Kompas – Analisis Ekonomi, Senin 28 Agustus 2017
Perekonomian global akhir-akhir ini bergerak sangat dinamis, susah ditebak (ketidakpastian tinggi), permasalahan yang dihadapi kian kompleks, serta perilaku para pelakunya sering mendua. Kondisi inilah yang memunculkan akronim VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Akibatnya, para ekonom dan pelaku ekonomi kian sulit untuk membuat proyeksi. Perekonomian terasa menemui jalan buntu.
Ketika harga minyak dunia pernah mencapai USD 147 per barrel (Juli 2007), maka orang pun lekas berpikir bahwa harga tersebut bisa segera mendaki ke USD 200 per barrel. Ternyata tidak. Seiring dengan kian bergairahnya para produsen, maka terjadilah kelebihan pasokan. Yang terjadi kemudian, harga minyak jatuh ke USD 27 per barrel (Februari 2016), dan hari ini sekitar USD 50 per barrel. Tak ada ekonom top sekalipun yang kini bisa meramal dengan jitu tentang harga minyak.
Ketika sejak Mei 2013 pemerintah Amerika Serikat mulai berhasil mengembalikan perekonomian ke jalur yang benar setelah terhempas krisis besar sejak 2008, orang berpikir bahwa calon Presiden dari partai petahana (Hillary Clinton) akan menang. Tapi kenyataannya Donald Trump lah yang terpilih, meski dia sangat kontroversial. Akibatnya, dunia pun kini mulai diseretnya ke rezim proteksionisme.
Pemerintahan Presiden Jokowi yang berusia hampir tiga tahun ini, juga mengalaminya. Pada awal pemerintahannya, anggaran pemerintah digenjot dengan cara menaikkan penerimaan pajak 30 persen. Presiden gemas karena tax ratio (rasio antara penerimaan pajak terhadap PDB) stagnan di level 11 persen, padahal negara-negara tetangga mencapai 13−15 persen.
Namun menaikkan rasio pajak bukan perkara mudah dalam sekejap, harus bertahap. Kemudian dibikinlah terobosan berupa amnesti pajak. Meski program ini bisa dijalankan dengan sukses (dibandingkan negara-negara lain), tetapi tetap saja tidak serta merta dapat menaikkan rasio pajak. Basis pajak memang berhasil diperluas (kian banyak subyek dan obyek pajak), namun kondisi perekonomian yang dicekam ketidakpastian dan keraguan, menyebabkan penerimaan pajak tersendat.
Belajar dari pengalaman ini, maka RAPBN 2018 disusun secara lebih berhati-hati dengan memperhatikan fenomena VUCA. Setiap target kuantitatif harus dijaga kredibilitasnya. Percuma membuat target tinggi yang nampak ambisius, namun pada akhirnya tidak tercapai dan berujung sia-sia. Target harus terukur, realistis, dan tetap mengekspresikan semangat kerja keras, sehingga kredibel.
Berangkat dari situlah RAPBN 2018 disusun. Tatkala sekor swasta masih lesu─di mana pertumbuhan kredit perbankan cuma 8 persen─maka pemerintah harus “mengambil alih tanggung jawab” melalui kebijakan fiskal yang didesain ekspansif. Stimulus fiskal pun kini diimbangi dengan stimulus moneter, yakni Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya dari 4,75 persen menjadi 4,50 persen. BI “berani” melakukannya karena: (1) inflasi terkendali hanya 3,88 persen, dan (2) cadangan devisa sedang mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, USD 127,76 miliar.
Yang menarik, pemerintah tampaknya menyadari bahwa defisit APBN (yang dibiayai dengan utang) menjadi isu sensitif yang mudah menimbulkan kritik. Pada tahun ini, defisit APBN meluncur ke 2,92 persen terhadap PDB, atau nyaris menabrak batas toleransi 3 persen. Namun karena penyerapan anggaran tidak pernah bisa 100 persen, maka defisit 2017 diperkirakan bisa ditekan ke 2,67 persen terhadap PDB. Sedangkan pada 2018, defisit dirancang lebih rendah lagi menjadi 2,19 persen terhadap PDB.
Bersikap konservatif merupakan hal yang penting saat ini. Namun menjalankan “diet” yang terlalu ketat, sehingga defisit anggaran “cuma” 2,19 persen terhadap PDB, sebenarnya juga tidak perlu. Karena secara rasio terhadap PDB, utang pemerintah masih pada level aman 28 persen. Apalagi utang tersebut dialokasikan untuk tujuan yang jelas, yakni membangun infrastruktur di berbagai daerah (tidak cuma di Jawa), pengeluaran untuk kesejahteraan (social security), serta transfer dana pembangunan ke daerah. Belanja pemerintah sudah mulai diarahkan kepada keberpihakan terhadap keadilan sosial, terutama memerangi ketidakmerataan yang tercermin dari koefisen Gini tinggi 0,397.
Belanja pemerintah pada 2018 akan mencapai Rp 2.204 triliun, atau naik dibandingkan Rp 2.098 triliun (2017). Belanja infrastruktur juga naik dari Rp 387 triliun (2017) menjadi Rp 409 triliun (2018). Namun kenaikan 5 persen ini sebenarnya tergolong kecil. Andaikan defisit APBN 2018 bisa sedikit direlaksasi, maka belanja infrastruktur bisa didorong naik 10 persen menjadi Rp 425 triliun. Ini akan menjadi sinyal yang amat positif bagi pasar, baik oleh para investor maupun konsumen. Kebekuan ekonomi bisa dipecahkan oleh stimulus pemerintah ini, meski sebagian dananya dari utang.
Saya yakin, prioritas membangun infrastruktur dan mengedepankan aspek keadilan masyarakat menjadi hal yang dapat membangkitkan kembali kepercayaan para pelaku ekonomi yang saat ini rendah. Insiatif pemerintah untuk membangun kembali kepercayaan (trust) dan keyakinan (confidence) menjadi faktor krusial.
Karena itu, kita menyambut baik konservatisme pemerintah dalam menyusun APBN 2018. Namun, defisit 2,19 persen terhadap PDB rasanya masih bisa sedikit direlaksasi ke arah 2,5 persen, agar dapat mengungkit pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4 persen. Stimulus fiskal berupa belanja modal pemerintah kini menjadi gantungan asa yang penting untuk memecah kebuntuan ini.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute