Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 16 Oktober 2018
Presiden Joko Widodo berhasil menyampaikan pesan moral yang sangat kuat kepada seluruh dunia melalui IMF-World Bank Group annual meeting di Nusa Dua, Bali, pekan lalu. Pada forum yang dihadiri oleh 36.339 delegasi dari 189 negara tersebut, Presiden Jokowi secara kreatif menggunakan metafora film serial televisi Game of Thrones, untuk menggambarkan kondisi perekonomian dunia saat ini.
Meski tidak menyebut negara tertentu secara spesifik, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa perang dagang yang kini mulai terjadi pada akhirnya akan berujung pada kesia-siaan belaka. Perang dagang adalah mubazir, karena akan menyengsarakan tidak hanya bagi pihak yang kalah, namun juga bagi pemenangnya. Semua pihak bakal menderita, sama-sama kalah, dan merana. Simulasi yang dilakukan oleh para ekonom menunjukkan, bahwa perang dagang akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia menyusut 1 persen.
Amerika Serikat kini memang sedang menikmati kejayaannya. Pertumbuhan ekonominya mencapai 4,2 persen pada triwulan kedua 2018; inflasi 2,3 persen (year on year); dan pengangguran hanya 3,7 persen. Meski demikian, mantan Ketua The Fed Janet Yellen mengingatkan, bahwa angka pengangguran tersebut sesungguhnya kurang riil, karena banyak pekerja yang sebenarnya hanya bekerja paruh waktu, bukan full time. Jadi sebenarnya angka pengangguran tersebut mengandung bias.
Masalah besar yang masih dialami AS adalah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Meski berinisiatif melakukan perang dagang, defisit perdagangan AS kini justru meningkat. Selama Januari-September 2018, defisit AS terhadap China mencapai USD 225 miliar, atau USD 30 miliar lebih besar daripada tahun lalu. Penyebabnya adalah penurunan ekspor AS yang disebabkan oleh menguatnya dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk yuan. Sepanjang 2017, defisit perdagangan AS terhadap China mencapai USD 375 miliar.
Jadi, sebenarnya AS sedang mengalami dilema dan paradoks. Di satu pihak, dari sisi moneter, The Fed sedang berupaya melakukan normalisasi suku bunga. Mengapa suku bunga perlu dinaikkan? Karena jika rezim suku bunga rendah diteruskan, AS justru akan menghadapi masalah overheating. Konsumsi masyarakat menjadi terlalu agresif, yang mendorong kenaikan inflasi.
Untuk meredamnya, diperlukan koreksi berupa mendorong suku bunga ke level “normal baru”. Namun, kenaikan suku bunga ini justru menyebabkan kurs dollar AS menguat terhadap mata uang seluruh dunia. Akibatnya, neraca perdagangan AS pun memburuk, defisitnya malah membesar. Dengan kata lain, perang dagang yang digelorakan Presiden Trump bakal sia-sia dan kontraproduktif.
Ketika pertumbuhan ekonomia dunia menurun 1 persen, dampaknya bisa menurunkan permintaan terhadap barang-barang AS. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi AS juga akan melemah. AS pun akan ikut menderita oleh kebijakan yang dibuatnya sendiri. Dalam situasi seperti ini, maka baik AS maupun seluruh negara lain, akan sama-sama menderita.
Dalam situasi paradoks ini, maka AS pun bersikap gamang. Ketua The Fed berencana untuk meneruskan rencananya menaikkan suku bunga, sedangkan Presiden Trump menghendaki agar suku bunga jangan naik. Namun The Fed adalah institusi yang independen, sehingga Presiden Trump tidak bisa mengintervensinya.
Sementara itu, isu Belt and Road Initiative (BRI) juga menarik didiskusikan di Bali. Inisiatif untuk menciptakan konektivitas (pembangunan kereta api dari China ke Asia dan Eropa) ini digagas oleh China, tatkala Presiden Xi Jinping berkunjung ke Kazakhstan dan Indonesia (2013). Persoalan terbesarnya adalah, kekhawatiran negara-negara yang dilalui oleh “jalur sutera” ini akan berutang lebih banyak lagi. Bagaimana mereka kelak membayar kembalinya ? Apakah China akan bersedia menanggungnya ?
Malaysia pun membatalkan jalur kereta cepat Kuala Lumpur-Singapura, dengan alasan utang pemerintahnya sudah melampaui 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto. BRI digagas China sebagai upaya untuk menurunkan biaya perdagangan, sehingga menjadi lebih efisien. Namun hal ini akan sia-sia belaka jika AS terus ngotot untuk menggelorakan perang dagang, karena dirinya merasa menderita defisit perdagangan yang terlalu besar.
Pusaran inilah yang hendak diingatkan oleh Presiden Jokowi, agar disikapi dengan lebih bijaksana. Apakah rivalitas dan kompetisi yang sengit semacam ini lebih dibutuhkan dunia daripada kerjasama dan kolaborasi? Inilah pesan terpenting yang begitu menggugah kesadaran kolektif seluruh peserta pertemuan di Bali. Presiden Jokowi membuat metafora, bahwa jika kita tidak bisa mengelola masalah ini dengan baik, maka kita pun bakal segera menghadapi musim dingin yang mencekam (winter is coming). Dalam film seri Game of Thrones, Evil Winter digambarkan sebagai musuh bersama yang bisa meluluhlantakkan semuanya.
Pertemuan tahunan di Bali ternyata tidak hanya berhasil mendatangkan banyak delegasi dari seluruh dunia, serta komitmen investasi masuk ke Indonesia USD 13,5 miliar (setara Rp 202 triliun). Hal yang tak kalah penting adalah Indonesia berhasil menyampaikan pesan moral tentang musuh bersama perekonomian dunia saat ini, yakni proteksionisme, perang dagang, dan berbagai kebijakan lain yang didesain untuk keuntungan segelintir negara kuat.
Semangat kolektivisme dalam konteks multilateralisme sudah seharusnya digalang kembali, melalui momentum acara IMF dan Bank Dunia. Indonesia telah secara cerdik memanfaatkan momentum tersebut untuk memulai diskursus ini. Semoga ini bisa menjadi bola salju positif yang menyadarkan negara-negara besar untuk menahan diri dan bertindak bijak. Semua negara di seluruh dunia harus kompak bersatu untuk menghindari terjangan badai salju di musim dingin yang mencekam…
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.