Media Indonesia – Kolom Pakar, Senin 02 Oktober 2017
Rupiah dalam sepekan terakhir melemah cukup signifikan, dari Rp 13.300 menjadi Rp 13.450 per dollar AS. Penyebab utamanya lebih ke faktor eksternal, namun diduga kuat kebijakan penurunan suku bunga di Indonesia yang dilakukan pada momentum yang sama, bisa jadi ikut berperan. Apakah pelemahan rupiah ini merupakan respons sesaat ataukah merupakan tren jangka panjang ?
Penguatan dollar AS sesungguhnya terjadi tidak hanya terhadap rupiah, namun juga terhadap mata uang seluruh dunia, terutama tiga mata uang kuat dunia (hard currencies), yakni euro, yen dan pound sterling. Ada dua alasan utamanya.
The Fed Melepas Surat Berharga
Pertama, The Fed (bank sentral AS) telah memberi isyarat untuk menurunkan “keseimbangan” (balance) moneternya, yang kini mencapai USD 4,5 triliun. Seperti diketahui, sesudah perekonomiannya terkena krisis besar subprime mortgage pada 2008−2009, The Fed segera memberlakukan kebijakan quantitative easing (QE) selama tiga tahap hingga 2013. Intinya, The Fed di bawah Ben S. Bernanke mencetak uang (printing money) yang dananya digunakan untuk membeli surat berharga pemerintah AS (US Treasury bills dan US Treasury bonds).
Tujuan kebijakan ini adalah menghindari jatuhnya harga surat berharga pemerintah, karena terjadi aksi jual masif. Ketika banyak orang ingin menjual surat berharga, sementara pembelinya tidak ada, kejatuhan harga akan sangat berbahaya bagi kondisi pasar modal dunia. Krisis ekonomi akan semakin dalam dan tak terkendali.
Pada periode ini (2009-2013), jumlah peredaran dollar AS meningkat dengan USD 4,5 triliun, atau setara dengan 25 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Dana sebesar itu kemudian beredar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara emerging markets, terutama China yang menikmati rekor cadangan devisa terbesar di dunia hingga USD 4 triliun. Kebijakan QE ini mengiringi kebijakan relaksasi moneter, yakni menurunkan suku bunga secara bertahap hingga level terendah 0,25 persen.
Uniknya, kebijakan pencetakan uang ini ternyata tidak menimbulkan inflasi yang berlebihan di AS. Inflasi tertinggi “hanya” mencapai 3,8-3,9 persen pada Agustus 2011, di mana pada saat yang sama kurs dollar AS mencapai titik terendah. Sebalilnya bagi Indonesia, pada saat itu rupiah mengalami kurs terkuat pada level Rp 8.600 per dollar AS. Pada saat dollar AS melemah itulah, pelan-pelan perekonomian AS menikmati dampak positifnya: daya saingnya membaik. Perekonomian AS pun pelan-pelan membaik, kembali ke jalur yang benar.
Seiring dengan membaiknya perekonomian AS sejak Mei 2013, maka kebijakan uang longgar pun (easy money) mulai dihentikan. Yang pertama mereka lalukan adalah menaikkan suku bunga secara bertahap. Dalam kondisi normal, suku bunga yang dianggap wajar adalah 2 persen. Saat ini, suku bunga acuan (Fed fund rate) sudah berada di sekitar 1 hingga 1,25 persen. Artinya, masih ada ruang untuk kembali menaikkan suku bunga tahun ini menjadi 1,5 persen, pada paling lambat Desember 2017.
Pasar pun menunggu, kebijakan satunya lagi: kapan The Fed mengoreksi kebijakan QE ? Dengan kata lain, kapan mereka melepas kembali surat-surat berharga pemerintah AS yang dibelinya selama periode QE, antara 2009 hingga 2013 ? Pada pekan lalu, The Fed pun mulai memberi indikasi ke sana. Mereka akan kembali melepas surat-surat berharga itu, sehingga diharapkan akan terjadi aliran dollar AS dari pasar menuju ke The Fed. Dengan kata lain, akan terjadi absorpsi likuiditas dollar AS dalam jumlah besar.
Indikasi ini semakin kuat tatkala kita melihat pergerakan harga saham di New York. Indeks harga Dow Jones terus melanjutkan tren menguat dan memecahkan rekor baru hingga 22.412 pada 20 September 2017. Ini level yang fantastis, dibandingkan dengan indeks sebelum krisis 2008 (17.000), saat krisis 2009 (9.000), dan menjelang Presiden Barack Obama digantikan Donald Trump (18.500). Sejak Trump menjadi Presiden, telah terjadi pemecahan 58 kali rekor indeks Dow Jones, hal yang belum pernah dialami oleh Presiden AS sebelumnya.
Melonjaknya harga saham di New York memberi indikasi bahwa para investor global menunjukkan antusiasmenya untuk mengoleksi surat-surat berharga pemerintah AS yang akan dilepas, yang jumlahnya mencapai USD 4,5 triliun. Pelepasan memang akan terjadi secara gradual, karena jumlah tersebut sangatlah besar. Dalam dua-tiga tahun ke depan, aset surat berharga yang akan dilepas diperkirakan mencapai USD 2 triliun.
“Tax Cut”
Hal kedua yang memicu sentimen positf terhadap kurs dollar AS adalah kebijakan pemangkasan pajak, sebagaimana dijanjikan Trump dalam kampanyenya. Pemerintah AS akan memangkas pajak korporasi dan pajak individu dari 35 persen ke 20 persen. Di satu sisi, hal ini akan membuat penerimaan pajak pemerintah AS akan berkurang hingga USD 5,8 triliun dalam beberapa waktu ke depan. Masalahnya, bagaimana pemerintah AS harus menutup lubang yang ditinggalkan oleh penerimaan pajak yang berkurang ini ?
