Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 28 Agustus 2018
Tekanan terhadap kurs rupiah belum reda. Rupiah masih diperdagangkan di sekitar Rp 14.600 per dollar AS. Kabar terakhir dari Amerika Serikat, Kepala The Fed Jerome Powell masih berkeras untuk menaikkan lagi suku bunga acuannya tahun ini, diperkirakan menjadi 2,50 persen, lalu mencapai 3,25 persen pada tahun depan. Padahal rencana ini ditentang oleh Presiden Donald Trump. Powell yakin kenaikan suku bunga akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, sebaliknya Trump takut hal itu membuat kurs dollar AS menguat dan menyulitkan neraca perdagangan AS.
Rencana kenaikan suku bunga ini tentu saja memberi tambahan tekanan terhadap kurs rupiah. Itulah sebabnya Bank Indonesia terpaksa menaikkan lagi suku bunga acuannya menjadi 5,50 persen. Belum lagi satu masalah berakhir, timbul komplikasi baru tatkala perekonomian Turki dilanda krisis, sehingga meniupkan sentimen negatif global. Ekonom Paul Krugman malah menyebut krisis tersebut mempunyai kemiripan dengan kejadian krisis perekonomian Indonesia 20 tahun silam, 1998 (“Partying Like It’s 1998”, The New York Times, 11/8/18).
Padahal, Turki sebenarnya mau kita jadikan acuan untuk program redenominasi rupiah yang sudah digagas sejak beberapa tahun silam, namun masih menunggu momentum yang tepat untuk menjalankannya. Seperti diketahui, Turki telah berhasil memangkas enam angka nol mata uangnya, sehingga satu juta (1.000.000) lira lama bisa diubah menjadi satu lira baru (new Turkish lira), pada 1 Januari 2005. Sebelumnya, lira Turki merupakan salah satu mata uang dunia yang terlemah sepanjang sejarah.
Pada 2001 misalnya, 1 dollar AS ekuivalen dengan 1,65 juta lira Turki lama ! Pecahan uang (bank notes) lira ada yang mencapai 20 juta lira selembar ! Inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) tercermin dari harga sebotol air mineral 300 ribu lira, tiket bioskop 7,5 juta lira dan Toyota Corolla 33 miliar lira!
Redenominasi lira Turki dengan menghilangkan enam angka nol bukanlah yang paling dramatis. Brasil pernah menghapus 18 angka nol dalam empat kali redenominasi; Argentina 13 angka nol dalam empat kali; Israel 9 angka nol dalam empat kali; Bolivia 9 angka nol dalam dua kali; serta Peru 6 angka nol dalam dua kali. Sedangkan redenominasi yang menghapus angka nol lebih sedikit adalah: Ukraina (5 angka nol), Polandia (4), Meksiko (3), Rusia (3) dan Islandia (2).
Awalnya, Turki sukses mengawal kurs lira. Sesudah redenominasi, satu dollar AS ekuivalen 1,34 lira (2005); kemudian 1,50 lira (2010); 2,72 lira (2015); 3,02 lira (2016); 3,65 lira (2017); lalu 7,23 lira; sebelum membaik ke 6 lira per dollar AS (2018). Mengapa lira sampai terdepresisasi secara dalam ? Jawabnya adalah ketidakpercayaan (distrust) karena kinerja dan reputasinya perekonomian yang kurang baik. Defisit transaksi berjalan yang mestinya maksimal 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dilanggar ke 5,5 persen, utang pemerintah 60 persen terhadap PDB.
Perekonomian Turki juga memiliki ketergantungan yang tinggi pada pendanaan asing, utang luar negerinya 53 persen terhadap PDB, di mana 70 persen utang luar negeri tersebut dilakukan oleh sektor swasta. Situasi utang inilah yang dinilai Krugman memiliki kemiripan dengan Indonesia pada 1998.
Yang menarik, bagaimana mungkin lira Turki terperosok justru tatkala pada tahun lalu perekonomiannya bisa tumbuh tinggi 7,4 persen. Bagaimana menjelaskannya ? Ekonom Harvard keturunan Turki, Dani Rodrik, mengatakan bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga berkontribusi. Perekonomian Turki pada dasarnya dipacu oleh mudahnya kredit dikucurkan. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibangun dari tumpukan utang yang tidak proporsional, akan berujung nestapa. Dan sekarang ini, kata Dani, Turki sedang mengalaminya (“The Economic Costs of Erdogan”, Project Syndicate, 24/8/18).
Perbandingan
Ada beberapa statistik menarik yang bisa diperbandingkan antara Turki dan Indonesia. Para ekonom sepakat bahwa Turki mengalami krisis karena menumpuknya utang luar negeri (pemerintah dan swasta), yang saat ini posisinya USD 453 miliar. Sedangkan Indonesia, sekarang utang luar negerinya lebih rendah, USD 387 miliar.
Dalam hal cadangan devisa, Turki (USD 124 miliar) sedikit lebih baik daripada Indonesia (USD 118 miliar). Yang juga menarik, sebelum terjadi gonjang-ganjing kenaikan suku bunga AS pada 2018, cadangan devisa Turki pernah mencapai puncaknya USD 142 miliar (Oktober 2017), sedangkan Indonesia USD 132 miliar (Februari 2018). Statistik lain adalah: PDB Turki USD 900 miliar, sedangkan Indonesia USD 1 triliun.
Jadi, apa kesimpulan dari kasus Turki dan pelajaran terpenting apa yang bisa dipetik bagi Indonesia ?
Pertama, soal utang luar negeri, jika dibandingkan dengan PDB, Turki (50 persen) jauh lebih jelek daripada Indonesia (38 persen). Sedangkan jika dibandingkan dengan cadangan devisa, kondisi Turki (3,6 kali lipat) juga tetap lebih jelek dibandingkan Indonesia (3,2 kali lipat).
Kedua, meski sempat mengalami sukses redenominasi (memangkas enam angka nol pada lira lama ke lira baru), namun jika tidak bisa menjaga stabilitas harga (inflasi mencapai digit ganda), maka mata uang lira baru pun akan kembali terkoreksi. Ini pelajaran penting bagi Indonesia yang juga merencanakan melakukan redenominasi.
Ketiga, sekalipun kondisi utang Indonesia masih lebih baik daripada Turki, namun kewaspadaan terhadap posisi utang merupakan hal yang wajib. Upaya pemerintah untuk menekan defisit anggaran menjadi di bawah 2 persen menjadi relevan dan esensial. Berarti pemerintah memang harus “menginjak rem” pembangunan infrastruktur, yang belum terlihat dari anggaran infrastruktur yang mencapai Rp 420 triliun (2019), yang masih lebih tinggi daripada posisi saat ini Rp 410 triliun (2018).
Keempat, kita perlu juga mendengar pendapat Krugman, bahwa kebijakan pengawasan devisa (capital control) secara sementara, perlu diaplikasikan. Kebijakan ini perlu dilakukan dalam jangka pendek hingga kondisi kurs mulai stabil pada level yang wajar (mencerminkan kondisi fundamental perekonomian). Indonesia sejauh ini baru sampai pada taraf mengimbau para pelaku ekonomi menaruh devisanya di dalam negeri. Langkah yang lebih mengikat masih diperlukan untuk menangkal depresiasi rupiah lanjutan.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.