Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 25 September 2018
Akhir pekan lalu, rupiah sempat menguat dalam 3-4 hari berturut-turut, sehingga memberi angin segar dan harapan, bahwa Bank Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga acuannya (7 days reverse repo rate) pada pertemuan Dewan Gubernur BI pekan ini. Namun kemarin (Senin 24/9), dollar AS tiba-tiba kembali menguat ke hampir seluruh mata uang, termasuk rupiah.
Rupiah diperdagangkan pada Rp 14.867 per dollar AS. Di antara negara-negara Asia, dollar AS menguat terhadap rupiah 0,36 persen, atau lebih baik daripada won Korea (0,46 persen), namun lebih lemah daripada rupee (0,31), baht dan dollar Taiwan (0,22), peso Filipina (0,18), yuan China dan ringgit (0,15), serta dollar Singapura (0,14). Dollar AS stagnan terhadap dollar Hongkong dan yen.
Ada analisis yang menyebutkan bahwa kenaikan dollar AS kali ini disebabkan oleh naiknya intensitas perang dagang AS vs China, serta proses eksekusi Brexit, yakni bercerainya Inggris dari Uni Eropa. Dampaknya, investor global cenderung bermain aman dengan “memegang” aset berdenominasi dollar AS. Namun saya duga masih ada satu lagi penyebabnya, yakni rapat bank sentral AS The Fed pekan ini (25-26 September 2018) yang kuat diduga akan menaikkan suku bunga.
Presiden AS Donald Trump sebenarnya tidak ingin suku bunga dinaikkan, karena menimbulkan dampak apresiasi dollar AS yang kemudian merepotkan daya produk-produk AS. Namun The Fed tampaknya akan melanjutkan rencananya. Mengapa? Pertama, inflasi AS saat ini 2,7 persen (Agustus). Level ini sudah membaik daripada sebelumnya 2,9 persen (Juni-Juli). Namun itu belum cukup baik, karena inflasi yang dianggap pas untuk AS adalah “sekitar 2 persen”. Karena itu, suku bunga perlu dinaikkan lagi, untuk memberi tekanan lebih lanjut terhadap laju inflasi.
Kedua, data perekonomian AS belakangan ini tampak impresif. Pertumbuhan ekonomi 2018, berdasarkan kinerja triwulan kedua, bakal mencapai 4,2 persen. Ini merupakan level pertumbuhan yang tertinggi sejak 2014. Data ini juga didukung kuat oleh data lain, yakni penyerapan tenaga kerja baru yang mencapai 201.000 pada Juli 2018. Sejak Januari, data penciptaan lapangan pekerjaan AS sungguh sangat baik, antara 147.000 hingga 324.000. Pengangguran AS pun kini rendah, cuma 3,9 persen.
Kedua data impresif ini serta merta bisa menaikkan kepercayaan diri investor untuk “memegang” dollar AS. Di sisi lain, juga menaikkan keyakinan The Fed untuk segera menaikkan suku bunga acuannya yang kini 2 persen. The Fed perlu segera melalukan “normalisasi” suku bunga, karena suku bunga acuan masih lebih rendah daripada inflasi. Situasi suku bunga riil negatif 0,7 persen ini dianggap tidak adil bagi para penabung (savers).
Dengan konfogurasi semacam itu, maka estimasi terbaik bagi rapat The Fed pekan ini adalah menaikkan suku bunga. Seperti biasa, pasar pun mulai bereaksi sebelum The Fed benar-benar menaikkan suku bunganya. Karena itu, pilihan terbaik bagi BI adalah menaikkan suku bunga acuannya, agar tak terlalu tertinggal dari The Fed.
Suku bunga acuan terendah The Fed selama ini adalah 0,25 persen, kini 2 persen, dan sebentar lagi 2,5 persen. Sedangkan suku bunga acuan terendah BI adalah 4,25 persen, dan sekarang 5,5 persen. Artinya, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya 1,75 persen, dan BI baru 1,25 persen. Dengan kata lain, BI sebenarnya belum sepenuhnya ahead of the curve, sebagaimana diinginkan Gubernur Perry Warjiyo. Suku bunga BI masih agak tercecer (ketinggalan) dibandingkan The Fed.
Faktor inilah yang bisa menjelaskan, kenapa kurs rupiah tempo hari sempat menyentuh Rp 15.000 per dollar AS, yang dianggap bukan level yang semestinya. Rupiah dianggap terlalu murah (undervalued). Pada saat krisis 1998, rupiah yang terlalu murah mengundang manfaat berupa kenaikan ekspor dan penurunan impor, sehingga neraca perdagangan surplus.
Tidak elastis
Namun situasi sekarang berbeda. Rupiah melemah tidak serta merta menaikkan surplus, karena kombinasi tiga hal. Pertama, ekspor kita tidak elastis terhadap perubahan kurs, karena banyak yang berupa komoditas primer. Kedua, pada saat yang sama mata uang lain juga terdepresiasi (termasuk para kompetitor), sehingga harga produknya sama-sama kian murah. Ketiga, defisit migas kita kian lebar karena produksi minyak kita terus menurun (di bawah 800.000 barrel per hari), sedangkan harga minyak dunia naik (USD 77 per barrel).
Kenaikan suku bunga acuan BI sesungguhnya tidak diinginkan. Kebijakan ini berisiko menggagalkan upaya OJK untuk mendorong ekspansi kredit melampaui 10 persen. Begitu pula kredit bermasalah (NPL) diperkirakan akan naik di atas 3 persen. Namun, itulah “harga” yang harus dikeluarkan sebagai upaya stabilisasi rupiah. Namun dibandingkan dengan biaya untuk memproteksi rupiah pada saat krisis 1998, itu jauh lebih murah. Atas saran IMF, BI pernah menaikkan suku bunga deposito bank-bank umum hingga 60-70 persen, yang berakibat insolvency dan kebangkrutan.
Jika suku bunga The Fed terus dinaikkan dan tahun depan mencapai 3,25 persen, maka kemungkinan BI juga akan meresponsnya dengan menaikkan suku bunga hingga 6,5 persen. Namun jika inflasi AS bisa berkurang secepatnya, misalnya mendekati 2 persen, maka bisa jadi The Fed urung menaikkan suku bunganya secepat itu. Suku bunga The Fed maksimal mungkin hanya 2,75 persen; sehingga suku bunga BI maksimal juga hanya 6 persen. Inilah level yang akan menjadi suku bunga “normal baru”.
Perbedaan mendasar lain adalah, industri perbankan sebagai jantung perekonomian, telah berubah wajah. Pada 1998, semua bank terkapar dan harus diinjeksi modal baru Rp 650 triliun, sedangkan kini hampir semua bank sehat, dan bahkan yang tersehat mampu membukukan laba fantastis antara Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.