Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 26 Juni 2018
“Langit perekonomian global kini kian mendung”, demikian kalimat kiasan yang akhir-akhir ini sering diucapkan pemimpin IMF Christine Lagarde, untuk menggambarkan kondisi perekonomian global saat ini yang dilanda perang dagang (CNN, 12/6/18). Proteksionisme menjadi awan tergelap yang memayungi horison perekonomian dunia.
Padahal, lanjut Christine, perekonomian dunia belakangan ini sedang dalam arah yang benar, setelah sepuluh tahun silam terjerumus dalam krisis finansial global (krisis subprime mortgage) pada 2008-2009. IMF memproyeksikan perekonomian global bakal tumbuh 3,9 persen tahun ini, merupakan yang tertinggi sejak 2011. Namun membaiknya perekonomian global kini terusik perang dagang AS, yang dipicu oleh defisit besar perdagangan AS terhadap China, USD 375 miliar (2017). Ekspor AS ke China hanya USD 130 miliar, sedangkan impornya USD 505 miliar.
AS baru saja mengumumkan tarif senilai USD 50 miliar terhadap China, serta terhadap mitra dagang utamanya, yakni Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada. Praktik perdagangan yang tidak adil ini dengan cepat menimbulkan aksi balasan. Maka, perang tarif pun tak terhindari, dan bisa menjalar ke seluruh dunia. Perekonomian dunia pun akan dilanda inefisiensi, karena konsumen akan membayar lebih mahal terhadap barang-barang yang mereka beli.
Christine Lagarde menambahkan, bahwa langit perekonomian kian berawan tatkala proteksionisme AS ini juga diikuti dengan (1) pengetatan moneter, yaitu kenaikan suku bunga oleh AS; (2) utang luar negeri yang meningkat di negara-negara emerging markets; (3) stimulus fiskal AS mulai berkurang; serta (4) perlambatan pertumbuhan ekonomi China yang masih berlanjut (Bloomberg, 25/5/18).
Isu-isu strategis tersebut juga berlaku bagi Indonesia. Misalnya utang luar negeri Indonesia, yang nominalnya USD 357 miliar, dalam kurs rupiah terakhir ekuivalen Rp 5.000 triliun. Secara psikologis, angka ini tampak menyeramkan, namun sebenarnya secara relatif masih aman, karena masih 36 persen terhadap PDB, dari batas atas aman 60 persen. Saat ini PDB kita di atas Rp 14.000 triliun, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan PDB triliunan dollar AS, yang di seluruh dunia hanya ada 16 negara. Indonesia adalah negara terbaru yang masuk kelompok ini pada 2017. Di belakang kita ada Belanda, Turki, Arab Saudi, Swiss, Argentina, Polandia dan seterusnya.
“Mendung” terbesar bagi Indonesia saat ini adalah depresiasi rupiah yang dipicu oleh kenaikan suku bunga acuan AS, yang saat ini 2 persen. Tahun ini The Fed diwacanakan hendak menaikkannya dua kali lagi menjadi 2,50 persen. Sebenarnya kebijakan The Fed tersebut kontraproduktif terhadap upaya memangkas defisit perdagangan AS. Defisit perdagangan total AS saat ini mencapai USD 580 miliar, yang pasti tidak akan terbantu oleh dollar AS yang terus menguat.
Konflik kepentingan
Jadi, sebenarnya terjadi konflik kepentingan antara menaikkan suku bunga dengan menekan defisit perdagangan AS. Keduanya tidak sinkron. Ketua The Fed seharusnya mengevaluasi kembali rencana kenaikan suku bunga yang agresif tahun ini. Yang diperlukan adalah gradualisme, kenaikan bertahap. Suku bunga acuan 2,5 persen tidak harus segera direalisasikan tahun ini. Ketua The Fed Jerome Powell seharusnya perlu mengulurnya ke tahun depan, tidak perlu terburu-buru. Untuk apa?
Kenaikan suku bunga The Fed terbaru yang dilakukan pada saat Indonesia tengah libur Lebaran, menyebabkan rupiah kembali di atas Rp 14.000 per dollar AS. Karena itu, menjelang dilakukannya rapat dewan gubernur (RDG) pada 27-28 Juni ini, Bank Indonesia pasti akan memantau terus perkembangan rupiah. Jika kurs rupiah masih lebih lemah daripada level fundamentalnya, pasti BI akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5 persen.
Pada posisi suku bunga acuan saat ini 4,75 persen, banyak pemilik likuiditas (penabung) yang kurang nyaman karena selisihnya terlalu tipis terhadap ekspektasi inflasi 4 persen, meski saat ini inflasi year on year terjaga 3,23 persen (Mei 2018). Berbeda dengan di negara-negara maju dan sebagian emerging markets, pasar uang di Indonesia belum terbiasa dengan situasi di mana suku bunga acuan dengan inflasi berbeda tipis.
Jepang adalah contoh terbaik di mana suku bunga dan inflasinya hampir sama, yakni mendekati nol persen. Pasar uang di Indonesia cenderung sensitif, karena besarnya kepemilikan dana asing. Kurang setianya pemilik valuta asing dari ekspor untuk menaruh dananya di dalam negeri juga menambah masalah, meski hal ini sudah mulai ditertibkan dengan kebijakan amnesti pajak.
Banyak kritik terhadap kenaikan suku bunga BI, terutama dikaitkan dengan lemahnya ekspansi kredit perbankan. Untuk ini, BI tampaknya menyiapkan “bantalannya”, yakni relaksasi LTV (loan to value). Kebijakan ini prinsipnya memberi kemudahan kepada konsumen untuk memiliki lebih sedikit uang muka untuk membeli secara kredit properti dan kendaraan. Relaksasi LTV diharapkan mendorong konsumen untuk mengeksekusi rencana belanjanya.
Jadi, kebijakan BI nanti harus beriringan antara kenaikan suku bunga dengan relaksasi LTV. Kenaikan suku bunga dimaksudkan untuk menahan valuta asing untuk tidak kabur dari Indonesia, yang menyebabkan penurunan cadangan devisa (kini USD 122 miliar). Kebijakan ini pasti akan berdampak negatif pada ekspansi kredit di industri perbankan. Untuk menolongnya, relaksasi LTV merupakan salah satu “bantal”-nya, kendati tidaklah terlalu empuk.
Stabilitas rupiah merupakan prioritas tertinggi saat ini, melebihi yang lain. Karena rupiah yang terdepresiasi terlalu besar dapat mengganggu kepercayaan pasar terhadap fundamental ekonomi, menyusahkan pembayaran utang luar negeri, menaikkan inflasi yang berasal dari barang dan jasa impor, dan tidak otomatis bisa menaikkan ekspor (tergantung elastisitas permintaan barang-barang ekspor kita).
Semoga awan perekonomian global tidak menjadi kian gulita, sebagaimana dikhawatirkan Christine Lagarde. Pengendalian diri dan kesabaran negara-negara kunci seperti AS dan China dalam perang dagang dan pengetatan moneter akan menjadi faktor penentunya. Posisi Indonesia berada pada pendulum ini.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.