Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 8 Januari 2019
Tidak satu pun di antara kita yang tidak menyadari, bahwa perekonomian 2019 masih akan tetap sulit. Jalan masih terjal. Ibarat lorong gelap, banyak hal yang tetap belum ketahuan ujungnya. Perekonomian global masih dicekam ketidakpastian. Perang dagang AS-China belum reda; suku bunga AS masih berpotensi naik; harga minyak dunia belum stabil. Namun, apakah semua ini akan berujung pada pesimisme perekonomian Indonesia ? Saya rasa tidak. Masih ada ruang bagi kita untuk bergerak.
Dari sisi global, yang paling esensial adalah mulai berakhirnya “tanjakan” membaiknya perekonomian Amerika Serikat. Tatkala perekonomian AS meroket, maka negara-negara lain pun menderita. Penderitaan itu berupa arus modal balik ke AS, sehingga seluruh dunia mengalami: (1) kekeringan likuiditas; (2) suku bunga terpaksa dinaikkan; dan (3) kurs mata uang hampir seluruh dunia melemah terhadap dollar AS. Rupiah pun mengalami tiga persoalan ini sepanjang 2018. Seluruh dunia praktis berkorban, nelangsa, demi perekonomian AS yang membaik. Ini tidak adil.
Dengan arus modal masuk tersebut, AS berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, di mana pengangguran turun menjadi 3,7 persen, pertumbuhan ekonomi 2,9 persen (pernah 4,2 persen dalam satu triwulan), dan indeks harga saham menembus rekor baru yang sangat tinggi 26.743 (21/9/18). Kelemahan AS praktis cuma dua: (1) inflasinya termasuk tinggi, pernah 2,9 persen; dan (2) defisit perdagangannya justru kian melebar, yang antara lain juga disebabkan menguatnya kurs dollar AS.
Jika diibaratkan tahun 2018 perekonomian global terkena “tsunami”, maka sebenarnya gelombang besar air laut yang masuk daratan, itu justru mulai surut pada 2019. Aliran modal masuk ke New York berkurang jauh, bahkan sudah mulai berbalik (reversal). Pada liburan Natal 2018, indeks Dow Jones pernah cuma 21.712, atau anjlok 5000 poin (18 persen) dibandingkan rekor tertinggi. Bahkan kapitalisasi pasar Apple, perusahaan teknologi AS yang pernah mencapai USD 1 triliun, kini jauh merosot menjadi USD 703 miliar (4/1/19), anjlok 30 persen ! Ini bisa dimaknai bahwa gelembung (bubbles) pada sektor finansial AS pun mulai terkoreksi.
Namun di sisi lain, data penyerapan tenaga kerja di AS, yang sempat melemah menjadi 176.000 orang (November), ternyata kembali meroket ke 312.000 orang pada Desember 2018. Ini bisa memberi semangat The Fed untuk kembali menaikkan suku bunganya pada 2019. Namun kenaikan suku bunga tidak perlu seagresif sebelumnya. Karena inflasi mulai reda ke 2,5 persen, maka suku bunga acuan mestinya cukup 2,75 persen. Karena sekarang sudah 2,5 persen, maka saya perkirakan tahun 2019 The Fed cukup menaikkannya sekali lagi.
Lalu bagaimana respons Bank Indonesia ? Pada akhir 2018, BI cukup percaya diri untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 6 persen. Ternyata kebijakan ini tepat. Meski suku bunga The Fed naik dan BI tidak naik, ternyata rupiah tidak melemah. Rupiah justru menguat menjadi Rp 14.032 per dollar AS (7/1/19). Mengapa ? Karena daya tarik AS mulai mencapai titik jenuhnya. Kemampuan pasar modal New York untuk menyedot dana global tetap ada batasnya. Ketika batas itu terlampaui, maka modal global pun mengalir kembali ke emerging markets, termasuk Indonesia.
Selama 2018, rupiah pernah mengalami depresiasi 9 persen selama 9 bulan pertama, serta menguat 4 persen selama 3 bulan terakhir. Pada 2019, saya perkirakan rupiah masih berpeluang menguat lagi, menuju ke ekuilibriumnya yang benar (tidak undervalued). Karena itu, BI tidak atau belum tentu perlu menaikkan suku bunga acuannya lagi dari level sekarang 6 persen. Ada faktor lain di luar suku bunga yang lebih berpengaruh bagi penguatan rupiah.
Sementara itu, harga minyak dunia pun kini juga kian “bersahabat”. Karena para produsen minyak terlalu agresif menambah produksi dalam rangka memanfaatkan kenaikan harga minyak (sebelumnya USD 84 per barrel), dikombinasikan dengan melemahnya permintaan karena perekonomian lesu, maka harganya pun kini cuma USD 57 per barrel (Brent) dan USD 48 per barrel (WTI).
Tren harga minyak relatif rendah ini masih akan terjadi sepanjang 2019. Para produsen minyak masih sulit untuk bersepakat untuk memangkas produksinya, terutama AS. Presiden Trump memang ingin harga minyak rendah. Pada saat ini, produsen minyak terbesar ada tiga negara, yakni Saudi, Rusia dan AS. Ketiganya mampu berproduksi 10-11 juta barrel per hari. Kepentingan masing-masing sulit disatukan, beda visi.
Modal lain Indonesia menghadapi 2019 adalah kondisi fiskal. Sri Mulyani Indrawati barusan terpilih menjadi Menteri Keuangan Terbaik dunia 2018 versi majalah The Banker. Ini bukanlah kebetulan. Di tengah gelombang besar ketidakpastian, dia berhasil menjaga kredibilitas fiskal dengan baik. Yang paling mengesankan adalah pendapatan negara bisa tercapai 102,5 persen, sedangkan belanja negara mencapai 99,2 persen. Defisit APBN bisa dipangkas dari Rp 325 triliun menjadi Rp 259 triliun. Keseimbangan primer (penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang) hampir nol, tepatnya hanya minus Rp 1,8 triliun. Padahal tahun sebelumnya minus Rp 87 triliun. Ini semua merupakan rekor-rekor baru APBN.
Pertumbuhan pajak 14,3 persen merupakan tertinggi sejak 12,5 persen (2012), sedangkan tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) naik signifikan ke 11,5 persen. Ini terjadi berkat landasan reformasi pajak (termasuk amnesti pajak) yang mulai membuahkan hasil. Namun Menkeu harus waspada, agar agresivitas pajak tetap harus produktif. Karena jika pengenaan pajak terlalu agresif dan tidak tepat sasaran bisa menyurutkan gairah konsumsi.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang kini cuma 5 persen harus didorong di atas 6 persen. Contoh kecil : para dosen di perguruan tinggi mengeluh karena biaya perjalanan dinasnya kini dikenai pajak progresif. Padahal umumnya biaya-biaya tersebut habis dibelanjakan selama perjalanan. Kalau ada sisa, hanya sedikit. Ini perlu dievaluasi.
Berdasarkan (1) perekonomian AS mulai terkoreksi; (2) rupiah menguat; (3) suku bunga BI belum tentu naik; (4) harga minyak dunia terkendali; serta (5) kondisi fiskal kredibel; masih tersisa ruang gerak bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh lebih baik, misalnya 5,3 % pada 2019. Ini bukanlah utopia.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.