Gatra – Kolom Ekonomi, Kamis 03 Mei 2018
Kurs rupiah beberapa pekan terakhir ini terdepresiasi cukup signifikan terhadap USD, padahal lembaga pemeringkat utang Moody’s baru saja menaikkan outlook terhadap Indonesia (membaik), sedangkan cadangan devisa juga barusan mencapai rekor tertinggi dalam sejarah kita, yakni USD 131,97 miliar (Februari 2018). Rupiah tak bisa menghindar dari faktor eksternal kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS).
Era suku bunga rendah di AS memang sudah berakhir. Sebelumnya, Federal Reserve (The Fed) menjalankan rezim kebijakan suku bunga rendah (0,25 persen) ketika mereka harus berjibaku melawan krisis finansial subprime mortgage 2008-2009. Krisis ekonomi dilawan dengan suku bunga rendah untuk mengungkit konsumsi rumahtangga (household consumption) dan investasi.
Dalam tempo empat tahun (2009-2013), kombinasi suku bunga rendah dan mencetak uang hingga USD 4,5 triliun (quantitative easing atau QE), sudah memberi hasil. Perekonomian AS mulai menunjukkan tanda-tanda kembali normal sejak Mei 2013, sehingga The Fed pun menghentikan kebijakan uang longgar (easy money) tersebut. Karena itu, The Fed pun pelan-pelan mulai menaikkan suku bunganya. Inilah periode taper tantrum, di mana pergerakan modal global menjadi kian volatile, dengan kecenderungan mengalir ke New York.
Dampaknya ternyata luar biasa. Jika pada periode sebelumnya dana QE mengalir dari AS ke seluruh dunia, terutama negara-negara emerging markets, maka kini terjadi arus sebaliknya. Dana global di seluruh dunia seperti “pulang kampung” (home coming) kembali ke New York. Pemilik cadangan devisa terbesar di dunia, China, yang pernah mencatat rekor tertinggi USD 4 triliun, dananya tersedot kembali ke AS hingga USD 1 triliun, menjadi USD 3 triliun. Saat ini cadangan devisa China naik lagi ke USD 3,2 triliun.
Hal yang sama juga terjadi pada negara-negara lain, terutama yang perekonomiannya bermasalah seperti Rusia, Brasil, Malaysia. Cadangan devisa Rusia merosot karena terpukul penurunan harga minyak dunia, Brasil didera defisit fiskal yang terlalu besar (10 persen terhadap PDB), sedangkan Malaysia terpukul oleh kombinasi penurunan harga minyak dan skandal korupsi yang melibatkan Perdana Menteri pada proyek 1MDB (One Malaysia Development Berhad).
Dalam kasus Indonesia, cadangan devisa yang pernah mencapai puncaknya USD 124,64 milar (Juli 2011), anjlok ke titik terendah USD 92,67 miliar (Juli 2013), sebelum kemudian beranjak naik ke USD 131,97 miliar (Februari 2018). Kenaikan ini disebabkan oleh mulai positifnya neraca perdagangan, mengalirnya modal masuk (baik investasi asing langsung maupun di pasar modal), serta repatriasi USD 12 miliar yang dihasilkan oleh program amnesti pajak.
Depresiasi Mata Uang Global
Namun prestasi Indonesia yang baik di bidang cadangan devisa ini, ternyata masih belum cukup untuk meredam depresiasi rupiah. Saat ini, praktis semua negara mengalami depresiasi mata uangnya. Namun saya berkeyakninan, bahwa hal ini tidaklah menjadi ekuilibrium jangka panjang. Mengapa?
Pertama, jangan dikira AS senang dengan menguatnya kurs USD secara tajam. Karena hal ini bisa makin mempersulit daya saing produk-produknya. Saat ini AS menderita defisit perdagangan yang sangat besar (minus USD 375 miliar) terhadap China. Jika USD terus menguat, ini sama saja kontradiktif terhadap kampanye America first atau proteksionisme yang dicanangkan. Amerika Serikat mestinya berupaya memperlemah kurs USD, bukan malah memperkuatnya.
Kedua, dengan mempertimbangkan soal daya saing, bisa jadi Ketua The Fed Jerome Powell tidak jadi menaikkan suku bunga acuan FFR (Fed fund rate) hingga 3-4 kali pada tahun ini. Mereka perlu menjadwalkannya kembali, demi menekan defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
Ketiga, setelah modal global mengalir deras ke AS, lalu mau ke mana? Pasar modal di New York juga sudah mulai jenuh. Indeks Dow Jones yang pernah mencapai rekor tertinggi 26.616 (26 Januari 2018) kini sudah jauh terkoreksi ke 24.163 (1 Mei 2018). Cepat atau lambat, para investor global pun akan bingung, mau ditaruh di mana dananya? Saya yakin, dana-dana itu juga akan mengalir kembali ke negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, demi prospek jangka pendek dan menengah.
Meski perekonomian AS tengah mengalami “musim semi”, namun tetap ada batasnya. Tidak mungkin semua modal global dapat ditampung di AS, khususnya di New York Stock Exchange. Dalam setahun pertama Donald Trump menjadi Presiden AS, indeks haega saham New York mengalami 96 kali pemecahan rekor baru. Namun, semua itu tetap ada batasnya, ada titik jenuhnya. Ketika titik jenuh terlampaui, maka terjadilah koreksi. Harga saham pun kini berada di tren penurunan.
Namun, meski saya yakin dana global bakal mengalir kembali ke Indonesia, tampaknya hal tersebut masih perlu waktu. Karena itu, dalam jangka pendek ini, yang diperlukan adalah mengerahkan segala instrumen untuk menahan rupiah agar tidak terperosok lebih dalam. Sejauh ini, Bank Indonesia hanya rajin melakukan intervensi untuk memasok valuta asing ke pasar. Akibatnya, cadangan devisa merosot tajam dari posisi hampir USD 132 miliar (Februari) ke di bawah USD 126 miliar (Maret).
BI sebaiknya lebih konservatif dalam menggunakan cadangan devisanya, yang selama ini sudah dipupuk dengan susah payah. Instrumen yang paling efektif dan belum digunakan akan suku bunga. Memang di sini timbul dilema. Di satu pihak, BI sedang terus berusaha menstimulus perekonomian melalui jalur penurunan suku bunga (pro growth). Namun di sisi lain upaya menjaga kurs rupiah sangat memerlukan kenaikan suku bunga. Percuma juga jika suku bunga berhasil dijaga rendah, namun kurs rupiah babak belur. Suku bunga dan rupiah sama-sama penting.
Naikkan Suku Bunga
Lalu, bagaimana BI harus bersikap ? Kombinasi apa yang hendak dipilih ? Menurut saya, BI harus realistis melihat kenyataan. Bahwa rezim suku bunga rendah yang dulu dilakukan AS untuk mengatasi krisis, kini sudah berakhir. Mereka kini sedang dalam tren menaikkan suku bunga. Perkiraan saya, suku bunga acuan FFR nantinya minimal 2 persen. Realistiskah kita tetap bertahan dengan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate 4,25 persen?
Rasanya tidak. Karena bahkan China sekalipun, juga sedikit menaikkan suku bunganya. Padahal, selain memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, China sebenarnya justru “menikmati” apresiasi USD yang kian menyebabkan kenaikan daya saing produk-produknya terhadap AS.
Kekhawatiran terbesar BI untuk menaikkan suku bunga acuan adalah jika hal tersebut mengganggu ekspansi kredit perbankan, yang tahun lalu cuma 8,2 persen. Namun situasi sekarang memang belum kondusif bagi bank untuk mendorong kredit di atas 10 persen. Permintaan terhadap kredit masih lemah, sementara itu kian banyak korporasi yang memindah permintaan dananya ke pasar modal dalam bentuk penerbitan obligasi. Pasar modal kini kian berkembang menjadi substitusi sumber pendanaan korporasi.
Lagi pula, kenaikan suku bunga nantinya bersifat temporer. Jika kurs rupiah nantinya kembali membaik (karena saya yakin ke depannya dana global akan tetap kembali ke Jakarta, sebagai salah satu tempat investasi yang menjanjikan), terbuka ruang untuk menurunkan kembali suku bunga acuan.
Pada saat ini dana pihak ketiga di bank (DPK) untuk segmen kelas atas juga mulai beranjak menurun. Penyebabnya bisa jadi karena suku bunga deposito 5-6 persen sudah tidak menarik lagi. Selanjutnya, dana-dana tersebut bisa pula dikonversikan menjadi USD, yang menyebabkan kurs rupiah menjadi kian rawan pelemahan. Dengan kata lain, mempertahankan suku bunga acuan 4,25 persen hanya menambah ancaman bagi rupiah yang berasal dari sisi internal. Jadi, rupiah praktis terancam oleh dua pihak: investor global yang “cabut” dari Indonesia (capital outflow), serta pemilik rupiah yang mengkonversikan dananya ke USD.
Karena itu, tampaknya tidak ada cara lain bagi BI untuk menaikkan suku bunganya, setidaknya 25 bps menjadi 4,50 persen. Setelah itu kita akan lihat lagi, apakah Jerome Powell masih melanjutkan kenaikan suku bunganya, lalu bagaimana dana global akan mengalir. Semua kemungkinan masih bisa terjadi. Tidak ada yang tidak mungkin. “Permainan” (game) ini pun masih berlanjut.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.