Kompas – Analisis Ekonomi, Senin 18 September 2017
Persis tiga puluh tahun silam (1987), saya diajak guru saya, Profesor Dibyo Prabowo, meneliti fenomena sektor finansial informal di Indonesia. Riset ini didanai Asian Development Bank (ADB), yang hasilnya diseminarkan dengan beberapa negara Asia lain di Manila, Filipina. Hasilnya, kami menemukan banyak koperasi simpan-pinjam yang berpraktik seperti rentenir (“lintah darat”).
Sebagai badan hukum, koperasi-koperasi tersebut sudah benar secara legal-formal karena mendapat izin dari pemeritah (Departemen Koperasi). Namun dalam praktik, mereka tidak cukup mendapat supervisi dan pengawasan, sehingga seperti bebas menjalankan usahanya sebagaimana sektor finansial informal. Pemerintah memang getol mendorong pendirian koperasi, karena ingin mendorong inklusi finansial. Namun tanpa supervisi dan pengawasan yang memadai, hasilnya kontraproduktif.
Koperasi simpan-pinjam memberikan kredit kepada para “anggota” dengan suku bunga tinggi, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan berisiko kredit macet. Yang disebut “anggota” sebenarnya kamuflase, karena mereka sesungguhnya adalah nasabah biasa yang hanya berhubungan dengan koperasi hanya jika butuh kredit. Mereka tidak aktif sebagai layaknya anggota yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, misalnya dalam rapat anggota tahunan (RAT). Jadi, keberadaan “anggota” ini sesungguhnya kamuflase, agar memenuhi ketentuan legal sebagai koperasi.
Kementerian Koperasi tidak punya cukup energi untuk memantau praktik menyimpang koperasi semacam ini. Jumlah koperasi di Indonesia saat ini 212 ribu unit, di mana 150 ribu masih aktif dan sisanya 62 ribu tidak aktif. Bagaimana mau mengawasinya? Kementerian cenderung melihat pencapaian kuantitatif (jumlah dan omzet koperasi) sebagai hal yang lebih penting daripada aspek kualitatifnya. Sesudah 30 tahun riset itu berlalu, kondisi ini masih berlanjut.
Perkembangan selanjutnya, koperasi tidak saja digunakan sebagai alat untuk mendapatkan margin keuntungan tinggi, namun juga lahan bagi investasi bodong. Dalam kasus Koperasi Pandawa Group, koperasi ini berhasil menghimpun dana masyarakat dalam hingga Rp 3 triliun, dengan iming-iming suku bunga 10 persen per bulan kepada para “investornya”. Tanpa rasionalitas yang cukup, sekitar 30 ribu orang terkumpul sebagai nasabah. Hasilnya, pembayaran bunga dan pokoknya kemudian macet, sehingga pengadilan pun akhirnya memutuskan pailit pada 31 Mei 2017.
“Koperasi” ini sudah diperingatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak akhir 2016. Suku bunga 10 persen per bulan sungguh tidak masuk akal, mengingat dalam beberapa tahun terakhir suku bunga terus menurun, seiring dengan penurunan inflasi dan peningkatan efisiensi sektor perbankan. Kini suku bunga deposito hanya 5 persen, itu pun per tahun, bukan per bulan.
Modus yang termasuk “baru” terjadi dalam kasus First Travel. Ini bukan koperasi, juga bukan lembaga keuangan nonbank, namun agen perjalanan yang mengurus orang beribadah umroh. Seiring dengan maraknya bisnis travel umroh, First Travel memanfaatkan momentum ini. Caranya adalah menawarkan biaya umroh yang jauh di bawah normal, yakni Rp 14,3 juta dari semestinya Rp 21-22 juta per orang. Pesertanya pun meledak, hingga mencapai 70 ribu orang. Perusahaan itu baru berhasil memberangkatkan 17 ribu orang, sehingga kerugian diperkirakan Rp 750 miliar.
Mengapa semua ini terjadi? Saya melihat para pelaku kejahatan investasi bodong ini memanfaatkan celah-celah kesempatan yang berasal dari perizinan. Koperasi Pandawa perizinannya dari Kementerian Koperasi, dan First Travel perizinannya dari Kementerian Agama (dan mungkin juga izin dari otoritas yang berkaitan dengan pembukaan usaha buro perjalanan). Padahal, yang dilakukan keduanya, secara substansi mengarah pada bidang keahlian yang dimiliki oleh OJK. “Akrobat” finansial adalah areanya OJK. Kementerian Koperasi, apalagi Kementerian Agama, bukanlah institusi yang sejak awal diberi bekal keahlian yang cukup untuk menangkal rekayasa keuangan.
Di sinilah timbul moral hazard. Para operator itu (Koperasi Pandawa dan First Travel) tampaknya sengaja memanfaatkan situasi ini. Mereka berada di bawah supervisi institusi yang tidak cukup berpengalaman menghadapi rekayasa (“akrobat”) sektor keuangan yang semakin lama kian “kreatif”. Karena itu, ketika kedua kasus ini meledak, OJK agak terlambat mengantisipasinya. OJK baru bergerak sesudah mulai ada laporan masyarakat. Kalau saja OJK lebih awal mendapat kewenangan, kemungkinan kerugian bisa lebih diperkecil.
Sekarang ini sebenarnya OJK telah memiliki satuan tugas Waspada Investasi. Namun saya belum jelas, seberapa besar tim ini mendapat cukup energi dengan keberadaan staf dan anggaran yang memadai. Satgas ini perlu bekerja dengan energi yang besar. Tidak cuma menunggu laporan masyarakat, tetapi juga harus lebih pro-aktif di lapangan. Fungsinya harus seperti intelijen.
Terulangnya kasus “akrobat keuangan” juga menyiratkan indikasi literasi keuangan kita lemah. Masyarakat masih mudah terbuai oleh janji-janji yang tidak logis. Ini bakal menjadi tugas OJK yang mungkin tak akan pernah selesai. Karena bahkan di AS sekalipun, masih ada juga kasus-kasus “skema Ponzi”, yakni investor yang berada di urutan lebih depan mendapatkan “subsidi” dari peserta di urutan belakang. Puncak skandal terjadi pada kasus Bernard Madoff (2008). Madoff berhasil menipu 4.800 nasabah dengan kerugian USD 65 miliar (Rp 864 triliun). Madoff pun dihukum penjara 150 tahun, atau hukuman maksimum yang memungkinkan untuk kasus semacam ini.
Jadi, ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, memberi hukuman maksimal untuk pelakunya, agar mendapatkan efek jera. Kedua, memberi peran yang lebih besar untuk satgas OJK agar bisa medeteksi sedini mungkin praktik akrobat keuangan. Ketiga, upaya literasi keuangan oleh OJK mendapat porsi yang lebih besar.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM; Faculty Member BI Institute.