Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 17 Juli 2018
Pemerintah memutuskan untuk tidak mengoreksi APBN 2018, sekalipun angka-angkanya tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Hal yang paling mencolok adalah soal harga minyak. Pemerintah memroyeksikan harga minyak USD 48 per barrel pada 2018. Namun kenyataannya harga minyak kini berkisar antara USD 71 per barrel (jenis WTI) hingga USD 75 per barrel (jenis Brent). Perbedaan yang cukup besar inilah yang menimbulkan dilema fiskal.
Tingginya harga minyak merepotkan perekonomian Indonesia, karena kita adalah pengimpor minyak neto. Masalah menjadi kian pelik ketika pada periode Januari-April 2018 produksi minyak kita rata-rata hanya 742.000 barrel per hari, atau masih jauh di bawah ekspektasi, karena lifting minyak dalam APBN biasanya dipatok 800.000 barrel per hari. Jadi, APBN 2018 dihimpit oleh dua persoalan minyak: dari sisi harga dan volume produksi sama-sama tidak memenuhi target.
Situasi ini menimbulkan dilema fiskal bagi pemerintah. Di satu pihak, jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, maka akan timbul potensi kenaikan inflasi (inflationary), yang akan menurunkan daya beli. Sebenarnya laju inflasi kita sekarang 3,21 persen (year on year, Juni 2018) masih cukup rendah dan bisa “mengakomodasikan” kenaikan harga BBM. Namun, ketika hasrat mengkonsumsi masyarakat yang masih kurang bergairah, sehingga pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih sulit dihela di atas 5 persen, maka kenaikan harga BBM bersubsidi bukan menjadi pilihan yang logis.
Dilematis
Bagi Indonesia, sebagaimana harga pangan (terutama beras), minyak sudah menjadi komoditas politik (political commodity) yang fluktuasi harganya bisa berpengaruh terhadap iklim politik. Dua puluh tahun silam (1998), kenaikan harga minyak juga ikut berkontribusi pada terjadinya krisis ekonomi yang mendalam. Karena itu, dalam menyongsong tahun politik 2019, amat bisa dimengerti jika pemerintah bersikap berhati-hati dalam mengelola harga minyak agar tidak memantik masalah dalam peta politik. Karena itu, kenaikan harga BBM bersubsidi pun tidak direkomendasikan.
Namun keputusan ini tentu saja menimbulkan komplikasi. Ketika harga BBM tidak naik, maka beban APBN menjadi lebih berat karena ada tambahan subsidi. Risikonya, kredibilitas dan keberlanjutan fiskal bakal sedikit-banyak terganggu. Hal ini menimbulkan persepsi yang kurang baik bagi investor dan para pelaku ekonomi di pasar. Selanjutnya, ini berkontribusi pada depresiasi rupiah.
Dengan analisis tersebut, maka pelemahan rupiah hingga Rp 14.400 per dollar AS, dan kini membaik ke Rp 14.350 per dollar AS, pada dasarnya dihimpit oleh tiga masalah. Selain soal minyak, ada dua persoalan besar. Pertama, kenaikan suku bunga di AS telah menyebabkan penyerapan banyak likuiditas dari seluruh dunia ke AS. Indonesia pun terkena, sebagaimana ditunjukkaan data cadangan devisa dari USD 132 miliar (Januari) menjadi USD 120 miliar (Juni).
Kedua, perang dagang yang dikobarkan AS terhadap negara-negara mitra dagangnya, terutama China. Sasaran perang dagang AS sebenarnya adalah mitra dagang terpentingnya: China (AS menderita defisit USD 375 miliar), Meksiko (USD 71 miliar), Jepang (USD 69 miliar), Jerman (USD 65 miliar), dan Kanada (USD 18 miliar).
Indonesia sebenarnya “hanya” surplus USD 13 miliar saja terhadap AS, atau di bawah negara-negara Asia lainnya: Vietnam (USD 32 miliar), Korea Selatan (USD 28 milar), Malaysia (USD 25 miliar), India (USD 24 miliar), Thailand (USD 19 miliar) dan Taiwan (USD 13 miliar). Meski demikian, tetap saja AS mengevaluasi kelayakan Indonesia untuk mendapatkan fasilitas pengurangan pajak melalui skema GSP (generalized system of preferences).
Masalah menjadi kian sulit tatkala pada tahun lalu kita hanya surplus perdagangan USD 12 miliar. Sedangkan pada tahun ini justru terjadi defisit USD 2,83 miliar (Januari-Mei). Implikasinya, pos perdagangan internasional tidak bisa menyumbang cadangan devisa, yang berarti ikut andil mengurangi “daya saing” kurs rupiah. Jika AS menghapus fasilitas GSP kita, maka defisit pun kian melebar.
Konfigurasi persoalan tersebut memaksa pemerintah lebih bersikap konservatif dalam mengelola fiskalnya. RAPBN 2019 yang saat ini sedang disusun sudah mulai mengakomodasikan berbagai isu tersebut. Belanja kementerian dan lembaga pemerintah tahun depan ditetapkan Rp 838,6 triliun, atau berkurang Rp 8,8 triliun dibandingkan tahun ini. Berarti akan terjadi pelemahan stimulus fiskal.
Sebenarnya pemerintah masih punya ruang fiskal untuk bergerak. Defisit APBN 2018 misalnya, ditetapkan hanya 2,19 persen terhadap PDB. Inilah persentase defisit kita yang paling rendah dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya kita mengalami defisit 2,5 persen dari batas maksimal yang dianggap aman 3 persen.
Situasi saat ini memang dilematis. Ketika rupiah tertekan, maka sektor moneter tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan suku bunga. Dampaknya, pertumbuhan kredit perbankan cenderung melambat dan sulit dihela di atas 10 persen. Sebagai kompensasinya, sektor fiskal harus direlaksasi. belanja pemerintah harus lebih ekspansif. Namun, “modal” untuk melakukannya cukup terbatas.
Karena itu, pilihan konservatif pemerintah dalam mengelola fiskal menjadi tak terhindarkan. Meski demikian, dinamika perekonomian global masih berlanjut, dan kita masih boleh sedikit menyisakan asa. Misalnya, Presiden Trump masih terus mendesak negara-negara eksportir minyak (OPEC) menaikkan produksinya, agar harganya turun. Kemudian, jika ternyata perang global malah berdampak negatif bagi AS (karena perlawanan sengit China dan negara-negara lain), bisa saja Trump berubah pikiran.
Soal suku bunga, siapa tahu The Fed tidak perlu menaikkannya lagi secara terburu-buru tahun ini. Bukankah perekonomian AS sedang bagus? Kenaikan suku bunga hanya mendorong apresiasi dollar AS secara berlebihan, yang kian menyulitkan daya saing produk-produknya. Ini malah kontraproduktif. Ingat, bahwa di dunia ini kini hampir tak ada hal yang tak mungkin, nothing is impossible. Kita pun harus senantiasa siap untuk terkejut-kejut…
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.