Gatra – Kolom Ekonomi, Rabu 11 Juli 2018
Musuh terbesar yang menyebabkan kurs rupiah akhir-akhir ini merosot secara signifikan sebenarnya bukan cuma kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed), melainkan juga gara-gara kenaikan harga minyak dunia. Inilah alasan yang paling rasional untuk menjelaskan fenomena pelemahan rupiah yang persentasenya termasuk tinggi dibandingkan dengan negara-negara emerging markets yang lain. Rupiah ibarat terkena “sandwich” alias terimpit dari dua arah: dari The Fed dan dari para produsen minyak. Masih adakah harapan kita untuk keluar dari impitan ini ?
Berapa Suku Bunga Normal Baru ?
Bahwa era suku bunga rendah sudah berakhir, kita sudah memahaminya. Era suku bunga rendah global terjadi ketika Amerika Serikat memeloporinya sejak 2009, sebagai upaya melawan krisis finansial global pada 2008. Sebelum krisis, suku bunga AS melambung tinggi hingga di atas 6%, untuk mengatasi kenaikan inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia yang tidak lazim, hingga US$ 147 per barel.
Secara bertahap suku bunga AS diturunkan hingga 0,25%. Inilah suku bunga terendah di AS yang menyerupai level suku bunga di Jepang, yang sudah melakukannya sejak dasawarsa 1990-an. Tren suku bunga rendah ini pun diikuti hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mengapa ? karena kombinasi suku bunga rendah dan pencetakan uang di AS (easy money policy) menyebabkan likuiditas dolar AS menjadi longgar. Pasokan dolar AS meningkat pesat (hingga US$ 4,5 trilyun) dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perekonomian global pun menikmati dua hal: kurs dolar AS menjadi murah (itulah sebabna rupiah pernah menguat hingga Rp 8.600 per dolar AS pada Juli – Agustus 2011) dan suku bunga bisa ditekan ke bawah. Suku bunga acuan Bank Indonesia pun (7 days reverse repo rate) bisa diturunkan ke 4,25%.
Namun situasi tersebut kini sudah berakhir. Seiiring dengan membaiknya perekonomian AS, The Fed pun mulai mencanangkan “normalisasi suku bunga”, pada era Janet Yellen, yang kemudian dilanjutkan oleh Jerome Powell saat ini. Ide dasarnya adalah likuiditas dolar AS yang beredar dalam jumlah berlebihan akan rawan terjadinya tindak spekulasi. Ini sesuai dengan teori permintaan uang John Maynard Keynes (1936), bahwa kebutuhan likuiditas dipengaruhi oleh tiga motif, yakni transaksi, berjaga-jaga (precautionary) dan spekulasi.
Rezim suku bunga yang terlalu rendah hanyalah bersifat sementara, tidak boleh dibiarkan terlalu lama. AS pasti belajar dari pengalaman Jepang. Negara ini mengalami situasi almost zero pada suku bunga, inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, negara yang menerapkan kebijakan suku bunga rendah mengalami inflasi rendah (nyaris nol persen, bahkan sesekali deflasi), pada akhirnya hanya akan menuai dampak negatif berupa pertumbuhan ekonomi yang rendah pula (hampir nol persen).
The Fed tentu saja tidak ingin hal itu terjadi. AS tetap butuh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, misalnya minimal 2 %. Karena itulah, ketika situasi mulai memungkinkan sejak Mei 2013, The Fed secara pelan-pelan menaikkan suku bunganya. Kini, suku bunga acuan (Fed fund rate, FFR) sudah mencapai 2% dari posisi sebelumnya 0,25%.
Pertanyaan besarnya adalah, sampai seberapa tinggi level suku bungan yang dianggap new normal bagi perekonomian AS ? ini yang harus kita “cari” agar kita juga punya ekspektasi tentang berapa suku bunga new normal untuk Indonesia. Langkah pertama yang harus kita tempuh ialah mencoret level suku bunga 6%, yang pernah terjadi pada saat AS merespon inflasi yang ditimbulkan oleh rekor tertingggi harga minyak dunia. Suku bunga setinggi itu tidak realistis pada saat ini, apalagi harga minyak sekarang hanya separuh dibandingkan dengan saat itu.
Langkah kedua adalah menelisik suku bunga yang pernah dianggap ideal pada era old normal. Menurut saya, benchmark terbaik suku bunga pada era perekonomian modern AS adalah saat The Fed dipimpin oleh Alan Greenspan. Pada dasawarsa 1990-an, Alan Greenspan berhasil menurunkan suku bunga dan berada pada level normal 2 – 3%. Inilah tampaknya “suku bunga ideal” sebelum era sekarang.
Langkah ketiga adalah mengetahui ekspektasi inflasi saat ini. Pada saat Ketua The Fed masih Janet Yellen, dia berkali – kali mengatakan bahwa inflasi yang dia kehendaki adalah “sekitar 2%”. Yellen tidak ingin inflasi AS terlalu rendah, karena hal tersebut bisa merepresentasikan gairah belanja yang lesu, tidak antusias. Padahal, sekitar 60% produk domestik bruto AS disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Saat ini, inflasi AS mencapai 2,5 % dan sejauh ini The Fed tampaknya senang dengan situasi ini. Bisa jadi, inilah ekuilibrium inflasi yang mereka dambakan. Jika benar demikian, dengan asumsi suku bunga acuan berada pada 50 basis poin di atasnya, maka berarti ketemu angka 3% sebagai benchmark rate. Jadi, The Fed masih punya rentang 1% (100bps) ke depan menujunya, karena saat ini suku bunga acuan 2% (tepatnya rentang 1,75 – 2,00 %).
