Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 08 Mei 2018
Tekanan terhadap kurs rupiah belum mereda. Rupiah sempat diperdagangkan pada level Rp 14.003 per dollar AS di pasar tunai. Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga ikut melemah ke 5.849 atau sudah merosot 9 persen dibandingkan level awal tahun. Depresiasi rupiah akan menimbulkan banyak komplikasi, yakni subsidi BBM, kesulitan mengimpor barang modal dan bahan baku, pembayaran utang luar negeri, inflasi dan seterusnya.
Dari sisi eksternal, pengumuman The Fed (2/5/18) untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 1,5-1,75 persen memberi sinyal bahwa tren kenaikan suku bunga bakal berlanjut. Apalagi The Fed mendasarkan kebijakannya pada kinerja perekonomian AS yang membaik. Selama 2018, penyerapan tenaga kerja baru di AS cukup impresif: 176 ribu orang (Januari), 324 ribu (Februari), 135 ribu (Maret) dan 164 ribu (April).
Karena itu, hampir bisa dipastikan The Fed akan melanjutkan kebijakan normalisasi suku bunganya. Dengan target inflasi 2 persen, saya perkirakan suku bunga normal AS sekitar 2,5 persen. Artinya, masih ada ruang 100 basis poin bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya. Hanya masalahnya, kita tidak tahu seberapa cepat atau seberapa lama suku bunga 2,5 persen itu hendak dicapai.
Tentu kita berharap bahwa hal itu direngkuh tidak pada tahun ini, namun direntang pada waktu yang lebih panjang. Karena kalau dilakukan secara cepat, maka apresiasi dollar AS (atau sebaliknya depresiasi mata uang seluruh dunia) akan terjadi lebih cepat. Rupiah pun akan kian menderita.
Dalam tiga pekan ini, indeks dollar menguat 3,43 persen. Jika mengacu pada angka ini, kurs rupiah hanya melemah 1,8 persen pada periode yang sama. Artinya, rupiah sebenarnya masih lebih baik dibandingkan enam mata uang kuat mitra dagang AS, yakni euro, yen, pound sterling, dollar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Dengan demikian, sebenarnya aspek yang paling ditakuti bukanlah besaran depresiasi rupiahnya, namun dampak psikologis yang ditimbulkan. Pelemahan rupiah saat ini memberi trauma déjà vu terhadap kejadian krisis 20 tahun silam, tatkala rupiah mencapai Rp 15.000-17.000 per dollar AS. Kepanikan yang ditimbulkannya sangatlah berisiko.
Ternyata kenaikan suku bunga acuan The Fed bukan cuma menimbulkan korban depresiasi mata uang dunia, namun juga melemahnya indeks harga saham di New York. Indeks Dow Jones yang pernah mencapai rekor 26.616 (26/1/18) kini terhempas hingga 24.262 (4/5/18). Padahal, jika mengacu pada fakta perekonomian AS kini sedang bagus, bukankah indeks Dow Jones mestinya menguat? Mengapa ini sebaliknya?
Saya menduga ada dua hal penyebabnya. Pertama, indeks sebelumnya terlalu tinggi, karena euforia membaiknya perekonomian AS. Indeks yang terlalu tinggi tidak mungkin naik lagi, pasti suatu saat terkoreksi. Kedua, koreksi tersebut akhirnya terjadi ketika The Fed menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga menyebabkan migrasi likuiditas dari pasar modal ke pasar uang.
Hal yang sama kemungkinan juga terjadi dalam kasus IHSG. Setelah mengalami rally panjang hingga 6.635, maka IHSG pun sesungguhnya rawan terjadinya koreksi. Kini koreksi itu pun terjadilah, dengan pemicu menguatnya dollar AS terhadap rupiah. Investor pun serta merta melakukan migrasi likuiditasnya dari saham dan obligasi berdenominasi rupiah menjadi aset-aset berdenominasi dollar AS. Migrasi ini semakin menguat tatkala secara tipikal para investor di Jakarta cenderung mengikuti apa yang terjadi di pasar modal global. Ketika di New York terjadi aksi jual, sedikit-banyak hal itu berpengaruh terhadap perilaku investor di Jakarta. Globalisasi sudah sedemikian mencengkeram perilaku investor di manapun.
Lalu, bagaimana menegakkan kembali rupiah? Bank Indonesia (BI) masih rajin melakukan intervensi. Cadangan devisa yang pernah mencapai rekor tertinggi USD 131,97 miliar (Februari 2018), kini terus merosot, dan kini diperkirakan menjadi USD 124 miliar. Perkembangan terbaru, BI dan rekan-rekannya sesama ASEAN, mengaktivasi opsi jaring pengaman sektor finansial Chiang Mai Initiative.
Skema ini sudah dibentuk pada tahun 2000, dimaksudkan untuk membantu negara-negara ASEAN yang mata uangnya tertekan dan cadangan devisanya terkuras. Tiga negara Asia Timur pemilik devisa yang sangat besar siap menolong, yakni China dan Hong Kong (cadangan devisa keduanya USD 3,65 triliun), Jepang (USD 1,26 triliun), dan Korea Selatan (USD 390 miliar). Skema ini menjadi substitusi injeksi IMF.
Ketiga negara tersebut kini telah menyiapkan dana hingga USD 240 miliar untuk berjaga-jaga. Dengan skema ini, katakanlah Indonesia bisa menarik likuiditas USD 60 miliar untuk menambah cadangan devisa kita. Namun, kapan dan pada kondisi seperti apa hal itu bakal dilakukan, kita tidak tahu karena belum pernah mengalaminya.
Sambil berikhtiar agar skema Chiang Mai tidak perlu ditempuh, kita tetap harus mengoptimalkan instrumen moneter yang tersedia. Intervensi bertubi-tubi sudah dilakukan, namun kita sebenarnya tidak tahu seberapa dalam kekuatan “musuh” di pasar uang. Karena itu, tidaklah bijaksana jika kita hanya semata-mata mengandalkan kekuatan cadangan devisa untuk ditembakkan sebagai peluru intervensi.
Sejauh ini BI sudah mengirim sinyal kepada pasar, bahwa pihaknya setiap saat siap untuk menempuh opsi instrumen lain berupa kenaikan suku bunga. Sayang, pasar tidak menggubrisnya. Respons baru akan terlihat jika BI benar-benar mengeksekusi sinyalnya tersebut. Dengan suku bunga acuan sekarang 4,25 persen, dikhawatirkan bisa memicu migrasi likuiditas dari deposito rupiah menjadi aset berdenominasi valas.
BI sudah pasti menyadari, bahwa rezim suku bunga dan inflasi rendah di hampir seluruh dunia, sudah mendekati usai. Karena itu kita tidak mungkin menolak siklus “normalisasi suku bunga”. Karena itu, kenaikan suku bunga 25-50 basis poin menjadi hal urgen yang tak terhindarkan. Lakukanlah itu, demi menghindari kemerosotan cadangan devisa yang lebih dalam.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.