Gatra – Kolom Ekonomi, Kamis 31 Mei 2018
Mungkin Perry Warjiyo─sarjana akuntansi dari Fakultas Ekonomika UGM (1982) yang kemudian meraih doktor ekonomi dari Iowa State University di Ames, Amerika Serikat (1991) ─tidak pernah membayangkan bahwa dirinya suatu saat bakal menjadi Gubernur Bank Indonesia. Lebih tidak membayangkan lagi adalah bahwa pada saat dilantik, rupiah sedang terkena “badai”, yang waktunya persis 20 tahun sesudah perekonomian Indonesia terjerembab krisis besar pada 1998.
“Badai” itu terjadi menyusul berakhirnya “masa prihatin” perekonomian Amerika Serikat dari keterpurukan akibat krisis finansial global 2008, yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Krisis yang juga dikenal sebagai krisis subprime motgage, karena pemicunya adalah runtuhnya kredit perumahan di AS yang diderivasikan di pasar modal, dengan “gagah berani” dihadapi oleh kombinasi antara suku bunga rendah (hingga serendah 0,25 persen), pencetakan uang atau quantitative easing (hingga USD 4,5 triliun), dan anggaran pemerintah defisit (hingga utang pemerintah Federal melampaui Produk Domestik Bruto). Penggagasnya adalah Kepala The Fed (bank sentral) Ben S. Bernanke, yang dilanjutkan oleh Janet Yellen.
Badai krisis di AS mereda sejak Mei-Juni 2013 dan akibatnya likuiditas yang dicetak oleh The Fed dan menyebar masif ke seluruh dunia pun (terutama ke emerging markets, termasuk Indonesia), mendadak sontak mulai mengalir kembali ke “ibukota finansial dunia” New York. Selanjutnya, mata uang negara-negara di seluruh dunia pun mulai memasuki periode kelam, yakni terdepresiasi terhadap dollar AS. Periode ekonomi sesudah pertengahan 2013 ini disebut taper tantrum.
Cadangan devisa Indonesia yang pernah mencapai rekor tertinggi USD 124,7 miliar pada Agustus 2011, langsung anjlok menjadi USD 92,67 miliar pada Juli 2013. Pada saat inilah Bank Indonesia memiliki Gubernur Bank Indonesia yang baru pada saat itu, Agus Martowardojo. Secara pelan tapi pasti, cadangan devisa Indonesia kembali bisa dipupuk melalui masuknya likuiditas masuk dari luar negeri (capital inflow). Cadangan devisa kian mendapat tambahan energi ketika pemerintah menjalankan kebijakan amnesti pajak, yang mendorong masuknya dana repatriasi sebesar USD 12 miliar.
Pada akhir 2017, cadangan devisa mencatat rekor USD 130 miliar. Pemecahan rekor kembali terjadi pada level nyaris USD 132 miliar pada Februari 2018. Namun sayang, sesudah itu, lalu lintas devisa global menjadi kalut. Adalah Ketua The Fed yang baru pilihan Presiden AS Donald Trump, yakni Jerome Powell yang seorang sarjana hukum, memastikan bahwa tahun ini The Fed bakal menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate) hingga 3-4 kali. Maka, pasar keuangan global pun bergetar. Para investor global pun bergegas untuk segera memindah aset-aset keuangannya menjadi berdenominasi dollar AS.
Indonesia tidak bisa menghindar kekalutan ini. Rupiah pun terpental hingga Rp 14.200 per dollar AS. Sayangnya, Bank Indonesia bersikukuh hanya melawan arus apresiasi dollar AS ini hanya dengan bersenjatakan intervensi memasok likuiditas dollar AS untuk mengatasi permintaan dollar AS yang melonjak. Tidak ada data resmi berapa BI harus bleeding pada situasi ini. Tapi faktanya, cadangan devisa merosot menjadi USD 124 miliar. Padahal pada periode ini cadangan devisa juga mendapatkan tambahan devisa masuk USD 3 miliar dari penerbitan green bonds oleh pemerintah. Jadi, dari konfigurasi ini, diperkirakan telah terjadi penarikan cadangan devisa setidaknya USD 11 miliar hanya dalam waktu 1-2 bulan. Angka ini hampir sama dengan dana masuk yang berasal dari repatriasi yang kita perjuangkan selama hampir setahun.
Meskipun akhirnya BI menaikkan suku bunga acuan (7 days reverse repo rate) dari 4,25 persen menjadi 4,50 persen, namun itu tampaknya tidak cukup. Rupiah tetap melemah hingga Rp 14.200 per dollar AS. Saat Perry Warjiyo dilantik menjadi Gubernur BI yang baru, rupiah sempat menguat menjadi Rp 14.125 per dollar AS. Bahkan pernah sebentar mencapai Rp 13.992 per dollar AS, namun kembali lagi ke Rp 14.065 (28/5).
Meski belum bisa membuat rupiah permanen di bawah Rp 14.000 per dollar AS, namun tampaknya pasar menyambut positif Gubernur BI yang baru. Terlebih Gubernur BI Perry Warjiyo langsung memutuskan untuk mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) khusus, yang jadwalkan dimajukan ke 30 Mei 2018. Semua orang tahu, pasti ada kebutuhan yang mendesak sampai harus dilakukan RDG spesial. Kebutuhan mendesak tersebut tentunya adalah kenaikan suku bunga acuan.
