Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 05 Juni 2018
Untuk meredam depresiasi rupiah, Gubernur Bank Indonesia yang baru, Perry Warjiyo, dengan cepat memutuskan kebijakan suku bunga yang bersifat ahead the curve (“mendahului kurva”). Hasilnya efektif. Rupiah mulai “jinak” menuju level fundamentalnya di bawah Rp 14.000 per dollar AS. Tahun ini rupiah terdepresiasi 4,6 persen, sebelum menguat 0,4 persen sesudah suku bunga acuan dinaikkan ke 4,75 persen.
Dalam dua pekan selama Mei 2018, BI menaikkan suku bunga dua kali. Langkah ini sebenarnya agak terlambat, karena telah menyebabkan penurunan cadangan devisa dari hampir USD 132 miliar (Februari) menjadi USD 124 miliar (awal Juni). Kini BI pun lebih bersikap pro-aktif mendahului kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan bakal dilakukan saat menggelar rapat Federal Open Market Committee (FMOC), pada 12-13 Juni nanti.
Tak bisa dihindari
Kenaikan suku bunga merupakan respons kebijakan yang tak terhindari. Kinerja perekonomian AS yang sedang bagus (pertumbuhan ekonomi 2,9 persen, inflasi 2,5 persen dan pengangguran cuma 3,9 persen), berkombinasi dengan suku bunga acuan naik (1,50-1,75 persen), merupakan daya sedot yang amat kuat bagi likuiditas global untuk megalir ke New York. Akibatnya dollar AS menguat terhadap hampir semua mata uang.
China, pemilik cadangan devisa terbesar di dunia (USD 3,125 trilun), sudah menaikkan suku bunga acuannya (7-day reverse repurchase agreement) menjadi 2,55 persen pada bulan Maret, sebagai respons terhadap kenaikan suku bunga AS. Turki, yang mata uangnya (lira) terdepresiasi 23 persen selama tiga bulan, menaikkan suku bunga acuannya 300 basis poin (bps). Argentina yang mata uangnya (peso) melemah 8,78 persen dalam dua bulan, menaikkan suku bunga acuan 12,75 persen ke level 40 persen pada awal Mei (Financial Times, 30/5/18). Depresiasi rupiah termasuk agak tinggi, tapi kalah jauh dibandingkan Turki dan Argentina.
Pada umumnya, negara-negara yang mata uangnya tertekan bercirikan menderita defisit transaksi berjalan (current account deficit), yakni defisit yang disebabkan oleh selisih antara ekspor dengan impor untuk barang dan jasa. Sedangkan untuk ekspor dan impor barang saja, Indonesia biasanya masih bisa surplus. Tahun 2017, surplus kita USD 12 miliar, yakni ekspor USD 169 miliar dikurangi impor USD 157 miliar. Sayangnya, pada neraca jasa kita mengalami defisit besar.
Rasio defisit transaksi berjalan kita terhadap PDB saat ini 2,1 persen, sebenarnya jauh lebih rendah daripada Argentina (5,5 persen) dan Turki (5,7 persen). Sedangkan negara-negara yang mata uangnya lebih stabil biasanya mencapai surplus transaksi berjalan, misalnya China (positif 1,1 persen), Malaysia (3,2 persen), Hong Kong (4 persen), Korea Selatan (4,7 persen), Thailand (10,2 persen), Taiwan (13,9 persen), dan tertinggi Singapura (20,6 persen) (The Economist, 26/5-1/6/18).
Indikator lain yang berpengaruh terhadap kurs adalah utang luar negeri. Dua puluh tahun silam, saat krisis 1998, rupiah terdepresiasi tajam dari Rp 2.300 per dollar AS (Oktober 1997) menjadi Rp 15.000 per dollar AS (Januari 1998) karena ketidakseimbangan antara utang luar negeri (USD 130 miliar) versus cadangan devisa (USD 23 miliar). Kini situasinya sudah jauh lebih baik. Utang luar negeri (pemerintah dan swasta) memang meningkat menjadi USD 357 miliar, Namun cadangan devisa juga melonjak menjadi USD 124 miliar.
Estimasi terbaru oleh lembaga pemeringkat Moody’s mengungkapkan, bahwa rasio utang luar negeri terhadap cadangan Indonesia setara dengan Vietnam dan lebih baik daripada India, namun kalah baik dibandingkan Korea Selatan, China, Thailand dan Filipina. Rasio terburuk adalah Malaysia. Sesudah PM Najib Razak kalah pemilu, kini muncul data bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB Malaysia sudah mencapai 60 persen, dari batas toleransi 55 persen.
Sedangkan Indonesia, masih mempertahankan level di bawah 30 persen dari batas toleransi 60 persen. Malaysia jauh lebih jelek, dan dengan kemungkinkan adanya manipulasi data, datanya bisa jadi mencapai 80 persen, Itulah sebabnya PM Mahathir Mohamad kini memangkas berbagai proyek raksasa, untuk menghindari Malaysia ke jurang kebangkrutan.
Tekanan terhadap rupiah menjadi lebih besar, tatkala harga minyak dunia kini melejit ke USD 77 per barrel (jenis Brent) dan USD 65 per barrel (WTI). Kenaikan harga minyak menyebabkan tekanan fiskal kian berat, berupa alokasi subsidi BBM yang lebih besar, sehingga mengurangi daya stimulus fiskal. Pasar pun akan memasukkan faktor ini ke dalam valuasi rupiah. Karena itu, rupiah pun menjalani tren menurun seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.
Jangka Pendek
Ikhtiar yang dilakukan BI saat ini merupakan tindakan jangka pendek. Kenaikan suku bunga adalah semacam “undangan” bagi investor global untuk kembali masuk ke Indonesia. Namun ke depannya, gejolak rupiah masih berpotensi terjadi di masa depan, sepanjang pekerjaan rumah (PR) fundamentalnya belum diselesaikan, yakni mengubah defisit transaksi berjalan menjadi surplus.
PR tersebut sebenarnya sudah mulai dicicil, namun memang belum tuntas dan perlu waktu. Pembangunan infrastruktur adalah dalam rangka mendorong konektivitas, menurunkan biaya logistik, kelak akan menaikkan daya saing. Dikombinasikan dengan perbaikan kualitas manusia (human capital) dan mengenyahkan hambatan birokrasi, semua itu akan bermuara pada surplus transaksi berjalan. Ini sebenarnya isu lama yang sudah membebani perekonomian Indonesia sejak lama, ketika kita dulu dipuji Bank Dunia (1994) sebagai salah satu negara yang termasuk kategori the east Asian miracle.
Sementara dalam jangka pendek ini, target pertumbuhan ekonomi tinggi yang semula dicanangkan oleh Presiden Jokowi, terpaksa harus dikoreksi. Pada saat ini, stabilitas rupiah harus menjadi prioritas utama. Pertumbuhan ekonomi kita tidak mungkin tinggi jika dibebani oleh pelemahan dan volatilitas rupiah, yang kemudian memicu pelemahan daya beli dan ketidakpastian investasi. Karena itu, pertumbuhan ekonomi 5,2 persen menjadi level yang paling realistis untuk dicapai pada tahun ini.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.