Media Indonesia, Senin 10 Desember 2018
Kurs rupiah mulai bergerak menuju ekuilibirum yang sesungguhnya. Sempat terpelanting ke level terendah sejak krisis 1998, yakni pada Rp 15.200 per dollar AS (Oktober 2018), diyakini bahwa level tersebut sesungguhnya tidak pada tempatnya. Rupiah mengalami nilai yang terlalu rendah (undervalued), yang tidak menggambarkan kapasitas dan fundamental yang sesungguhnya.
Memang tidak mudah menentukan, berapa level rupiah yang ideal bagi rupiah saat ini. Pedoman kasarnya adalah seperti yang digambarkan Joseph Stiglitz: bahwa suatu mata uang sebaiknya tidak terlalu lemah (undervalued), namun juga tidak boleh terlalu kuat (overvalued).
Jika undervalued akan merusak kredibilitas, yang bisa memicu kepanikan dan hilangnya kepercayaan (lost of confidence) para investor, sehingga terjadi aliran modal ke luar (capital outflows). Hal ini akan membahayakan neraca pembayaran (balance of payments) dan posisi cadangan devisa (foreign reserves).
Sebaliknya jika overvalued juga tidak baik, karena akan menyebabkan harga barang-barang menjadi terlalu tinggi, tidak kompetitif, yang akan memicu melemahnya posisi neraca perdagangan (trade balance) dan neraca transaksi berjalan (current account balance). Selanjutnya, hal ini akan memicu penurunan cadangan devisa. Dengan kata lain, kurs rupiah yang tidak berada pada level yang semestinya, semuanya akan berakibat negatif. Rupiah terlalu lemah berakibat jelek, rupiah terlalu kuat pun juga berdampak buruk. Karena itu, rupiah harus berada pada kisaran (range) yang ideal. Inilah “pekerjaan rumah” Bank Indonesia yang tidak mudah.
Itulah sebabnya, meski rupiah sempat menembus Rp 15.000-an per dollar AS, meski hal ini tidak bisa disamakan dengan level terendah saat krisis 1998, tetap saja hal ini harus dihindari. Operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia menelan biaya yang tidak sedikit. Cadangan devisa yang pernah mencapai hampir USD 130 miliar (Februari 2018) sempat tergerus hingga level terendah USD 114 miliar (September 2018), yang berarti telah berkurang USD 14 miliar dalam tujuh bulan. Beruntung cadangan devisa kini kembali menguat ke USD 117 miliar setelah terjadinya aliran modal masuk (capital inflows).
Tekanan Suku Bunga Acuan
Gejolak depresiasi rupiah dan praktis juga terjadi pada seluruh mata uang dunia, terutama sepanjang 2018, terutama memang terjadi karena faktor Amerika Serikat (AS). Kombinasi antara membaiknya perekonomian AS ditambah dengan kebijakan normalisasi suku bunga (kenaikan suku bunga) oleh The Fed, merupakan faktor utamanya.
Setelah terkena krisis finansial sejak 2008, perekonomian AS menunjukkan gejala sehat kembali pada pertengahan 2013. Sejak saat inilah, The Fed mulai menaikkan suku bunganya serta menghentikan kebijakan mencetak uang beredar, yang disebut periode taper tantrum. Akibatnya, investor global mulai memburu dollar AS, dan banyak yang “menerbangkannya” ke New York. Karena itu, indeks harga saham Dow Jones mencetak rekor baru 26.600 (Februari 2018). Seluruh dunia pun, termasuk Indonesia, tak kuasa mencegah terjadinya depresiasi mata uangnya.
Era suku bunga rendah pun berakhir. Dalam kasus Indonesia, suku bunga acuan mencatat rekor terendahnya pada 4,25 persen. Ini sebenarnya cukup ideal bersanding dengan inflasi tahunan (year on year) saat ini 3,2 persen, karena masih menyisakan margin positif 1 persen. Namun sayangnya, pembentukan suku bunga di Indonesia tak sepenuhnya hanya mengacu pada inflasi. Kalau di AS, formula tersebut berlaku: bahwa suku bunga acuan mestinya harus lebih tinggi daripada inflasi. Yang penting ada jarak, yang tidak perlu lebar, misalnya 0,25 persen saja.
Di Indonesia, jarak antara suku bunga dan inflasi tidak bisa terlalu dekat. Masalahnya, jika terlalu dekat, para pemilik dana akan sensitif untuk memindahkan portofolionya menjadi berdenominasi valas, terutama dollar AS. Suku bunga rupiah yang terlalu rendah hanya akan menjadi pemicu melemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS. Inilah yang kita saksikan sepanjang 2018.
