Kompas – Analisis Ekonomi, Senin 4 Desember 2017
Pekan lalu, harian Kompas kembali menyelenggarakan seminar tahunan yang menghadirkan 100 pimpinan perusahaan (CEO) nasional terpilih. Acara ini menjadi penting tatkala perekonomian nasional dan global masih dilanda kegalauan. Perekonomian dihinggapi ketidakpastian, sehingga pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia cenderung tertahan. Situasi ini sering disebut sebagai normal baru (new normal), yakni kondisi perekonomian sesudah terjadinya krisis finansial 2007-2008, yang berlanjut dengan krisis global 2008-2012, yang kemudian mencari level ekuilibrium baru.
Perekonomian China yang sebelumnya tumbuh dua digit pada 2001-2008, kini hanya bisa tumbuh 7 persen. IMF memperkirakan pertumbuhan China 6,8 persen (2017). Level ini memang masih melebihi India (6,7 persen). Tapi tahun depan, India (7,4 persen) akan menyalip China yang justru menurun (6,5 persen). Statistik ini menyiratkan satu hal: bahwa kondisi “normal baru” tidak harus diartikan pertumbuhan ekonomi selalu akan melemah. India ternyata justru tetap bisa naik. Sedangkan China, betapapun kuatnya kinerja pada periode sebelumnya, semua ada batasnya. Pelan-pelan China mulai berubah dari negara produsen menjadi negara konsumen. Dalam hal produksi, China mulai tersaingi tetangga terdekatnya, Vietnam, yang kini tumbuh 6,3 persen.
Karena itu, Indonesia tidak perlu mengartikan ekulilibrium “normal baru” sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah daripada sebelumnya (7 persen pada era Orde Baru dan 6 persen pada era reformasi). Indonesia masih bisa tumbuh lebih tinggi daripada 5,1 persen (2017) dan 5,3 persen (2018), asalkan terus melakukan banyak hal yang terbaik (best efforts).
Bahwa perekonomian Indonesia saat ini hanya tumbuh 5 hingga 5,1 persen, dan tahun depan 5,3 atau 5,4 persen, itu adalah fakta statistik. Namun jika kita lihat rincian pembentukan produk domestik bruto (PDB) triwulan III-2017, sebenarnya tetap menumbuhkan harapan. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang kurang baik (4,93 persen), karena normalnya di atas 5 persen.
Namun di sisi lain, pertumbuhan investasi mencapai 7,1 persen. Ini level yang signifikan, melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya 4,5 hingga 5,5 persen. Data ini sejalan dengan lonjakan tajam peringkat Bank Dunia untuk kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia (ease of doing business index), dari nomer 120 (2014) menjadi sekarang nomer 72 di dunia. Dalam tiga tahun melompat sampai 48 setrip! Jadi, data lonjakan investasi tersebut memang valid dan sesuai dengan persepsi para investor, terutama asing.
Kontributor lain yang signifikan adalah membaiknya neraca perdagangan kita pada Januari-September 2017, yang surplusnya melonjak menjadi USD 10,87 miliar, yang meningkat 70 persen daripada setahun sebelumnya. Lonjakan ini disumbang oleh kenaikan harga komoditas, terutama batubaru dan kelapa sawit. Kinerja ini pula yang bisa menjelaskan kepada cadangan devisa kita meningkat hingga USD 126,5 miliar, bahkan sebelumnya pernah mencapai USD 129,4 miliar. Kombinasi antara repatriasi hasil amnesti pajak, masuknya investasi asing langsung dan surplus ekspor berada di baliknya.
Namun, sederet statistik tersebut ternyata belum menggerakkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang masih di bawah 5 persen. Kenapa ? Karena hal-hal positif yang kita dapat tersebut, terutama investasi, masih memerlukan waktu (time lag) untuk ditransmisikan ke sektor riil berupa kenaikan daya beli dan gairah berbelanja.
Kenaikan investasi 7 persen memang sudah terjadi. Namun itu tidak berarti serta merta membuat orang kemudian berbelanja. Tidak ada dampak yang seketika. Perlu waktu tertentu bagi data kenaikan investasi itu untuk kemudian diterjemahkan menjadi penyerapan tenaga kerja baru, lalu menjadi daya beli riil (real purchasing power). Yang penting, kini bekalnya sudah ada, yakni kenaikan investasi.
Investasi menyumbang 33 persen terhadap pembentukan PDB, atau peringkat kedua setelah konsumsi rumah tangga (57 persen). Sisanya (10 persen) disumbang oleh belanja modal pemerintah dan neraca perdagangan. Investasi atau penambahan modal merupakan awal dari tercipta atau kian menguatnya daya beli di kemudian hari. Tugas pemerintah adalah menjembatani dan mempercepat proses transmisinya, berupa menciptakan insentif berupa sentimen positif agar individu dan rumah tangga mulai berani merealisasikan fungsi permintaannya.
Forum CEO Kompas 100 juga banyak menyinggung pesatnya perkembangan ekonomi digital. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo amat menaruh perhatian terhadap dinamikanya. Ini wajar, mengingat Indonesia adalah negara yang pertumbuhan pasar digitalnya tinggi. Dengan penduduk 262 juta orang, Indonesia memiliki 132 juta pengguna internet dan 104 juta pengguna aktif media sosial. Namun dari kesiapan infrastruktur digital, Indonesia masih tercecer. Menurut The Economist (2017), Indonesia cuma di peringkat ke 115 dalam kapabilitas koneksi internet, di bawah Korea Selatan (1), Hongkong (6), Singapura (20), Malaysia (61), Brunei (77), China (81), Thailand (82), dan Filipina (107). Luasnya wilayah Indonesia menjadi kendala terbesar.
Forum mengakui terjadinya fenomena pergeseran gaya hidup dan pola belanja. Melemahnya bisnis ritel konvensional merupakan realita yang terkait dengan maraknya bisnis digital. Namun tidak berarti belanja digital bakal menjadi substitusi 100 persen. Asalkan pelaku bisnis tetap inovatif dan mendorong efisiensi, belanja di toko konvensional tidak bisa sepenuhnya diganti. Peluang tetap ada.
Akhirnya, perlu bersabar sedikit agar Indonesia kembali mengalami pertumbuhan ekonomi normal di atas 5 persen. Perekonomian Indonesia belum jenuh, kesempatan untuk tumbuh lebih tinggi masih terbentang. Yang penting, pemerintah harus terus fokus membangun infrastruktur yang anggarannya mencapai 19 persen terhadap APBN. Level ini nyaris menyamai belanja sektor pendidikan. Inilah belanja infrastruktur terbesar sepanjang sejarah perekonomian kita, yang menjaga kualitas pertumbuhan ekonomi.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Pengajar pada Bank Indonesia Institute