Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 10 April 2018
Revolusi industri gelombang ke empat, yang juga disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industri 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk artificial intelligence (AI), e-commerce, big data, fintech, shared economies, hingga penggunaan robot. Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011, yang ditandai dengan revolusi digital.
Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat bahwa sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet dan telepon genggam (1960 hingga sekarang). Versi lain menyatakan bahwa revolusi industri ke tiga dimulai 1969, melalui munculnya teknologi informasi dan mesin otomasi.
Sebagaimana tiga revolusi industri sebelumnya, kehadiran industri 4.0 juga diyakini bakal menaikkan produktivitas. Survei McKinsey (Maret 2017) terhadap 300 pemimpin perusahaan terkemuka di Asia Tenggara menunjukkan, bahwa 9 dari 10 responden percaya terhadap efektivitas industri 4.0. Praktis hampir tidak ada yang meragukannya. Namun ketika ditanya apakah mereka siap mengarunginya, ternyata hanya 48 persen yang merasa siap. Berarti, industri 4.0 masih menyisakan tanda tanya tentang masa depannya.
Keraguan ini sejalan dengan yang ditulis Krugman (“A New Industrial Revolution: The Rise of the Robots”, The New York Times, 17/1/13), bahwa pengunaan mesin pintar memang bisa meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun pada saat yang sama, hal tersebut sekaligus juga dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk yang pintar sekalipun. Namun, semua hal itu tidaklah akan terjadi seketika, ada tahapannya. Selama proses panjang itu terjadi, perdebatan akan terus berlangsung.
Jadi, kedatangan teknologi digital pada pabrik-pabrik memang memberi janji peningkatan produktivitas, meski belum tentu besar. Studi Boston Consulting Group (September 2015) tentang dampak industri 4.0 terhadap perekonomian Jerman pada 2025, ternyata “hanya” akan terjadi penambahan pertumbuhan ekonomi 1 persen selama lebih dari satu dasawarsa.
Yang juga menarik disimak adalah, ternyata gejala de-industrialisasi (menurunnya persentase kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB) yang belakangan ini terjadi di Indonesia, juga dialami di negara-negara maju. Penyebabnya adalah, peran sektor jasa (services) yang terus meningkat. Inilah fenomena yang disebut the post-industrial economy (Jean-Luc Biacabe, Institute Friedland, 2016).
Kombinasi antara proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tidak bertambah dengan cepat dan menurunnya peran manufaktur, menyisakan pertanyaan tentang kehebatan industri 4.0. Belum lagi bahwa industri 4.0 masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatifnya terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Bukan cuma itu, majalah The Economist (6/4/18) juga prihatin bawa era AI juga menyebabkan hilangnya privasi seseorang akibat persebaran data digital secara mudah. Tiada tempat lagi bagi data untuk disembunyikan.
Satu hal sudah pasti, bahwa industri 4.0 sudah datang dan kita tidak mungkin menolak atau menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan dan kita pun harus mati-matian menepis dampak negatifnya. Tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Lalu, bagaimana nasib Indonesia dan para tetangga kawasan ?
Jeffrey Sachs Center (2017) mencatat, bahwa lebih dari setengah penduduk ASEAN yang berjumlah 629 juta orang berusia di bawah 30 tahun; di mana 90 persennya berusia 15-24 tahun yang familiar terhadap internet dan dunia digital. Ini merupakan modal besar ke depan yang bisa menciptakan tambahan output USD 1 triliun, sehingga PDB kawasan ini mencapai USD 5,25 triliun pada 2025.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam dan Kamboja akan memindahkan 56 persen pekerjaan ke otomatisasi pada beberapa dasawarsa mendatang. Sedangkan 54 persen pekerja Malaysia terancam kehilangan pekerjaan. Semuanya tampak suram, kecuali Singapura yang kini penduduknya cuma 5,6 juta orang.
Karena itu, mau tidak mau, antisipasi dini harus dilakukan. Pemerintah Indonesia pun menyusun peta jalan dan strategi dalam memasuki era digital, Making Indonesia 4.0, yang diluncurkan Presiden Jokowi pada 4 April (4/4). Indonesia akan fokus pada lima sektor manufaktur unggulan: (1) industri makanan dan minuman, (2) tekstil dan pakaian, (3) otomotif, (4) kimia, serta (5) elektronik. Pada kelima area manufaktor tersebut berkontribusi besar terhadap PDB serta memiliki daya saing internasional.
Jadi, apakah industri 4.0 merupakan peluang atau ancaman ? Tidak ada yang bisa memastikannya. Kedua karakter tersebut bisa hadir bersamaan. Semua negara, baik maju dan berkembang, kini berada pada kegalauan yang sama. Sejauh ini, mungkin hanya negara Singapura saja yang berani mengklaim dampak positifnya lebih besar.
Terlepas dari bagaimana proses ini kelak akan berujung, maka antisipasi untuk kian membangun modal manusia (human capital) untuk mengiringi laju pembangunan infrastruktur di Indonesia, menjadi kian menemukan konteks dan prioritasnya. Industri 4.0 memang tidak sampai mengenyahkan seluruh penggunaan tenaga kerja. Namun hanya mereka yang berkualifikasi tertentu yang bisa bertahan di sektor manufaktur. Lainnya akan diserap sektor non-manufaktur dan sektor informal.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.