Masih rendahnya suku bunga acuan BI menyebabkan rupiah terus terperosok. Karena itu, mau tidak mau BI harus menyesuaikan diri. Pelan-pelan suku bunga acuan dinaikkan, setapak demi setapak, sehingga kini 6 persen. Apakah suku bunga ini akan dinaikkan lagi? Secara normatif masih akan ada kenaikan lagi, karena suku bunga The Fed juga masih akan naik lagi. Namun, BI tidak selalu harus menaikkan suku bunganya sebesar yang dilakuka The Fed.
Rencana semula, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya (FFR) nya hingga 3,25 persen pada tahun depan. Saat ini FFR 2,25 persen. Berarti masih akan naik empat kali lagi: sekali pada Desember 2018 dan tiga kali lagi pada 2019. Namun, rencana tersebut disusun pada saat inflasi AS mencapai 2,9 persen. Target inflasi di AS adalah 2 persen. Faktanya, dalam dua bulan terakhir inflasi mulai jinak. Inflasi September hanya 2,3 persen, dan Oktober sedikit naik menjadi 2,5 persen.
Jika kondisi ini bisa dipertahankan, maka inflasi AS katakanlah 2,5 persen. Maka, suku bunga acuan The Fed tidak perlu lagi 3,25 persen, namun cukup 2,75 persen saja. Hal ini sejalan dengan keinginan Presiden AS Donald Trump yang resah jika The Fed terus menerus menaikkan suku bunganya, karena hal itu selalu menyebabkan kurs dollar AS terus mengalami apresiasi, yang ujung-ujungnya kian menyulitkan AS untuk menekan defisit perdagangannya, terutama terhadap China.
Berdasarkan perkembangan terbaru tersebut, maka tampaknya The Fed tinggal menaikkan suku bunganya dua kali: sekali pada 19 Desember 2018, dan sekali lagi pada tahun 2019 (belum diketahui bulan apa). Namun dengan catatan, jika ternyata inflasi bisa dikembalikan lagi ke level 2,3 persen, bisa jadi sepanjang 2019 nanti tidak diperlukan lagi kenaikan suku bunga. Siapa tahu ?
Di AS sendiri, menjelang rapat The Fed (Federal Open Market Committee, FOMC) pada 18-19 Desember ini, timbul polemik mengenai perlu-tidaknya suku bunga dinaikkan. Di satu pihak, sebagaimana diisyaratkan oleh Ketua The Fed Jerome Powell pada pertemuan FOMC November yang lalu, pihaknya sudah pasti akan menaikkan suku bunganya pada Desember. Dasarnya kuat: suku bunga acuan masih lebih rendah daripada inflasi. The Fed ingin melindungi para penabung di bank (savers atau depositors) agar tetap mendapatkan suku bunga riil (real interest rate) positif. Selain itu, Powell demikian yakin pihaknya berada di jalur kebijakan yang benar karena dukungan data penyerapan tenaga kerja yang impresif. Pada bulan Oktober, pasar tenaga kerja berhasil menyerap 250.000 orang (non-farm payrolls). Ini hebat untuk mendukung tren penurunan pengangguran yang kini sudah rendah 3,7 persen.
Namun di sisi lain, selain Presiden Trump yang memang menginginkan jeda kenaikan suku bunga agar defisit perdagangannya tidak kian lebar, kondisi pasar modalnya juga sedang memerlukan pertolongan. Indeks harga di New York Stock Exchange kini terus berada di zona merah, akhir pekan lalu 24.338. Ini jauh dari rekor tertinggi yang pernah 26.656. Jika The Fed menaikkan suku bunganya lagi, indeks Dow Jones akan kian tertekan. Karena pemilik dana sebagian akan memindahkan asetnya dari pasar modal ke pasar uang. Apalagi mereka juga mungkin merasa bahwa indeks harga tertinggi sudah berlalu, dan kini saatnya untuk memindahkan asetnya dari pasar modal.
Meski demikian, Jerome Powell dan The Fed tampaknya masih akan menunjukkan independensinya. Mereka tidak akan terpengaruh oleh Presiden Trump (untuk menjaga kinerja ekspor) dan pasar modal yang kini tengah dilanda aksi jual. The Fed akan tetap fokus pada tugasnya, yakni pada stabilitas moneter yang membantu kinerja perekonomian. Sepanjang pertumbuhan ekonomi AS baik (tahun ini 3,1 persen) dan pengangguran rendah (3,7 persen), maka The Fed akan merasa nyaman dan percaya diri untuk menaikkan suku bunganya.
