Kompas – Analisis Ekonomi, Senin 7 Agustus 2017
Belakangan ini timbul pertanyaan mendasar tentang “konflik” antara data makro melawan data mikro. Dari tataran data makro, perekonomian Indonesia tampil cukup baik, yakni dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen; inflasi year on year 3,88 persen; cadangan devisa diperkirakan memecahkan rekor tertinggi (rekor sebelumnya USD 124,95 miliar); serta rupiah yang cukup stabil pada 2017.
Namun sederet data tersebut ternyata tidak sinkron dengan data mikronya. Penjualan mobil tahun ini maksimal 1,1 juta unit (rekornya 1,23 juta unit pada 2013); penjualan sepeda motor 6 juta unit (jauh di bawah rekor 8 juta unit pada 2014); penjualan semen semester I/2017 turun tipis 1,3 persen alias stagnan. Sementara itu, BPS mencatat industri skala besar dan sedang hanya tumbuh 4 persen pada triwulan II/2017, atau turun dibandingkan pertumbuhan 5 persen pada periode yang sama (2016) dan 5,25 persen (2015). Gairah perekonomian suatu negara bisa direpresentasikan oleh kinerja manufaktur, penjualan otomotif, dan penjualan rumah.
Situasi ini digambarkan sebagai telah terjadi penurunan daya beli konsumen. Benarkah? Belum tentu. Setidaknya berdasarkan data inflasi di bawah 4 persen, apakah daya beli (purchasing power) turun? Bukankah inflasi 4 persen itu bagus untuk ukuran Indonesia? Bank Indonesia bahkan mulai berani melempar kembali wacana redenominasi rupiah, karena terinspirasi oleh inflasi rendah dalam dua tahun terakhir. Namun faktanya, inflasi rendah ternyata diikuti pula dengan permintaan barang dan jasa yang rendah. sehingga sesungguhnya rencana redenominasi belum menemukan momentum yang tepat.
Saya punya penjelasan lain. Lesunya permintaan terhadap barang dan jasa, terutama otomotif, sebenarnya lebih banyak dipicu oleh bekurangnya antusiasme berbelanja. Ini faktor psikologis yang tetap terkait dengan persepsi konsumen dalam memandang perekonomian pada saat ini dan bagaimana prospeknya.
Perekonomian Indonesia terkoneksi dengan perekonomian global. Ketika “di luar sana” perekonomian bergairah, akan tertransmisikan ke perekonomian domestik, begitu pula sebaliknya. Sayangnya, saat ini dunia tengah dicekam ketidakpastian (uncertainty). Siapa pun sulit menebak, bagaimana Presiden AS Donald Trump ingin menghidupkan kembali rezim proteksionisme, gara-gara AS menderita defisit USD 347 miliar terhadap China. AS kewalahan memangkasnya melalui jalur kompetisi normal, sehingga Trump berpikir proteksionistik. Ini esensiya sama dengan fenomena Brexit─yakni mundurnya Inggris dari Uni Eropa─yang bisa memicu perang dagang ke mana-mana.
Sementara itu, harga komoditas primer yang menjadi andalan Indonesia, juga terjerumus ke ketidakpastian. Harga batubara kini memang USD 75 per metrik ton, atau naik dibandingkan USD 50 per metrik ton pada awal 2016, namun sempat melesat hingga 100 dollar AS per metrik ton pada Desember 2016. Artinya, fluktuasi harganya masih sangat tajam dan tak ada yang tahu tentang masa depan harganya. Masalahnya, batubara adalah substtitusi utama minyak, yang harganya kini terus tertekan di bawah USD 50 per barrel. Dengan kata lain, prospek industri pertambangan masih rawan terhadap gejolak.
Dalam situasi ketidakpastian ini, para pelaku ekonomi di Indonesia harus bersikap realistis. Untuk memitigasinya, respons terbaik yang mereka pilih adalah mengerem belanja (consumption expenditure). Konsumsi harus dikelola, lalu likuiditasnya ditaruh di bank sebagai simpanan untuk berjaga-jaga. Itulah sebabnya dana pihak ketiga di perbankan kita melonjak menjadi Rp 5.000 triliun, sementara kredit yang disalurkan bank cuma tumbuh 8 persen pada semester I/2017, atau di bawah target 12-14 persen.
Jadi, penyebab lemahnya permintaan barang dan jasa (terutama manufaktur) sebenarnya bukan disebabkan daya beli yang turun, namun lebih dipengaruhi oleh lemahnya persepsi dan ekspektasi yang menyebabkan konsumen enggan belanja dengan kecepatan normal. Mereka ragu-ragu dan lebih memilih menghadapi ketidakpastian ini dengan lebih giat menabung di bank. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan fenomena ini, asalkan dilakukan hanya untuk sementara, bukan untuk jangka panjang.
Karena itu, tugas pemerintah sekarang adalah mengungkit kepercayaan konsumen (consumer’s confidence) agar kembali pulih, sehingga mereka melanjutkan kegiatan belanjanya pada level normal. Di banyak negara, biasanya sektor pemerintah (APBN) mengambil alih sementara “tugas belanja” ini. Ketika Presiden AS Obama menghadapi rendahnya kepercayaan (trust) masyarakat dalam berbelanja, yang dilakukannya adalah membangkitkan perekonomian melalui jalur fiskal (aliran Keynesian). Jadilah Obama meningkatkan defisit APBN, sehingga akibatnya jumlah utang pemerintah AS melampaui PDB-nya (106 persen, meski masih di bawah Jepang 250 persen dan Italia 132 persen).
Dalam kasus Indonesia, pemerintah harus tetap mempertahankan ritme belanja infrastrukturnya, meski defisit APBN-nya harus menyentuh 2,92 persen terhadap PDB, atau sudah sangat dekat dengan batas aman 3 persen. Namun utang pemerintah sebenarnya masih pada level 28 persen terhadap PDB, atau jauh di bawah India dan Brasil (69 persen), Meksiko (48 persen), dan China (46 persen).
Konsistensi untuk tetap berada di jalur pembangunan infrastruktur merupakan salah satu modal penting pemerintah untuk menjadi kredibel di mata pasar. Itulah sebabnya S&P akhirnya memberi predikat investment grade. Namun sayangnya hal-hal ini acapkali kalah oleh hiruk pikuk politik, ditambah dengan analisis yang menakut-nakuti bahwa kita diambang krisis karena terjerat utang.
Utang memiliki dua dimensi: jumlahnya dan alokasinya. Secara kuantitatif, pembandingnya adalah PDB, dan angka 28 persen masih aman. Sedangkan secara kualitatif, sepanjang utang itu dialokasikan untuk hal yang produktif (infrastruktur), akan berdampak positif pada multiplier effect dalam jangka menengah dan panjang. Hanya sayangnya, kadang-kadang ada saja orang yang tidak sabar untuk menanti hasilnya.
* A. Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute.