Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 6 November 2018
Berita positif bertiup pekan lalu. Dari dalam negeri, pemerintah dan DPR telah menyetujui postur APBN 2019 yang didukung dengan proyeksi dan asumsi yang kredibel, sehingga menumbuhkan keyakinan pasar. Dari sisi moneter, Bank Indonesia memperkenalkan domestic non-deliverable forward (DNDF), yakni fasilitas lindung nilai yang menyebabkan para investor nyaman untuk menempatkan valuta asingnya di Indonesia. Sedangkan dari eksternal, ada kemajuan dalam negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dengan China, sehingga meredakan ketegangan perang dagang.
Sejak perang dagang dikobarkan Presiden Donald Trump, mata uang China yuan justru melemah. Hal ini justru menyebabkan neraca perdagangan AS terhadap China memburuk, yang bertentangan dengan niat untuk mengurangi defisit. Mungkin Presiden Trump mulai menyadari, bahwa perang dagang malah kontraproduktif. Sementara itu, harga minyak dunia pun mulai “jinak”. Harga minyak Brent kini USD 72 per barrel, jenis WTI USD 62 per barrel, atau USD 10 lebih murah daripada posisi sebelumnya, padahal di bumi belahan utara justru sedang bersiap memasuki musim dingin.
Ada satu faktor lagi yang sebenarnya berpotensi meredakan tekanan perekonomian dunia. Inflasi di AS kini mulai landai. Data terakhir inflasi “hanya” 2,3 persen pada September. Jika inflasi bisa terus mendekati 2 persen (level ideal untuk AS), maka sesungguhnya suku bunga acuan The Fed tidak perlu dinaikkan terlalu agresif. Kini suku bunga acuan 2,25 persen. Rencana semula, akan menjadi 2,50 persen pada akhir tahun ini, dan terus naik hingga 3,25 persen pada tahun depan.
Tapi dengan perkembangan terbaru data inflasi, mestinya The Fed bisa mengakhiri suku bunga acuannya di bawah 3 persen saja, misalnya 2,5 persen atau 2,75 persen. Pada level ini, dollar AS tidak perlu mengalami penguatan yang terlalu besar, sebagaimana yang dikehendaki Presiden Trump. Isu ini sekarang berada di tangan Ketua The Fed, Jerome Powell: apakah dia masih ngotot dengan rencana semula, ataukah mengubahnya untuk disesuaikan dengan kondisi paling mutakhir.
Semua faktor ini telah berujung pada sentimen positif berupa menguatnya rupiah hingga Rp 14.953 per dollar AS. Situasi ini tentu memberi harapan besar bagi perekonomian Indonesia, terutama setelah APBN 2019 memroyeksikan kurs Rp 15.000 per dollar AS sebagai level rata-rata tahun depan.
Hal yang paling menonjol dari APBN 2019 adalah kehendak kuat untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah, yang biasanya terealisasi 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi hanya defisit 1,84 persen, atau yang terendah sejak 2013. Berkurangnya defisit juga berimbas positif pada keseimbangan primer, yang akan ditekan mendekati nol, yakni hanya Rp 20 triliun pada 2019. Berarti turun dari level sebelumnya Rp 125 triliun (2017) dan 65 triliun (prognosis 2018).
Keseimbangan primer merupakan selisih dari pendapatan negara total dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika pendapatan negara total lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primernya positif, yang berarti masih tersedia dana yang cukup untuk membayar bunga utang. Sebaliknya, jika pendapatan negara total lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primer akan negatif, yang berarti sudah tidak tersedia dana untuk membayar bunga utang. Dengan kata lain, sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru, alias “gali lubang tutup lubang”.
Ini indikasi yang baik bahwa pemerintah menunjukkan hasratnya untuk terus memperbaiki struktur utang. Saat ini utang pemerintah sekitar Rp 4.400 triliun, atau sekitar 30 persen terhadap PDB. Masih jauh dari batas aman 60 persen terhadap PDB. Sedangkan utang luar negeri, yakni berasal dari pemerintah dan swasta, kini sekitar USD 360 miliar (sekitar Rp 5.400 triliun), atau sekitar 36 persen terhadap PDB. Ini pun aman, meski pemerintah harus terus mewaspadainya, karena sering kali sentimen pasar mengabaikan kondisi obyektif. Rupiah melemah kadang-kadang disebabkan oleh “efek ikut-ikutan” (bandwagon effect).
Pemerintah juga memroyeksikan rupiah Rp 15.000 per dollar AS pada tahun depan. Ini asumsi yang tepat. Di satu pihak, memang ada potensi tahun depan terjadi pemburukan perekonomian global karena berlanjutnya kenaikan suku bunga, perang dagang AS-China kian intensif, serta harga minyak naik. Namun jangan lupa, hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. The Fed belum tentu menaikkan suku bunganya secara agresif; perundingan dagang AS-China berjalan baik; dan harga minyak kembali ke ekuilibrium yang lebih rasional. Jangan lupa, AS terus giat menambah produksi minyak nonkonvensionalnya (shale oil), sehingga mencapai puncak produksi pada 2020. Ke depannya, pasokan minyak dunia bakal melimpah.
Pemerintah Indonesia juga menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen tahun depan. Ini realistis dan kredibel. Di satu pihak, tentu saja pemerintah berkepentingan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, misalnya 6 persen. Namun, perekonomian dunia belum menunjukkan indikasi beranjak. Tahun ini pun IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen, yang kemudian mendatar pada 2019, karena kekurangan insentif.
Meski demikian, kita tidak boleh kehilangan harapan. Kalau saja AS dapat menahan diri dalam hal suku bunga dan perang dagang dan pasokan minyak bisa diperbanyak; sebenarnya tahun depan masih menyisakan harapan. Jika pertumbuhan ekonomi global bisa kembali ke 3,9 persen, bukan mustahil kita bisa mencapai pertumbuhan di atas 5,3 persen pada 2019.
Biarlah perekonomian dunia setahap demi setahap menemukan ekuilibrium barunya. Yang penting bagi Indonesia adalah terus menjalankan agendanya, yakni: (1) meningkatkan daya saing untuk memangkas defisit transaksi berjalan; (2) menurunkan defisit fiskal dengan memperbaiki struktur penerimaan pajak; dan (3) mendorong hilirisasi agar ekspor kita kian berbasiskan manufaktur. Semua agenda ini terjal, tetapi kita pantang menyerah untuk meraihnya.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.