Kompas – Analisis Ekonomi, Selasa 9 Januari 2018
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 hampir bisa dipastikan tidak sampai menyentuh 5,1 persen. Namun pada sisi lain, indeks harga saham gabungan (IHSG) justru terus mencetak rekor baru, hingga mencapai 6.353 pada akhir pekan lalu. Kenapa bursa efek bergairah, namun tidak terefleksikan pada data pertumbuhan ekonomi?
Presiden Jokowi juga mengeluh, kenapa berbagai indikator perekonomian sudah membaik, namun belum bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan seperti “terperangkap” pada level 5 persen. Mengapa tidak bisa lebih?
IHSG bisa melejit karena bekerjanya beberapa faktor sekaligus. Pertama, kinerja laba emiten pada triwulan III-2017 yang tumbuh 19,48 persen dibandingkan setahun sebelumnya, telah mendorong kenaikan indeks hingga 20 persen sepanjang 2017. Berarti terjadi kenaikan yang paralel antara pertumbuhan laba emiten dengan kenaikan indeks harga saham, yang sama-sama 20 persen.
Kedua, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ke level 4,25 persen telah menyebabkan penurunan suku bunga deposito secara signifikan. Penurunan suku bunga ini juga sejalan dengan infasi yang rendah 3,61 persen. Namun hal ini belum otomatis diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Akibatnya, ekspansi kredit perbankan juga lemah, hanya 8 persen dari target 12 persen. Padahal, ekspansi kredit merupakan motor penting untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, rendahnya suku bunga di bank justru bisa menjadi pendorong dana berpindah dari bank ke pasar modal. Hal ini pernah pula terjadi di Amerika Serikat pada 1990-an. Ketika Kepala The Fed Alan Greenspan berhasil menurunkan suku bunga ke level 2 persen, ternyata hal itu diikuti dengan berpindahnya dana orang kaya dari bank ke bursa efek di New York. Begitu antusiasnya investor di New York, sehingga mereka pun memborong surat-surat berharga yang sebetulnya berkualitas kurang baik. Inilah asal mula terjadinya fenomena junk bonds.
Prinsipnya, hubungan antara sektor perbankan dan pasar modal seperti bejana berhubungan. Ketika suku bunga bank naik, pemilik dana akan senang menaruh dananya di bank. Sebaliknya ketika suku bunga bank turun, dana pun akan mengalir dari bank ke pasar modal yang lebih menjanjikan return lebih tinggi.
Ketiga, bisa jadi pasar modal Indonesia terkena imbas bergairahnya pasar modal New York. Dalam setahun pertama Donald Trump menjadi Presiden AS, indeks harga saham di Wall Street telah memecahkan rekor sampai 90 kali (!) ke level 25.295. Menguatnya indeks saham AS ini terutama dipicu oleh kebijakan pemotongan tarif pajak yang dinilai akan memberi stimulus besar terhadap perekonomian AS.
Jadi, fenomena yang sekarang terjadi adalah, perekonomian justru lebih bergairah di pasar modal daripada di sektor riil. Meski sebenarnya dana di pasar modal itu pun pada putaran selanjutnya akan mengalir ke sektor riil melalui mekanisme transmisi penambahan kapasitas produksi dan penciptaan lapangan kerja, namun hal ini tidaklah bisa dilakukan seketika, perlu waktu. Sayangnya, sebelum dana tersebut benar-benar efektif mengalir ke sektor riil, bisa saja harga saham terkoreksi duluan.
Memasuki 2018, kita mempunyai beberapa modal untuk menghela pertumbuhan ekonomi. Pertama, stabilitas rupiah yang didukung dengan menguatnya cadangan devisa yang kini melampaui USD 130 miliar. Ini sebuah pencapaian yang signifikan, tatkala sebagian besar negara mengalami penurunan cadangan devisa (akibat dana mengalir terutama ke AS), Indonesia justru memecahkan rekor tertinggi cadangan devisa. Cadangan devisa terendah kita dalam lima tahun terakhir adalah USD 93 miliar (Juli 2013). Devisa masuk antara lain berasal dari repatirasi (hasil dari amnesti pajak) sebesar USD 10 miliar, dari semestinya USD 11 miliar. Dirjen Pajak masih berusaha mengejarnya lagi.
Kedua, investasi pada triwulan III-2017 tumbuh 13,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Statistik ini diharapkan bisa mengkompensasikan data pertumbuhan konsumsi yang hanya 4,93 persen. Masalahnya, laju investasi ini memang tidak serta merta diterjemahkan menjadi konsumsi. Namun investasi akan menjadi pintu pembuka kenaikan daya beli pada tahap berikutnya. Target investasi 2017 sebesar Rp 679 triliun kemungkinan besar bakal tercapai. Ini akan menjadi modal yang baik untuk mendorong pertumbuhan konsumsi melebihi 5 persen pada 2018.
Ketiga, pemerintah tetap fokus pada pembangunan infrastruktur, dengan alokasi anggaran Rp 409 triliun dari APBN 2018 sebesar Rp 2.204 triliun. Jumlah ini signifikan, yang mestinya mampu menghela pertumbuhan ekonomi. Memang ada kritik bahwa APBN mulai dibebani utang. Namun sejauh ini, dua kriteria utama tidak dilanggar. Utang pemerintah terhadap PDB masih 28 persen, sedangkan defisitnya selalu di bawah 3 persen terhadap PDB. Namun bahwa kewaspadaan harus dijaga, itu benar.
Keempat, pemerintah menganggarkan program proteksi sosial Rp 129 triliun (termasuk dana desa Rp 60 triliun) dan sistem kesehatan yang lebih baik Rp 110 triliun. Dari sini saja terdapat stimulus fiskal Rp 239 triliun. Tapi harus dicek lagi, apakah anggaran tersebut betul-betul dapat dicairkan sehingga bisa menghela pertumbuhan ekonomi, ataukah ada hambatan birokrasi di level pelaksanaannya, termasuk di desa ? Hal yang sama juga mesti dicek lagi pada 16 paket deregulasi, apakah benar pelaksanaannya sudah sesuai ekspektasi ?
Sementara itu, kini diam-diam harga minyak pun mulai bergolak ke USD 67 per barrel. Ini bisa menimbulkan ketidakpastian baru terhadap masa depan perekonomian. Imbasnya ke perekonomian Indonesia bisa positif dan negatif sekaligus. Positif jika hal ini menyeret harga komoditas lain ikut naik (batu bara dan sawit). Namun menjadi negatif jika pemerintah terpaksa harus mensubsidi energi dalam jumlah besar. Namun saya masih melihat celah kemungkinan harga minyak naik bersifat sementara, karena secara fundamental masih terdapat kelebihan penawaran dibandingkan permintaan.
Dengan berbagai faktor yang kait mengait seperti itu, rasanya kita tetap dapat menjaga asa pertumbuhan ekonomi 2018 minimal 5,3 persen. Dalam situasi global yang masih rawan ketidakpastian ini, yang terpenting kita jaga tren dan momentum positif dulu, sebelum nantinya bisa tumbuh di atas 6 persen sesuai ekspektasi.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute