Media Indonesia, Senin 7 Agustus 2017
Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka, sesudah pernah terjadi pada 2010 silam. Mengapa wacana tersebut sepertinya timbul-tenggelam ? Jawabnya adalah: karena kita masih belum yakin benar tentang kapan sebaiknya redenominasi rupiah dilakukan secara sukses, aman, tanpa menimbulkan gejolak yang kontraproduktif.
Di sela-sela itu, ada pula yang terus mempertanyakan, apakah Indonesia benar-benar memerlukan redenominasi ? Jangan-jangan redenominasi hanyalah bersifat kosmetik saja, bukan hal esensial yang mesti kita kejar ? Terlebih lagi Indonesia masih mempunyai sederet agenda perekonomian lain yang lebih prioritas: defisit APBN, pertumbuhan ekonomi masih 5 persen, pengangguran, kemiskinan, mengejar ketertinggalan infrastruktur dan seterusnya.
Wacana 2017 Vs 2010
Dibandingkan diskusi yang berkembang pada 2010, saya menilai kali ini sudah banyak mengalami kemajuan. Kali ini khalayak mulai paham, bahwa redenominasi adalah “upaya pemerintah untuk melakukan penyederhaan tampilan rupiah yang selama ini mengandung banyak nol, dengan memangkas tiga digit nol, tanpa mengubah daya beli”. Hal ini untuk membedakan dengan sanering yang dulu pernah kita lakukan, yakni “pemotongan lembar rupiah menjadi dua secara fisik (digunting), sehingga daya belinya pun juga merosot”.
Pada sanering, tujuan utamanya adalah memangkas inflasi. Sanering adalah upaya menurunkan jumlah uang beredar (money supply) secara sekejap. Normalnya, mengurangi jumlah uang beredar memerlukan tenggang waktu tertentu (time lag). Misalnya bank sentral menaikkan instrumen suku bunga, yang kemudian direspons dengan meningkatnya tabungan masyarakat di bank. Ketika uang beredar berkurang, maka inflasi pun menurun, karena demand pembelian barang dan jasa berkurang.
Pada awal polemik 2010, masyarakat masih bingung membedakan antara redenominasi dan sanering. Namun sekarang, literasi tentang redenominasi tampaknya sudah mengalami kemajuan. Kini masalahnya sudah bergeser lebih maju lagi, menjadi: kapan waktu terbaik untuk memulai program, dan berapa lama prosesnya akan berjalan?
Redenominasi rupiah menjadi sebuah kebutuhan, karena dua alasan. Pertama, ingin menyederhanakan tampilan jumlah nol, sehingga presentasi barunya bakal menjadi lebih ringkas, sederhana, yang pada akhirnya berujung efisien. Kedua, kita ingin rupiah menjadi lebih kredibel, sebagaimana mata uang negara-negara lain yang perekonomiannya mapan.
Di kalangan negara-negara Asia Tenggara, Vietnam adalah negara yang mirip kita, di mana satu dollar AS kini ekuivalen dengan 22.700 dong. Mata uang dong terus mengalami depresiasi dalam beberapa tahun terakhir. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda Vietnam melakukan redenominasi. Vietnam belakangan ini dianggap sebagai “ikon” perekonomian Asia, karena keberhasilannya mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi 6-7 persen, yang lebih tinggi daripada Indonesia (5 persen).
Menentukan Momentum
Faktor terpenting untuk menjamin keberhasilan redenominasi adalah menentukan momentumnya. Kapan sebaiknya mulai dilakukan ? Redenominasi sesungguhnya bukan cuma sekadar “menghapus tiga angka nol” di lembaran mata uang, itu terlalu simplistis. Yang harus amat diwaspadai adalah efek psikologisnya. Bagaimana masyarakat luas (260 juta penduduk kita) bisa memahaminya, memaknainya, menaruh ekspektasi-ekspektasinya, dan akhirnya bagaimana mereka meresponsnya ?
Tidaklah mudah mengelola ekspektasi masyarakat, agar mereka tidak bereaksi terlalu berlebihan, atau bahkan kemudian melakukan aksi spekulasi, yang pada akhirnya merugikan seluruh sistem perekonomian. Ambillah contoh, seorang pedagang yang nilai lama produknya Rp 100.000. Jika redenominasi dilakukan, mestinya harga barunya adalah Rp 100. Namun, bisa jadi dia akan tergoda untuk “mencuri kesempatan“ dengan sengaja menetapkan harga baru Rp 150. Kalau praktik moral hazard ini juga terjadi pada banyak pedagang, maka yang terjadi adalah inflasi 50 persen.
Padahal, tujuan utama redenominasi adalah simplifikasi tampilan angka pada rupiah, namun yang terjadi bisa kontraproduktif berupa memicu inflasi tinggi. Bahkan jika tidak dikelola dengan baik, malah bisa menyebabkan hiperinflasi (inflasi ratusan persen, bahkan ribuan persen), sebagaimana terjadi di Zimbabwe (2009).
Secara prinsip, redenominasi rupiah juga mirip-mirip dengan pemberlakukan mata uang euro di Eropa. Euro adalah mata uang baru yang semula diadopsi oleh 17 negara Eropa, menggantikan mata uang nasional masing-masing negara. Dalam prosesnya, negara-negara anggota zona euro awalnya memberlakukan dua mata uang, yakni mata uang lama masing-masing negara dan mata uang euro. Setiap barang dipasangi dua label harga. Orang bisa membayar dengan mata uang lama (misalnya franc di Perancis) dan mata uang baru (euro). Lama kelamaan, setelah masyarakat mulai terbiasa dengan euro, maka mata uang lama pun ditarik.
