700 per dollar AS. Sedangkan kurs Rp 15.000 per dollar AS pada 1998 adalah hasil depresiasi yang sangat tajam daripada posisi sebelumnya Rp 2.300 per dollar AS pada 1997.
Karena itu, secara metodologis sangat keliru (methodologically incorrect) jika orang membandingkan keduanya. Belum lagi indikator lainnya: inflasi 3,18 persen (2018) versus 78 persen (1998); pertumbuhan ekonomi 5 persen (2018) versus minus 13,7 persen (1998). Kondisi industri perbankan juga sangat berbeda. Hampir semua bank merugi dan kolaps pada 1998, dengan modal negatif. Kini bank-bank justru mengalami rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) yang bahkan melampaui 20 persen untuk bank-bank besar.
Meski demikian, banyak penyesuaian yang harus dilakukan untuk memproteksi rupiah. Dari sisi suku bunga, dengan inflasi saat ini hanya 3,18 persen, sebenarnya suku bunga acuan saat ini sudah cukup (5,25 persen). Namun masalahnya tekanan kenaikan suku bunga di AS masih akan terjadi. Namun tampaknya BI masih bisa menahannya dulu hingga menunggu rapat The Fed berikutnya, pada 25-26 September.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengerem pengeluaran devisa dalam jumlah besar. Masalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) merupakan faktor internal yang besar pengaruhnya terhadap pelemahan rupiah. Karena itu, ide Presiden Jokowi untuk menunda sebagian proyek infrastrukturnya perlu disambut baik.
Pemerintah tahun ini menganggarkan Rp 410 triliun untuk membangun infrastruktur. Di satu pihak, ini merupakan dorongan besar (big push) yang menggairahkan perekonomian, sebagaimana disarankan teori pertumbuhan Ragnar Nurkse (1907-1959). Namun di sisi lain, ternyata pembangunan infrastruktur juga diikuti dengan pembelanjaan dalam valuta asing, yang berkontribusi pada melebarnya defisit transaksi berjalan dan berkurangnya cadangan devisa.
Penjadwalan kembali proyek-proyek infrastruktur merupakan sebuah keniscayaan. Di Malaysia, Perdana Menteri baru Mahathir Mohamad secara berani membatalkan proyek kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura, yang secara kalkulasi ekonomi sebenarnya layak. Proyek tersebut dibatalkan karena rasio utang pemerintah Malaysia sudah melampaui ambang batas aman 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Di Indonesia, sekalipun rasio utang kita masih aman dan jauh lebih baik daripada Malaysia, namun kita punya masalah lain. Persoalan kita adalah rupiah yang sensitif melemah, karena modal global yang berada di Indonesia (dalam portofolio jangka pendek) juga sensitif untuk kabur ke luar negeri.
Akhirnya, strategi jangka panjang kita sudah benar, yakni membangun infrastruktur besar-besaran. Namun tatkala di tengah jalan timbul kendala, maka kita perlu penyesuaian dalam menentukan taktik jangka pendek. Ibarat mengendarai mobil, kita tidak harus selalu menekan pedal gas. Ada kalanya juga perlu menginjak pedal rem ketika melewati kelokan yang tajam, terjal dan berbatu-batu.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.