Di satu pihak, RDG khusus tersebut sebenarnya berpotensi untuk diinterpretasikan secara negatif oleh pasar, yakni dianggap sebagai sikap panik BI. Namun di sisi lain, kenaikan suku bunga sebelumnya yang hanya 25 basis poin (bps) sebenarnya mengandung “subject to”. Artinya jika tidak cukup besar, maka BI masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga. Soal waktunya, bisa kapan saja, tidak harus mengikuti jadwal regular RDG.
Gubernur BI Perry Warjiyo tampaknya ingin menunjukkan bahwa dirinya cukup sigap dan berani cepat mengambil keputusan (decisive). Sebagai ahli moneter, dia paham benar apa yang diperlukan rupiah agar kembali ke level yang menunjukkan fundamentalnya. Rupiah di atas Rp 14.000 per dollar AS dirasakannya tidak seyogianya terjadi, cenderung terlalu murah (undervalued), sehingga harus dikoreksi.
Selain intervensi BI dengan menjual devisanya ke pasar, instrument yang paling bertenaga untuk mendorong penguatan rupiah adalah suku bunga. AS telah menjadi pionir kenaikan suku bunga acuan, yang berarti akan menjadi trend setter bagi mata uang lainnya. Mata uang negara-negara lain (rest of the world) harus diakui adalah para pengikut (followers), yang tidak kuasa untuk menghindari tren ini. Kalau berusaha melawan, akibatnya bakal kehilangan banyak cadangan devisa. Dalam batas tertentu, Indonesia sudah merasakannya. Cadangan devisa sudah tersedot USD 11 miliar dan tidak boleh dibiarkan terus merosot, karena hal itu juga akan menciptakan kepanikan lainnya.
China pun juga merespons taper tantrum dan kenaikan suku bunga AS dengan cara menaikkan suku bunga acuannya, meski rendah. Cadangan devisa China kini USD 3,12 triliun atau turun jauh dibandingkan saat kejayaan quantitative easing USD 4 triliun (2013). Negara sekuat China pun terpaksa menyesuaikan suku bunganya, bagaimana mungkin Indonesia bisa tetap berada pada rezim suku bunga rendah ? Itu tidak mungkin.
Jika BI kembali menaikkan suku bunga pada RDG khusus 30 Mei 2018, maka ada dua sasaran yang tampaknya ingin dicapai. Pertama, kenaikan suku bunga memang masih diperlukan, karena kenaikan 25 bps menjadi 4,50 persen terasa belum cukup. Kedua, BI tampaknya ingin menjalankan kebijakan ahead the curve, yakni membuat antisipasi yang mendului “competitor”-nya. Dalam hal ini, BI ingin mendahului kemungkinan The Fed menaikkan lagi suku bunganya (FFR) pada dua pekan mendatang.
The Fed akan menyelenggarakan rapat FOMC (Federal Open Market Committee) pada 12-13 Juni 2018 di Washington DC. Banyak analisis yang meyakini bahwa FFR akan dinaikkan dari posisi sekarang 1,50−1,75 persen, menjadi 1,75−2,00 persen. Jika itu dilakukan, maka dollar AS berpotensi menguat lagi, yang berarti rupiah juga akan kembali tertekan. Keyakinan ini didasari pada kenyataan bahwa indikator ekonomi AS terus membaik, terutama penciptaan lapangan pekerjaan yang terus tinggi, sehingga pengangguran mulai menurun ke bawah 5 persen.
Selain merekomendasikan suku bunga acuan BI perlu dinaikkan lagi 25 bps (meski ada kemungkinan kebutuhannya 50 bps), saya tetap meyakini bahwa rupiah akan kembali menguat. Pertama, secara mengesankan, indeks harga saham gabungan (IHSG) telah kembali ke level psikologisnya di atas 6.000. Ini berita baik. Meski saya juga berpendapat bahwa level sebelumnya hingga 6.600 rasanya terlalu tinggi (belum sesuai dengan fundamentalnya), Namun level di bawah 6.000 juga bukanlah level yang tepat. Karena itu, rasanya IHSG 6.068 pada awal pekan (28/5) merupakan hal yang positif.
Kembalinya IHSG ke zona 6.000 saya yakin juga berbarengan dengan mulai masuknya investor asing ke Indonesia. Sebab, motor penggerak IHSG selama ini adalah investor global, sedangkan investor lokal kebanyakan mengambil posisi followers. Jadi, IHSG 6.000 bisa mencerminkan mulai kembalinya kepercayaan investor global terhadap Indonesia. Cepat atau lambat, rupiah pun akan bergerak ke arah positif. Kenaikan suku bunga acuan BI bisa memicunya lebih cepat.
Kedua, indeks harga saham di New York (Dow Jones Index) kini bergerak ke zona merah. Pada awal pekan, indeksnya hanya 24.753. Ini juga mencerminkan bahwa investor global di New York juga mulai meragukan level tinggi yang dicapai sebelumnya (rekor indeks adalah 26.616 pada 26/1/18), dan mulai bersikap rasional dengan menempuh aksi jual. Selanjutnya, para investor global pun akan kembali mengoleksi saham-saham di negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia.
Berdasarkan berbagai faktor itu, saya antusias menyambut kebijakan suku bunga yang ahead the curve yang ditempuh Gubernur BI Perry Warjiyo. Kurs dollar AS yang terlalu kuat juga tidak baik buat perekonomian mereka. Investor global pun lama-lama akan sesak untuk terus berjejalan di New York. Sudah waktunya mereka menebar lagi investasi portofolionya di negara-negara emerging markets, dengan menghindari Argentina dan Turki yang tengah sakit. Indonesia sangatlah tidak layak untuk dilewatkan.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.