Rupiah pun akan mengalami tahap-tahap tersebut. Setelah proses sosialisasi berjalan, maka mata uang baru rupiah akan diedarkan. Setiap barang di toko akan ditempeli dua label: harga dalam rupiah lama dan rupiah baru. Konsumen bisa menggunakan kedua mata uang tersebut. Setelah dirasa masyarakat terbiasa menggunakan rupiah baru, maka rupiah lama pun akan ditarik dari peredaran. Sepintas, mekanisme ini terasa sederhana. Namun kita tidak boleh menyepelekan bahwa respons masyarakat belum tentu bisa mulus seperti pengalaman euro di Eropa.
Perbedaan terbesar antara Indonesia dengan zona euro terutama terletak pada dua hal. Pertama, dari sisi geografis, Eropa dengan Indonesia boleh dibilang luasnya setara. Tapi bedanya, Eropa berupa daratan, Indonesia berupa begitu banyak pulau (archipelago) yang memiliki banyak daerah dan pulau terpencil (remote areas), yang tidak gampang dijangkau. Faktor ini menjadi kesulitan tersendiri yang signifikan.
Kedua, level pendidikan dan pendapatan. Sosialisasi dan proses melahirkan euro di Eropa mendapat banyak kemudiahan karena penduduknya yang berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi. Faktor literasi finansial, mau tak mau, menjadi kunci penting program redenominasi.
Karena itu, untuk mewujudkan program redenominasi yang sukses tentu diperlukan berbagai upaya yang lebih besar, dan bakal memakan waktu yang lebih lama. Itulah sebabnya saya menduga Bank Indonesia yang semula mencanangkan waktu 7 tahun, belakangan ini menggesernya ke 11 tahun. Tampaknya timbul kesadaran bahwa untuk kasus Indonesia, dengan berbagai kesulitannya, diperlukan periode waktu yang lebih panjang dibandingkan kasus-kasus redenominasi lainnya. Turki misalnya─negara yang sering dipakai sebagai acuan sukses melakukan redenominasi mata uang lira─ sangat berbeda dibandingkan Indonesia, baik dari sisi geografis, level pendidikan, maupun level pendapatan per kapitanya.
Mensyaratkan Stabilitas
Persyaratan utama menuju redenominasi rupiah, menurut saya, tidak saja stabilitas ekonomi saja, namun juga stabilitas osial-politik. Stabilitas ekonomi penting sebagai underlying atau fundamental teknis-ekonomi, sebagai necessary condition. Sedangkan stabilitas sosial-politik sebagai sufficient condition, agar meminimalkan respons negatif yang tidak perlu dan berlebihan, misalnya spekulasi mata uang yang membahayakan kurs rupiah. Kasus pelarian dana ke luar negeri yang menurunkan cadangan devisa Malaysia hingga 38 persen sebagai akibat gonjang-ganjing politik, menjadi pelajaran penting bagaimana sektor politik harus dikelola dengan baik.
Variabel utama yang mencerminkan stabilitas ekonomi adalah inflasi. Dalam dua tahun terakhir ini inflasi kita berada pada level yang baik, yakni 4 persen. Namun, itu sebenarnya belum cukup meyakinkan. Kita masih perlu sejumlah variabel ekonomi makro lain yang saling terkait, saling mengisi, saling mendukung. Variabel inflasi tidak bisa dibiarkan sendirian. Lagipula, tatkala perekonomian kita tumbuh lebih tinggi, maka inflasi bisa meningkat, seiring dengan kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa.
Selain stabilitas harga (inflasi rendah), redenominasi juga memerlukan stabilitas rupiah. Saat ini rupiah memang stabil pada level Rp 13.300 per dollar AS. Namun masih ada risiko yang disebabkan oleh dinamika eksternal, misalnya kenaikan sukubunga The Fed di AS. Cadangan devisa juga tampaknya bakal terus naik dari posisi bulan lalu USD 123 miliar, namun masih perlu observasi yang lebih panjang.
Saya merasa jika redenominasi rupiah akan lebih aman jika kita berhasil mengembalikan posisi pertumbuhan ekonomi ke jalur yang normal, yakni 6 persen; rupiah stabil pada rentang observasi yang lebih panjang (misalnya dua tahun), yang didukung cadangan devisa yang kuat dalam periode observasi yang lebih lama. Kalau ini sudah dipenuhi, maka ayunan langkah kita menuju dimulainya proses redenominasi pun menjadi kian ringan.
Akhirnya, saya yakin redenominasi rupiah merupakan suatu keniscayaan. Cepat atau lambat kita pasti bisa mengekskusinya. Namun pemerintah dan Bank Indonesia perlu ekstra waspada sebelum memulai tahapan-tahapannya secara resmi, untuk meminimalisasikan kemungkinan reaksi pasar yang tidak perlu, misalnya mereka “menubruk” devisa yang dapat berimbas pada pelemahan rupiah secara tajam. Risiko semacam inilah yang harus diantisipasi dan disiapkan skema mitigasinya.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.