Jawabannya cuma satu: menambah utang. Masalahnya, bukankah utang pemerintah AS sudah melampaui Produk Domestik Bruto (PDB)-nya, sehingga pada era Presiden Obama pernah terjadi shut down, yakni parlemen (Kongres) AS tidak mengizinkan pemerintah AS (eksekutif) untuk menambah utang ? Akibatnya waktu itu, pemerintah tidak punya duit untuk mengongkosi sebagian pelayanan publik (public services) sampai dua minggu ? Akankah peristiwa memalukan ini bakal terulang ?
Entah apa yang bakal terjadi, Di satu pihak pemotongan pajak bakal melukai keuangan negara (fiskal), namun di sisi lain bakal menggairahkan perekonomian nasional melalui jalur swasta. Konsumsi masyarakat akan meningkat, karena kenaikan pendapatan yang bisa dibelanjakan (disposable income). Dengan permintaan konsumsi agregat yang meningkat, maka pada putaran berikutnya akan menggugah para produsen untuk menaikkan kapasitas pasokannya. Inilah esensi dari supply-side economics yang tampaknya hendak diacu oleh Presiden Trump, sebagai déjà vu dari strategi perekonomian pada era Presiden Ronald Reagan pada dua periode 1981−1989.
Sentimen apakah yang lebih dominan ? Sentimen negatif karena pemerintah AS harus menambah utang sebesar USD 5,8 triliun (yang berarti lebih besar daripada dana QE USD 4,5 triliun) ? Ataukah sentimen positif karena penurunan tax rate akan menggiatkan angka pengganda (multiplier effect) dari sisi belanja masyarakat ? Dalam komposisi pembentukan PDB, variabel konsumsi masyarakat (government expenditure) jauh lebih besar daripada kontribusi belanja modal pemerintah (government expenditure). Mungkin karena hitung-hitungan inilah maka pasar cenderung merespons positif rencana kebijakan pajak Trump ini dengan apresiasi dollar AS.
Prospek Rupiah
Berdasarkan analisis tersebut, maka apresiasi dollar AS, atau depresiasi rupiah, menjadi tak terelakkan. Namun, sampai seberapa lama hal ini akan terjadi ? Sebenarnya rupiah saat ini sedang dalam posisi aman, karena kuatnya dukungan cadangan devisa yang kini mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah: USD 128,8 miliar. Sebagai perbandingan, cadangan devisa saat krisis 1998 adalah hanya USD 20 miliar; sedangkan saat puncak QE adalah USD 124,7 miliar (2011); sedangkan rekor terendah beberapa tahun terakhir ini adalah USD 92,67 miliar (Juli 2013).
Kuatnya cadangan devisa ini merupakan hasil kombinasi antara: (1) mengalir masuknya modal global, karena kepercayaan yang meningkat terhadap perekonomian domestik kita; (2) neraca perdagangan sudah kembali ke jalur surplus, seiring dengan membaiknya harga komoditas primer dan daya saing produk-produk kita; serta (3) keberhasilan program amnesti pajak menggaet pulangnya devisa repatriasi hingga Rp 147 triliun atau setara USD 11 miliar.
Di tengah-tengah optimisme itulah, Bank Indonesia kemudian berani menurunkan suku bunga acuannya lagi menjadi 4,25 persen, pada 22 September 2017. Maksud BI tentu saja untuk mendorong kembali konsumsi masyarakat yang cenderung lemah. Juga ekspansi kredit perbankan hanya 8 persen pada tahun ini, dari target semula 12 persen atau lebih. Namun sayangnya, tampaknya penurunan suku bunga ini tidak didukung waktu yang tepat. Karena di luar dugaan, penurunan suku bunga ini justru berbarengan dengan sentimen positif terhadap USD karena relaksasi moneter dan insentif fiskal di AS.
Meski demikian, saya masih memiliki asa bahwa situasi ini hanya berlangsung sesaat. Penguatan kurs dollar AS dan bullish di pasar modal New York tentunya tidak bisa berlangsung terus menerus, tanpa ada batasnya. Semuanya ada titik jenuhnya. Ingat pengalaman perekonomian AS mengalami pemulihan justru ketika dollar AS melemah pada periode QE, bukan tatkala dollar AS menguat. Jika dollar AS menguat terus, bagaimana mereka bisa bersaing dalam perdagangan internasional, terutama terhadap China yang menyebabkan AS menderita defisit USD 350 miliar setahun ?
Wall Street juga tidak mungkin terus menerus mengalami rally. Suatu saat tetap mengalami kejenuhan. Pada saat yang sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia juga memecahkan rekor baru 5.900. Ini imbas dari melonjaknya harga di hampir seluruh pasar modal dunia, yang dipimpin oleh New York.
Kenaikan suku bunga AS, meski banyak diyakini akan terjadi sekali lagi pada tahun ini, belum tentu akan menyebabkan dollar AS menguat lagi. Para pelaku pasar nantinya akan kembali ke rasionalitas, bahwa rupiah seyogianya tidak perlu melemah, karena indikator makro yang sesungguhnya masih baik, terutama data cadangan devisa, ekspor dan inflasi. Pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada tahun ini juga cukup mendukung rupiah untuk tidak terperosok lebih jauh.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Faculty Member BI Instutute.