Suku Bunga BI dan Rupiah
Dengan konfigurasi terbaru seperti ini, bagaimana nasib rupiah ? Apakah rupiah akan berhenti mengalami apresiasi ? Bagaimana BI harus bersikap ? Apakah suku bunga acuan BI (7 days reserve repo rate) akan dinaikkan lagi, yang berarti akan menahan rupiah sehingga tidak bisa menguat lagi ke level Rp 13.000-an per dollar AS ?
Sekalipun The Fed hampir pasti menaikkan suku bunganya pada 19 Desember 2018 nanti, dari 2,25 persen menjadi 2,50 persen, tidak berarti suku bunga acuan BI harus naik ke 6,25 persen. Mengapa?
Pada saat ini investor global yang semula menanam investasinya di New York Stock Exchange mulai berpikir bahwa rally dollar AS dan bullish di pasar modal AS bukannya tanpa batas. Suatu saat akan mencapai titik jenuhnya. Sederhananya: jika indeks harga saham New York sudah mencapai 26.656, apakah selanjutnya akan mendaki ke 27.000; 28.000, atau bahkan 30.000? Apakah ini masuk akal? Semuanya ada batasnya. Tidak ada yang tanpa batas (limitless). Sehebat apa pun perekonomian AS, tetap saja ada titik tertinggi yang tidak bisa lagi dinaikkan. Inilah penjelasan sederhana, kenapa indeks Dow Jones mengalami bearish, sekalipun data makro ekonomi AS kini sedang baik.
Karena itu, para investor global mulai berpikir kembali berinvestasi di negara-negara lain, terutama yang masih memiliki masa depan. Indonesia sebagai negara yang sedang getol mengakselerasi pembangunan infrastruktur (dilanjutkan dengan pembangunan kualitas manusianya melalui peningkatan pendidikan), menjadi salah satu destinasi emerging market yang menarik.
Indonesia bukannya tanpa masalah. Neraca transaksi berjalan yang kini defisit hingga 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan pekerjaan rumah terbesar. Namun gesture Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang berupaya keras untuk memangkasnya ke 2,5 persen saja terhadap PDB pada 2019, memberi semacam janji kepada para investor global. Keberhasilan penerimaan pajak yang melampaui pajak tahun ini, juga memperkuat gesture tersebut, bahwa pemerintah Indonesia bakal berhasil menjinakkan masalah utamanya.
Inilah penjelasan yang paling masuk akal terhadap feomena belakangan ini, yakni kembalinya capital inflows ke Indonesia yang menyebabkan cadangan devisa mengalami rebound ke USD 117 miliar. Berdasarkan tesis ini, bisa jadi suku bunga acuan saat ini 6 persen tidak lagi perlu dinaikkan. BI harus terus memantau perkembangan pasar valuta asing sesudah The Fed menyelesaikan rapatnya pada 19 Desember nanti.
Faktor yang berpotensi mengganggu rupiah adalah agenda politik. Jika proses pemilihan presiden dan legislatif berjalan normal dan aman (tanpa chaos), akan memberi keyakinan besar para investor global bahwa Indonesia tengah mendaki jalan kedewasaan berpolitik. Ini akan memberi garansi kuat bagi mereka tentang masa depan investasinya di Indonesia. Jadi, rupiah ke depannya bukan lagi tergantung pada berapa BI memutuskan suku bunga acuannya. Bukan soal suku bunga acuan 6 persen atau 6,25 persen, namun ditentukan oleh berbagai dinamika, terutama dinamika politik.
Karena itu, perlu ditumbuhkan pemahaman dan kesadaran bersama di antara para aktor politik, agar terus memelihara ketentraman pada periode krusial seperti sekarang, saat pemilu 17 April 2019 dan kehidupan sesudahnya. Memelihara ketentraman politik tidak hanya menjaga martabat para politisi dan partai politik, namun juga memelihara kejayaan rupiah, perekonomian Indonesia dan tentu saja bangsa Indonesia.
Mari kita mengantar rupiah agar menemukan levelnya yang tepat, misalnya di kisaran Rp 13.000-an per dollar AS, melalui kebersamaan kita menjaga proses agenda politik yang aman dan bermartabat tinggi. Itu tidak mudah, namun kita tidak punya pilihan lain.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.