Pertanyaannya sekarang : berapa lama The Fed akan mencapai target suku bunga acuan 3% tersebut ? apakah kenaikan 50 bps akan dilakukan pada semester II tahun ini, lalu sisanya 50 bps pada tahun depan ? jika begini, apakah skenario ini tidak terlalu cepat ? bukankah dolar AS akan terus menguat terhadap seluruh mata uang dunia, yang berakibat buruk pada defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalannya ? bukankah Presiden Trump sedang mengobarkan perang dagang terhadap rival-rival perdagangan utamanya, khususnya Cina yang menuai surplus besar US$ 375 milyar terhadap AS ?
Upaya The Fed untuk menaikkan suku bunga secara cepat sebenarnya kontraproduktif dan bertentangan dengan keinginan untuk mengurangi defisit perdagangan. Sementara itu, di luar variabel perdagangan, kinerja perekonomian AS sedang bagus: pertumbuhan ekonomi 2,9%, inflasi 2,5% dan pengangguran hanya 3,8% (terendah dalam 14 tahun terakhir! ). Jadi untuk apa lagi The Fed terburu-buru menaikkan suku bunganya tahun ini ? mestinya mereka berpikir untuk menjadwalkan kembali, menjadi lebih lambat. Inilah celah yang kalau dilakukan The Fed akan bisa mengurangi tekanan depresiasi rupiah lebih lanjut.
Harga Minyak
Kenaikan harga minyak menjadi US$ 77 per barel (jenis brent) dan US$ 72 per barel (west texas intermediate-WTI) juga membuat runyam rupiah. Apa hubungannya ?
Sebagai negara net importer minyak (produksi 800.000 barel per hari, konsumsi 1,6 juta barel per hari), Indonesia cukup terpukul ketika harga minyak saat ini melebihi US$ 70 per barel, padahal pemerintah mengasumsikan cuma US$ 48 per barel.
Kenaikan harga minyak tersebut ikut menikam rupiah karena kredibilitas fiskal menjadi tereduksi. Kurs rupiah banyak dipengaruhi oleh kredibilitas moneter dan sutainabilitas fiskal. Pemerintah dihadapkan pada dilema. Jika kenaikan harga minyak dunia ini dibebankan kepada masyarakat berupa kenaikan harga BBM akan menyebabkan penurunan daya beli dan kenaikan inflasi. Belum lagi aspek politisnya yang mesti dihitung juga. Namun, jika beban tersebut diinternalisasi APBN, ruang fiskal untuk melakukan stimulasi menjadi menyempit.
Meski demikian, ternyata harga minya tinggi ini juga tidak disukai Presiden Trump. Dia menyerukan Arab Saudi agar menaikkan produksinya, supaya harga turun. Padahal, minyak duna mencapai US$ 80 per barel dengan cara menurunkan produksinya.
Kalau saja Presiden Trump ternyata sakti dan Saudi berhasil dilobi, inilah celah kemungkinan harga miyak akan turun. Dengan kata lain, dari sisi eksternal-global, kita Indonesia berharap pada dua hal berikut ini. Pertama, The Fed mengerem agresivitasnya dalam menaikkan suku bunganya pada semester II tahun ini. AS sebenarnya tidak terlalu urgen untuk menaikkan suku bunga hingga mencapai 2,5% pada akhir tahun ini, toh berbagai indikator ekonomi makronya sudah sangat baik. Kenaikan suku bunga bisa diulur ke tahun depan.
Kedua, lagi – lagi faktor AS bisa menentukan. Jika Presiden Trump bisa menaklukkan Saudi soal produksi minyak, harga minyak dunia bisa diredam eksploisivitasnya. Harga minyak dunia bisa kembali ke level yang lebih normal, misalnya US$ 60 per barel.
Sebenarnya, masih ada cara lain yang bisa menurunkan harga minyak dunia, yakni jika pertumbuhan ekonomi global melemah sehingga demand minyak menurun. Indikasi awal sudah ada. Direktur pelaksana IMF Christine Lagarde menggambarkan perekonomian dunia sebagai “langit kian mendung”. Perekonomian global semula diproyeksikan tumbuh 3,9% tahun ini tampaknya harus terkoreksi karena kombinasi masalah : (1) kenaikan suku bunga AS, (2) perang dagang, (3) berkurangnya stimulus fiskal AS, (4) melemahnya pertumbuhan ekonomi China serta (5) kenaikan utang emerging markets yang diantaranya disebabkan oleh apresiasi dolar AS.
Sambil berharap dari sedikit celah harapan agar kondisi eksternal membaik, pemerinta Indonesia perlu melakukan sesuatu. Setelah BI melakukan pengetatan moneter, pemerintah perlu mengompensasikannya dengan pelonggaran sisi fiskal. APBN 2018 yang didesain dengan defisit hanya 2,19% terhadap PDB perlu sedikit relaksasi, misalnya menjadi 2,5% terhadap PDB. Level ini masih terhitung konservatif karena batas toleransinya adalah 3% terhadap PDB.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.